Kamis, 13 Agustus 2009

BAGIAN KEDUA BAB VI : KEPEMIMPINAN NASIONAL


BAB VI
KEPEMIMPINAN NASIONAL
Pemimpin Nasional adalah Pemimpin Negara & Bangsa
yang Berjiwa Negarawan & Patriotik untuk Kemajuan Rakyatnya.

Bangsa Indonesia berangkat dari bangsa yang dijajah selama 350 tahun. Setelah merdeka, bangsa ini seolah masih terus berjuang melawan penindasan. Penjajahan telah berubah bentuk kedalam pemerasan pajak, penindasan dan pengingkaran yang diperankan oleh Elit Kekuasaan-Penguasaan (sebagai ganti Kolonial Belanda & Jepang). Sejarah perjalanan peradaban bangsa Indonesia menujukkan paradoksial: kita membutuhkan sistem peradaban untuk menghasilkan Wakil dan Pemimpin untuk membawa kemajuan rakyat, namun Wakil dan Pemimpin larut dalam arus deras penjajahan baru. Keadaan demikian menjadikan tanda tanya besar: kenapa kita seolah tidak mampu merubah keadaan diri kita yang terjajah. Mengapa wakil rakyat dan pemimpin rakyat berkecenderungan bertindak sebagai kepala penindasan atas bangsa sendiri. Mengingat korban penindasan melanda ratusan jutaan ummat manusia, apakah Tuhan YME menaruh perhatian dan ikut campur (concern) atas ummat ciptaanNya, padahal mayoritas kita adalah rakyat yang berAgama / ber Tuhan.

Mendasarkan pengalaman sejaarah masa lampau dari uraian Bab demi bab sebelumnya, sampailah kita pada kesimpulan: betapa maha penting nya kita membutuhkan Pemimpin yang berkualitas bagi terciptanya bangsa yang sejahtera, bermartabat dalam negara yang memiliki berperadaban maju. Namun demikian, untuk menemukan sosok Pemimpin yang berkualitas kita juga harus berkemampuan dalam menyeleksi dan memilih pemimpin tersebut. Dengan demikian tantangan yang kita hadapi adalah serangkaian kiprah nyata dari perumusan kualifikasi pemimpin kedepan didasarkan atas situasi-kondisi & tantangan, sistem koridor peran-kiprah pemimpin bagi bangsa-negara dan kebangkitan kesadaran dalam masyarakat untuk ikut menyeleksi dan memilih pemimpin yang memnuhi kriteria tersebut.

VI. A. KEBANGKITAN KESADARAN & TANTANGAN KEDEPAN

Hakekat rakyat yang terjajah yang menjadikan 160 juta ummat manusia Indonesia hidup dalam kondisi terbelakang-miskin, haruslah menimbulkan hasrat dan kebangkitan dengan tingkat kesadaran yang setinggi-tingginya untuk manata-membenahi sikap & peran dalam kehidupan bernegara dan berpolitik. Kesadaran tersebut khususnya dalam keterlibatan demokrasi dan pemilihan Pemimpin – untuk kepastian masa depan kita sendiri. Kebangkitan kesadaran nyata ini sangatlah penting mengingat pesan salah satu ayat suci Al-Qur’an: Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib suatu kaum (ummat), kecuali kaum (ummat) itu sendiri yang hendak merubahnya. Ketentuan hukum Tuhan Sang Pencipta kita ini jelas menjadi semacam kaidah alamiah atas nasib rakyat: bahwa nasib bangsa atau rakyat akan berubah kearah perbaikan, kalau ada usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk memperjuangkan kearah perbaikan. Dengan demikian, usaha-usaha rakyat itulah yang memberi perubahan dan kepastian bagi kemajuan-kesejahteraan masa depan. Kesadaran demikian juga sangat menentukan dalam menyeleksi-memilih Pemimpin bagi masa depan, apakah dari hasil yang dapat dikelabui ataukah dari hasil kesadaran rasional dalam menentukan / memilih pemimpin yang berkualitas.

Mempelajari fluktuasi peradaban bangsa-negara Indonesia sejak jaman Orde Lama hingga kini, yang sangat ditentukan oleh kualitas Pemimpin dan kepemimpinan, kiranya bangsa ini memerlukan sistem koridor atau parameter yang disesuaikan atas situasi-kondisi dan tantangan kedepan dalam membangun ketangguhan sistem untuk meningkatkan kualitas peradaban kedepan. Mencermati akibat paradoks demokrasi kita telah menjadikan bangsa kita terkotak-kotak, wakil dan pemimpin lebih berperan/ berpihak pada golongannya, dan nasib besar rakyat diingkari yang hidup dalam kantong-kantong kemiskinan, maka sistem koridor yang utama bagi Pemimpin kedepan adalah sosok figur negarawan sejati yang kiprah-perannya adalah untuk negara dan segenap rakyat dengan koridor berikut:

KORIDOR MENDASAR:

SEORANG FIGUR PEMBAHARU UNTUK MENGATASI MASALAH dan TANTANGAN MENDASAR BANGSA, BERJIWA PEJUANG-PEMBELA BAGI KEPENTINGAN, ASPIRASI-KEPENTINGAN BANGSA dan NEGARA

Koridor mendasar, adalah pencarian, penseleksian dan pemilihan pada sesorang yang memiliki kualifikasi mendasar tersebut, yang memiliki implikasi berjiwa patriotik kepada Bangsa & Negara, memiliki kepemimpinan & kharisma yang kuat, berwatak (jujur, bersih, bijaksana & tegas), dan memiliki ketangguhan-ketahanan mental-fisik yang teruji.


KORIDOR SISTEMIK:

1. Pemimpin masa depan harus mampu memerankan diri dalam sistem kepemimpinan nasional dan negara yang tangguh sehingga Pemimpin berperan sebagai Negarawan tulen, bukan partisan atau mewakili suatu partai / golongan,
2. Bersama dan menyatukan rakyat sebagai satu bangsa yang menyeluruh untuk kemajuan, dengan segala kelebihan dan kelemahan,
3. Berkemampuan mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan manajemen Pemerintah dalam menjaga & mewujudkan amanah rakyat untuk kemajuan & kesejahteraan seluruh bangsa,
4. Merealisasikan keadilan sosial-ekonomi sebagai dasar fondasi yg kokoh dalam menapaki peradaban berikutnya secara berkelanjutan,
5. Mampu membangun dan menciptakan rasa keamanan serta kesejukan dalam bermasyarakat & bernegara, untuk tumbuh-berkembangnya kreatifitas-produktifitas rakyat.


Dua koridor diatas, yang mendasar adalah bersifat kepribadian figur dan yang kedua adalah koridor sistemik atas masalah & tantangan riil bangsa. Kedua koridor tersebut dapat kita telaah dan evaluasi kedalam sistem standar penilaian yang terukur – sehingga selanjutnya kita dapat merumuskan parameter-parameter dalam penseleksian guna pemilihan pemimpin. Desar pegangan utama dalam penetapan standar penilaian didasarkan pada sistem nilai kebaikan dengan tujuan pokok: mengemban amanat dan merealisasikan kemajuan & kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam menghadapi pesta demokrasi Pemilu yang dipenuhi paradoksial, kini muncul hasrat figur yang berkeinginan menjadi Pemimpin bangsa-negara Indonesia. Figur baru yang kini menonjol adalah kemunculan putra-putri para Pemimpin lama, yang sejatinya menampakkan terjadinya nepotisme baru untuk perebutan-pertarungan kekuasaan dalam kepemimpinan nasional. Kecenderungan perebutan kekuasaan demikian telah menjadi pentauan-pemusatan antara kelompok kepentingan yang memiliki dana besar, pengaruh pada rakyat dari orang tua masa lalu dan bahkan bagian kekuasaan dalam Birokrasi Pemerintah. sehingga kini berkecenderungan memunculkan polarisasi 3 kekuatan, yakni figur Soekarnoisme (diperankan Megawaty), figur Soehartoisme (diperankan Siti Hardijanti Rukmana) dan figur dari kelompok pembaharu atau reformis.

Sialnya, bagian terbesar rakyat kita mudah dikelabui oleh kekuatan figur tersebut yang mengusung pengaruh figur Bapaknya, dengan diperlicin politik uang – seolah sebagai solusi masa depan rakyat. Keadaan demikian haruslah kita imbangi dengan penyadaran yang serasional-rasionalnya: Bahwa Indonesia membutuhkan sistem koridor yang sistemik dalam memilih dan menentukan Pemimpin atas dasar Platform Perjuangan Kepemimpinan yang jelas, terukur dan berkemampuan dalam memajukan rakyat Indonesia secara adil dan sejahtera. Jangan sampai rakyat dikelabui seolah menemukan figur yang berbulu domba, tetapi berjiwa serigala-beruang-buaya yang menjadi pemusatan kelompok kepentingan penguasaan Indonesia yang hendak menyengsarakan rakyat Indonesia. Namun demikian, kalangan pembaharu (reformis) juga menghadapi masalah-tantangan dalam kiprahnya, yang pada hakikinya adalah rasa enak -nikmat dan keenakan setelah menduduki posisi elit kekuasaan, sehingga perjuangan reformasi (pembaharuan) seolah menunggu (penantian) sebentar untuk penikmatan rasa kepuasan para elit baru yang sedang menikmati zaman demokrasi yang paradoksial.

VI.B. TANTANGAN KEPIMPINAN NASIONAL PEMBAHARU

Kalangan kelompok reformis sangat berharap kiranya pemilu tahun 2004 dapat menjadi momentum perubahan kepemimpinan nasional, namun berbagai perkembangan nasional mengindikasikan bahwa terjadi penguatan kelompok status quo. Kecenderungan tersebut semakin kurang memiliki alasan yang kuat untuk memperkuat barisan mereka. Pertanyaanya, adalah bagaimana strategi untuk mengantisipasi perkembangan tersebut yakni antara lain dengan mendorong terbentuknya sebuah koalisi diantara kelompok reformis.

Terdapat sedikitnya dua masalah mendasar bagi siapa saja yang berniat menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, bagaimana menemukan sebuah resep yang ampuh untuk mendorong perwujudan koalisi tersebut, dan kedua adalah sejauhmana resep tersebut berhasil dilaksanakan dilapangan politik nasional kita yang semakin kompleks ini.

Meskipun asumsi yang dikemukakan tentang pertanyaan diatas perlu diuji kebenarannya melalui sebuah penelitian yang teruji, namun secara umum kita memang dihadapkan pada sejumlah gejala politik yang mendukung asumsi tersebut. Bila saja kita meradukan besarnya dukungan kepada kelompok status quo atau meningkatnya kerinduan masyarakat pada pola-pola lama, setidaknmya kita bisa memastikan bahwa memang reformasi kita menghadapi tantangan-2 yang sangat berat dan secara bersamaan terjadi pelemahan dalam barisan pendukung reformasi, baik secara aktual maupun potensial. Tentu saja gejala yang terakhir itu sangat mempengaruhi prospek perwujudan kepemimpinan nasional yang reformis.

IV.B.1. Permasalahan dan Tantangan

Kecenderungan kondisi diatas yakni menguatnya kekuatan status quo lebih disebabkan oleh lemahnya kekuatan reformasi. Tentu saja tersedia cukup banyak alasan apologetik bagi kaum reformis untuk membela diri atas kegagalan tersebut. Diantara alasan-alasan apologetik tersebut adalah reformasi yang dijalankan dalam suatu situasi dominan dekonstruktif meniscayakan banyak kelemahan-2 tarnsisional. Disamping itu, kita juga akan dapatkan kenyataan bahwa reformasi semakin berjarak dari momentum fitrahnya sebagai sebuah gerakan yang berbasiskan society dengan dukungan orisinal dari para pencetusnya.

Sebenanrnya secara umum gejala tersebut bisa dipahami dari sudut keniscayaan transformasi reformasi dari nilai-nilai menjadi agenda yang sistemik. Masalahnya mungkin menjadi sangat parah karena para pejuang reformasi menderita gejala arrived mentality yakni merasa sudah selesai dan berhasil pada tataran konsepsi dan konsolidasi reformasi sehingga bergegas menceburkan diri dalam sistem formal untuk membuat desain-desain struktural yang aplikatif. Ketergesaan tersebut membuat mereka lupa merawat hubungannya dengan sumber-sumber reformasi yang berbasiskan society. Padahal hanya dari sumber-2 tersebutlah nilai-nilai dan aspirasi reformasi memancar dalam jati dirinya yang fitrah. Dari sumber itulah reformasi telah menghadiahkan mereka enerji kemenangan atas kekuatan status quo.

Agenda-2 reformasi yang telah structure heavy tersebut ditampilkan kembali dalam kemasan parta-partai yang sarat dengan muatan-2 partisanship dan klen. Agenda reformasi tidak lagi hadir sebagai suatu kekuatan kekuatan reformasi, tetai sebaliknya justru hadir adalah kekuatan-2 reformasi yang berpencar dengan agenda reformasinya sendiri-sendiri. Gejala tersebut terlihat antara laindalam sikap mereka mengadapi issue kepemimpinan nasional dalam even pemilu 2004. Hampir semua partai untuk tidak mengatakan seluruhnya, menempatkan masalah kepemimpinan nasional sebagai agenda paska pemilu legislatif. Artinya mereka lebih melihatnya sebagai masalah power sharing diantara parpol ketimbang msalah prospek perwujudan sebuah kepemimpinan nasional yang reformis, Agenda reformasi menyangkut kepemimpinan dengan demikian telah disandera oleh ego perlombaan kekuasaan dalam kemasan partai-partai.

Sikap seperti itulah yang telah memberi celah bagi bangkitnya kekuatan status quo untuk mensiasati pemilu legislaltif berada dalam domain irama persengkokolan mereka sebagai persiapan dan pijakan efektif untuk mendeterminasi keunggulan mereka dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Pergeseran gravitasi pemilu legislatif kedalam playing field kelompok status quo itulah yang kemudian memberi sinyal kuat, yang antara lain ditangkap oleh kelompok reformis di parpol tertentu, bahwa terjadi penguatan potensi arus balik kemenangan bagi kelompok status quo dalam pembentukan kepemimpinan nasional nanti. Kemmapuan kelompok status quo tersebut tentu saja sangat ditunjang oleh mainstream aspirasi masyarakat yang bersifat elementer yang selama ini nampaknya gagal dipenuhi oleh kekuatan reformasi.

Situasi nasional yang deconstructive heavy sebagai hasil dari implikasi reformasi, memberi ruang bagi berkembangnya antusiasme masyarakat luas untuk memiliki peluang partisipasi sebesar-besarnya. Partai-partai reformis nampaknya kurang memberikan sinyal kuat yang meyakinkan bahwa gagasan-gagasan cerdas reformis yang mereka usung memberi tempat untuk suatu bentuk partisipasi yang pluralistik. Inklusivesime yang mereka kembangkan masih dilihat bersifat simbolik politik sehingga terasa kurang orisinal. Secara lebih spesifik mungkin bisa dikatakan bahwa watak inklusivisme mereka, khsuusnya parpol yang berlatar belakang dari sistem agama mereka. Kelompok reformis yang berlatar belakang keagamaan dianggap masih mencampur-adukkan secara acak agenda-agenda keagamaan yang ekslusif dan subyektif dengan agenda-agenda reformasi yang inklusif dan obyektif yang menjadi kebutuhan bangsa ini secara menyeluruh. Padahal keberhasilan kepemimpinan nasional yang reformis bukan hanya bertumpu pada kecerdasan perumusan agenda reformasi tetapi pada jaminan perluasan partisipasi dalam suatu bentuk kepemimpinan yang berbasiskan inklusifisme dan memberikan solusi atas masalah-masalah riil yang dihadapi bangsa ini.

Tumpang tindihnya agenda reformasi tersebut mungkin bisa menjelaskan gejala melemahnya dukungan publik yang bersifat massal kepada kelompok reformis. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendorong penerimaan mereka oleh publik sehingga memberi kesan kuat atas kebrhasilan kebangkitan mereka.

IV.B.2. LANGKAH-LANGKAH KEDEPAN

Tentu saja sangat terlambat untuk membicarakan kemungkinan lahirnya sebuah koalisi yang efektif dengan memanfaatkan momentum pemilu legislatif . Setiap formula yang mungkin berhasil dirumuskan pasti sarat dengan penyederhanaan masalah yang relatif terhadap kompleksitas politik yang dihadapi bangsa kini.

Kekuatan reformis harus menggunakan waktu sisa yang tersedia untuk secara berhasil menggeser gravitasi pemilu legislaltif berada dalam playing fioeld reformasi. Mengingat bahwa kelemahan pendekatan pengusungan agenda reformasi selama ini adalah karena pengotak-kotakannya dalam kemasan partai maka kepemimpinan partai perlu membuat pendekatan dianatar sesamanya sebagai kekuatan society, dimana partai hanyalah sebagai implikasi formal dari proses demokratisasi. Dengan penampilan yang memberi tekanan pada substansi tersebut, mereka bisa menghadirkan agenda-agenda reformasi dalam keadaanya yang generic. Agenda reformasi yang generic tersebut bisa menjadi platform bersama mereka untuk membangun sebuah koalisi generic yang dapat berperan menggeser pemilu legislaltif 2009 kedalam playing field mereka. Koalisi generic diharapkan mampu meyakinkan public nasional bahwa mereka adalah kekuatan moral nasinal yang inklusif dan sangat reliable dalam mengusung reformasi nasional secara berhasil. Agenda-agenda reformasi yang mereka usung adalah yang kompatibel dengan kebutuhan riil-obyektif yang dihadapi bangsa ini.

Sangat mungkin untuk mempertimbangkan agenda-agenda tersebut harus fokus pada tiga masalah mendasar, yakni : Moral, Ekonomi dan Sosial. Di bidang moral mereka harus memperjelas visi mereka atas pengembangan budaya nasional yang menjamin sistem keyainan dalam ruang public yang pluralistik, baik dalam pengertian universal maupun particular. Juga mereka harus menyepakati suatu model pendekatan pemberantasan KKN dan lain-lain. Di bidang ekonomi mereka harus memiliki sikap yang jelas terhadap iklim usaha nasional, terutama juga pembelaan terhadap pelaku ekonomi nasional. Sementara di bidang sosial mereka harus memberikan sinyal yang kuat akan perhatian mereka terhadap masalah penangguran dan kemerosotan kualitas sdm nasional. Juga bagaimana bentuk affirmatif action yang dapat menyelematkan kelompok mustadhafin.

Keberhasilan tersebut tentu saja akan memberi sinyal kuat bagi masyarakat pemilih di tanah air untuk memberikan pilihan suara lebih banyak pada kelompok mereka. Diharapkan, dengan demikian kekuatan reformasi berhasil mendeterminasi keunggulan mereka dalam perwujudan kepemimpinan nasional yang reformis. Insya Allah. Amien.

VI.C. KUALIFIKASI PEMIMPIN MASA DEPAN

Tantangan peradaban Indonesia dalam proses demokrasi kini, adalah pencarian dan pemilihan Pemimpin nasional bagi bangsa dan negara yang mampu memberikan solusi atas masalah-tantangan dan selanjutnya membawa kemajuan Indonesia kedepan. Terpilihnya Pemimpin yang ideal inilah yang perlu kita perjuangkan dengan kesadaran penuh secara bersama-sama, kalau kita menghendaki perubahan yang pasti menuju perbaikan seluruh rakyat. Menjelang dan memasuki fase pemilihan Pemimpin (Presiden) saat ini yang melalui proses demokrasi yang paradoksial, kita dihadapkan tantangan berupa persaingan dan pertarungan calon-calon pemimpin yang berkeinginan untuk menjadi presiden. Persaingan – pertarungan pucuk elit pemimpin bagi Indonesia dalam situasi transisi kini, pastilah mumunculkan polarisasi berupa pengerucutan aliansi-koalisi berbagai kekuatan, baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki kepentingan – penguasaan terhadap Indonesia. Adanya polarisasi demikian, menjadikan masalah dan tantangan kita dalam menyeleksi dan memilih pemimpin semakin besar, kompleks dan rumit.

Untuk dapat memperoleh standard kualifikasi yang ideal sebagai pegangan dalam memilih Pemimpin Indonesia kedepan, kiranya perlu kita kaji tipologi tantang trend polarisasi kekuatan-kepentingan yang menjadi basis kekuatan untuk mencalonkan figur yang berkeinginan menduduki tampuk Pemimpin nasional dalam uraian berikut:

1. Kubu (blok) kekuatan para elemen rakyat dan bangsa yang mendasarkan pilhan Pemimpin pada platform visi yang ideal dan jelas dalam memimpin dan membangun Indonesia, untuk sebesar-besarnya keadilan, kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara Indonesia. (disebut blok Pembaharu & ideologis). Dalam blok pembaharu, menghadapi maslaah-tantangan internal sebagaimana dijelaskan dalam sub Bab VI.B., yang kini terpecah-pecah, dan sangat mungkin diperlemah dan membelot kedalam blok pragmatis-kepentingan.

2. Kubu (blok) kekuatan para elemen rakyat dan bangsa yang mendasarkan pilhan Pemimpin pada platform visi dengan mengandalkan pengaruh-kekuatan dari para pemimpin sebelumnya. Platform tujuan dalam memimpin dan membangun Indonesia, tidak memberikan gambaran yang tegas dan jelas arah kedepan, dengan jargon-sasaran yang bersifat pemenuhan keinginan-aspirasi rakyat miskin-terbelakang untuk kebutuhan dasar (basic needs) seperti kecukupan pangan, rasa aman dan papan.(blok pragmatis kekuasaan). Dalam blok ini, terjadi dua kubu kekuatan putri mantan presiden Soekarno dan putri mantan presiden Soeharto. Kekuatan ideologis dalam blok pragmatis kekuasaan ini sudah hilang. Penggunaan lambang presiden terdahulu hanyalah eksploitasi simbol-simbol untuk menarik pengaruh para pengikutnya. Dalam Blok ini menjadi tumpuan bergaia kepentingan khususnya yang pernah memperoleh dukungan riil dalam usaha, dan mantan para pejabat bahkan berbagai pihak yang pernah menikmati KKN.

3. Blok kekuatan yang memiliki basis massa tradisional dengan pemimpin karismatis dan aliansi dengan figur dari golongan menengah, yang mendasarkan pada platform visi-tujuan yang tidak memberikan gambaran yang tegas arah Indonesia kedepan, dengan jargon-sasaran yang bersifat ketentraman, harmonisasi sosial, stabilisasi keamanan, pemenuhan keinginan-aspirasi rakyat miskin-terbelakang untuk kebutuhan dasar (basic needs) seperti kecukupan pangan, rasa aman dan papan. (blok pragmatis nasional). Blok kekuatan pragmatis nasional memperoleh dukungan dan menjadi tumpuan kepentingan kekuatan luar, khususnya poros AS dan blok Barat dalam menjaga kepentingan yang besar bagi Indonesia.


Tiga polarisasi kekuatan-kepentingan diatas, pada akhirnya akan memunculkan kandidat calon presiden Indonesia, yang mungkin tidak ideal atau tidak memenuhi kualifikasi bagi Indonesia kedepan – namun dengan dukungan berbagai kepentingan konstituennya, mampu mempengaruhi massa rakyat dan memilihnya. Meskipun platform visi sebagai pemimpin sangat minim dan kepemimpinannya tidak akan memberi solusi atas masalah-tantangan Indonesia kedepan – bahkan bisa menjadi berlawanan. Menyadari kemungkinan munculnya pemimpin yang tidak akan bisa menjawab solusi masalah-tantangan, apalagi membangun kemajuan-keadilan dan kejayaan Indonesia, maka menjadi kewajiban kita menetapkan kualifikasi calon pemimpin ideal yang dapat dijadikan pegangan dalam pencalonan dan pemilihan bagi rakyat – sehingga rakyat tidak akan dikelabui dan dikhianati. Kiranya, kualifikasi para pemimpin untuk Indonesia kedepan perlu didasarkan pada aspek kerpibadian dasar, kemampuan, ketangguhan-keberanian dan kekuatan dalam kepemimpinan, yang secara ringkas disampaikan berikut:

A. KUALIFIKASI DASAR:

1. FISIK : Sehat Jasmani dan Rohani,
2. MORAL-KEPRIBADIAN : Jujur dan Bijaksana,
3. BERJIWA NEGARAWAN, senantiasa memegang Amanah Rakyat dan bersikap Adil pada segenap bangsa.

B. KUALIFIKASI KEMAMPUAN:

1. MEMILIKI VISI DALAM KEPEMIMPINAN yang dapat diuji secara terukur dalam penilaian tentang kejelasan Pengetahuan dan Kepemimpinannya dalam membangun Indonesia kedepan, mengatasi masalah, membawa keadilan dan kemajuan , dalam jangka pendek-menengah dan panjang. Dalam Visi calon ini dapat kita nilai bagaimana Janji (komitmen) nya terhadap rakyat mayoritas yang hidup miskin-terbelakang.

2. TEGAS & BERANI, memiliki ketegasan dalam kepemimpinan, koordinasi, konsolidasi dan perintah, dan berani mengambil sikap dalam pemihakan pada rakyat (bangsa) dan berani dalam penanganan-penuntasan masalah berbagai kasus pelanggaran KKN masa lalu dan pada masa kepemimpinan mendatang, yang tertuang dalam Visi-Misi dalam Kepemimpinan.

3. Memiliki PENGALAMAN dan KETANGGUHAN - KETEGUHAN dalam Kepemimpinan, sehingga sikap dan keputusan serta kepemimpinannya teruji dan dapat efektif berjalan.

Dalam menghadapi masa pencalonan dan pemilihan Pemimpin langsung mendatang, kita dihadapkan situasi dan keadaan yang penuh polemik dan juga paradoksial, akibat sistem pencalonan oleh aliansi (koalisi) kekuatan prapol, yang niscaya hendak mencalonkan pimpinan parpol, yang mungkin hanya akan memenuhi sebagian kualifikasi mendasar. Oleh karenanya, demi untuk kejayaan Indonesia kedepan, dari berbagai alternatif calon pemimpin yang benar-benar mampu merealisasikan keadilan dan kemajuan bagi mayoritas rakyat Indonesia, maka sikap terbaik adalah pilihan pada Pemimpin dengan dasar kaidah Pilihan Calon Pemimpin yang paling optimal akan membawa keadilan-kemajuan rakyat Indonesia, bukan pemimpin yang hendak menjadi tumpuan berbagai kepentingan & kekuatan untuk menguasai Indonesia dan menindas-memiskinkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Dalam menyongsong terpilihnya pemimpin yang idel / optimal bagi bangsa dan negara, maka sekali lagi kebangkitan kesadaran kaum generasi muda, khsusnya kaum menengah, mahasiswa, profesional dan pengusaha muda sangat kita harapkan dengan peran aktif melakukan penilaian secara terukur atas para kandidiat pemimpin dan selanjutnya dukungan penyadaran kepada rakyat secara meluas atas Pemimpin terbaik menurut penilaian yang obyektif tersebut. Selanjutnya, parameter yang dapat kita jadikan standar penilaian adalah sistem nilai kebaikan-keburukan dan evaluasi obyektif atas kelemahan-kelebihan serta kemungkinan yang hendak terjadi pada calon pemimpin tersebut.

VI.D. PARTISIPASI dan KONTROL ATAS KEPEMIMPINAN

Seandainya, pemilihan umum Presiden & Wakil Presiden secara langsung dapat berhasil kita laksanakan, maka peradaban demokrasi kita fase baru yang melahirkan seorang Pemimpin Nasional yang memiliki legitimasi sangat kuat. Presiden-Wakil Presiden akan sangat sulit dan bahkan tidak dapat dijatuhkan oleh Legislatif (DPR), kecuali melalui Referendum nasional. Kekuatan atas kekuasaan pemimpin nasional yang dipegang Presiden hasil demokrasi pemilu langsung, haruslah menyadarkan kita untuk tetap menjaga Amanat yang telah diberikan rakyat, selain kepada Wakil Legislatif juga kepada Pemimipin Nasional. Pengalaman sejarah peradaban Indonesia sejak kemerdekaan 1945 hingga kini, haruslah membuat kita senantiasa sadar untuk membangun kekuatan kontrol atau oposisi serta kebangkitan untuk partisipasi dalam proses kepemimpinan melaksanakan pembangunan nasional. Dua kesadaran peran harus sejalan dan seimbang kita bangkitkan pada rakyat luas dalam menjaga amanat yang telah diberikan, dan kesadaran penuh bahwa dengan partisipasi memberi peluang dan memungkinkan besar perubahan ke arah perbaikan nasib kemiskinan-keterbelakangan rakyat luas.

Partisipasi rakyat, adalah penyiapan diri segenap rakyat dalam kehidupan nyata yang dituntut memperoleh sumber penghidupan dari berusaha – yang menjadi faktor dominan (lebih 80%) hakiki kehidupan peradaban setiap bangsa, yakni kegiatan usaha dunia atau kegiatan usaha ekonomi. Apalagi mempertimbangkan mayoritas rakyat kita yang kini dalam keadaan kemiskinan-keterbelakangan, dan situasi persaingan yang makin ketat serta peran Pemerintah yang kian mengecil, maka usaha-usaha kreatif dan produktif harus kita upayakan memperoleh respon dan kesempatan dalam proses kepemimpinan pembangunan nasional. Hal demikian juga dapat berfungsi sebagai bahan masukan dan evaluasi, dalam menilai tingkat pemenuhan janji / komitmen pemimpin dalam memegang amanat yang telah diberikan oleh rakyat.

Sedang kontrol, yang selama ini secara dominan kita percayakan kepada perwakilan (DPR/DPRD) atau sistem kontrol kenegaraan (BPK, Irjen, Inspektorat) yang kurang bisa dalam menjaga tingkat amanat Pemimpin pada rakyat, bahkan sebagian besar melakukan Kolusi dalam pengingkaran, maka kebangkitan Kontrol dalam rakyat harus menjadi Kebangkitan Baru untuk Indonesia kedepan. Kontrol ekstra Parlementer / Perwakilan yang efektif sudah saatnya kita galang dan kita bangun dalam mengawal proses kepemimpinan nasional secara cerdas, kreatif, dan luas sehingga mampu memperoleh penguatan dari rakyat. Agenda-agenda kontrol yang memiliki urgensi untuk Indonesia kedepan meliputi:


1. Kontrol atas Strategi-Kebijakan kepemimpinan nasional dalam sistem Kepemerintahan yang meliputi hal mendasar berikut :

a) Evaluasi & penilaian Kepemimpinan dalam menjalankan paltform Visi-Misi yang telah ditetapkan sebagai komitmen,
b) Evaluasi & penilaian Kepemimpinan apakah Strategi-Kebijakan memberikan perlindungan dan memberikan iklim yang kondusif dan keamanan-kenyamanan bagi rakyat luas dalam melepaskan kemiskinan dan keterbelakangan untuk kemajuan kedepan,
c) Evaluasi-penilaian Kepemimpinan dalam agenda strategi-kebijakannya sesuai dengan prioritas pengatasan masalah kronis nasional.

2. Kontrol atas sistem dan kinerja Kepemerintahan dalam bidang sumber-sumber penghasilan dan keuangan negara (devisa nasional) , yang menjadi sumber kebocoran secara sistematis ssebagaimana diuraikan dalam Bab II dan Bab III, yang meliputi : Sumber Migas, Pajak, Kelautan, Tambang dan Kehutanan. Dalam aspek ini, termasuk revaluasi atas perjanjian kontrak kerjasama bagi hasil antara Indonesia dengan perusahaan asing yang telah disetujui rezim sebelumnya.
3. Kontrol atas sistem Perencanaan-Alokasi dana nasional, untuk menilai apakah sesuai dengan pengatasan masalah dan prioritas alokasi serta sistem penangkalan Kebocorannya,
4. Kinerja pengggunaan dana nasional untuk Pembangunan dan Belanja Rutin yang menjadi salah satu kebocoran dan beban Negara selama ini,
5. Kontrol atas sistem penggunaan devisa nasional, dana Pemerintah di BUMN, untuk pendeteksian dini kebocoran dan evaluasi untuk peningkatan kinerja penggunaannya.
6. Kontrol atas tindakan Penyimpangan dan KKN yang mungkin dilakukan oleh sistem Kepemerintahan baru, yang menjadi sumber masalah bangsa-negara,
7. Kontrol dan evaluasi atas aparat negara (pegawai negeri) atas kinerjanya dalam pelayanan kepada masyarakat,

Memperhatikan betapa luas dan besarnya lingkup kekuasaan Pemimin Nasional dalam Kepemerintahan dan Pembangunan nasional, mendorong kita untuk membangun sistem kontrol yang cerdas dan mandiri. Tiadanya perimbangan sistem kontrol alternatif yang berimbang dalam peradaban kita selama ini, menjadi sumber masalah dan malapetaka besar bagi bangsa: seolah Elit kekuasaan kita beri Cheque Kosong untuk diisi sendiri berapapun nilai korupsi dan penyimpangan. Kebocoran sumber-sumber nasional dan korupsi yang masih berlangsung hingga kini yang mencapai nilai lebih Rp. 500 triliun setiap tahun adalah kelalaian kita yang menjadi peluang maling bagi elit kekuasaaan, dan seharusnyalah membangkitkan kesadaran kita untuk berkiprah nyata dalam mengontrol amanat yang kita berikan kepada Pemimpin beserta jajaran elit kekuasaan dari Menteri hingga jajaran bawahannya.

Khusus bagi golongan generasi muda di lingkungan kampus, khususnya mahasiswa, yang menjadi kekuatan kontrol Pemimpin/Pemerintah hingga kini- perlu melakukan konsolidasi dan revaluasi untuk menggalang kebangkitan kesadaran dalam melakukan kontrol pada Pemimpin dan Kepemimpinan. Tujuannya adalah menemukan perumusan sistem kontrol yang dapat diperankan secara terus-menerus, sistemik dan mampu menjangkau skope masalah & daerah yang luas yang dapat didasarkan dan menjadi kekuatan jurusan/akademic yang menjadi wilayah studi berikut:

1. Secara prinsipil-substansi perjuangan, Kampus adalah sumber-2 kesadaran dan gerakan untuk untuk Perubahan (Reformasi), yang telah terbukti dalam sejarah tumbangnya Rezim di Indonesia. Kesadaran rasional yang terumuskan dalam berbagai penyimpangan Rezim berkuasa, dan perumusan agenda Pembaharuan (Reformasi), kini memberikan respon yang paradoksial (berlawanan atas nilai luhur / ideal) dalam realisasi proses demokrasi dan dalam masyarakat. Keinginan luhur praktek demokrasi yang sehat dan terbebas dari politik uang kini justru menjadi praktek serentak oleh seluruh pengikut agenda Pemilu 2004. Tumbangnya rezim Soeharto yang seolah berjalan pararel dengan tumbangnya Orde Baru, kini memunculkan keinginan kerinduan sebagian masyarakat atas situasi-kinerja yang telah ditorehkan Orde Baru. Ringkasnya, agenda pembaharuan (reformasi) yang ditandai dengan pelaksanaan demokrasi yang bersih, telah dijalankan oleh para Partai Politik beserta para kadernya yang paradoksial dengan hakekat-semangat reformasi. Dunia kampus harus menyadari adanya missing-link antara agenda reformasi dan pasca-pelaksanaan demokrasi yang sejatinya untuk perubahan kearah perbaikan.

2. Sistem dan peran kontrol sudah saatnya dibangun secara mandiri, sehingga memiliki kemanidiran dan independensi dalam melaksanakan kontrol. Kemandirian kiprah dan perannya sudah saatnya dibiayai oleh sumber dari rakyat (Alumni, masyarakat pengusaha, masyarakat dll) dengan membuka atau melalui dompet / sumbangan / rekening guna membiayai kiprah Peran Kontrol mahasiswa terhadap Kepemimpinan Pemerintahan atau Kontrol untuk Kejayaan Peradaban Indonesia. Kiprah dan aktifitas mahasiswa selama ini yang senantiasa dilanda kesulitan dana / operasional, haruslah menemukan rumusan cerdas dalam mebiayai diri sendiri dalam sistem manajemen yang harus dibangun, sekaligus sebagai bukti sebelum terjun langsung dalam masyarakat.

3. Kiprah, peran dan gerakan mahasiswa selama ini senantiasa dihitung / diukur dengan jumlah massa mahasiswa yang terjun kejalan, harus memperoleh revaluasi dan perumusan kembali dengan orientasi pada ketajaman wilayah kontrol, penyimpangan, besaran, pelaku dan jaringannya – yang seterusnya diperkuat dan diperluas dengan jaringan media massa, antar universitas dan jaringan yang menukik pada Pemimpin Nasional atau Lembaga DPR/D / Institusi pengawasan. Para mahasiswa seharusnyalah mengambil pegangan dari kaidah rumus Einstein yakni E=MC2 yang maknanya, E adalah Energi (bisa hasil) dapat diperoleh dengan kuantitas/ volume yang sangat besar dari perkalian M (massa, bisa modal atau biaya) dengan C kuadrat (kecepatan cahaya pangkat dua). Dengan rumus ini, meskipun modal / biaya kecil / jumlah mahasiswa sedikit, tetapi apabila didukung oleh kecerdasan dengan jaringan akses luas & kecepatan yang tinggi, niscaya akan mendatangkan hasil yang cukup besar.