Rabu, 05 Agustus 2009

BAGIAN KESATU BAB II: Peradaban dan Demokrasi 1998-2009:

BAB II
PERADABAN dan DEMOKRASI 1998-2009:
SATWA RIMBA MENGEJAR FATAMORGANA

Runtuhnya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh General Smile Soeharto pada tahun 1998, pada hakekatnya merupakan pengingkaran atas amanat kekuasaan bagi rakyat dan berujung pada kegagalan atas pemenuhan hak-hak rakyat, krisis ekonomi dan krisis politik atas sistem, strategi dan program yang direncanakan. Peletakan jabatan (mundurnya) Soeharto dan Penyerahan kekuasaan Presiden kepada Wakil Presiden menjadi catatan sejarah yang masih belum terjawab: Mengapa Soeharto meletakkan jabatan Presiden begitu saja tanpa mempertanggung jawabkan kepada pemberi Amanat (MPR) ?.

II.A. Pemerintahan Transisi BJ.Habibie dan Singkat Gus Dur

Masa transisi Pemerintahan yang dijalankan Habibie, lebih menampilkan suatu fase Rezim kekuasaan perontokan (Antitesis) atas Konsep, Strategi, Paham yang telah terbangun selama 32 tahun. Habibie menyadari sepenuhnya, bahwa DPR-MPR sebagai wadah Legislatif yang tidak aspiratif hasil Pemilu tahun 1998, harus segera diakhiri, dengan mengadakan Pemilu Ulang tahun 1999. Kepemimpinan transisi BJ.Habibie – meskipun membawa prestasi yang cukup baik dari sisi stabilisasi ekonomi jangka pendek, ternyata dianggap kurang aspiratif, sehingga Laporan Pertanggung Jawaban Presiden ditolak melalui pemungutan suara Sidang Istemewa MPR th 1999. Habibie berusaha memutar kendali Pemerintahan dan Kepemimpinan nasional dengan kerja keras, dengan lengkah-langkah sbb:

1. Merubah Struktur Kabinet dan Mengganti Menteri Kabinet yang ditetapkan Soeharto, degan Kabinet Baru yang lebih aspiratif dan memihak rakyat,
2. Melakukan re-alokasi Modal / finansial kepada rakyat melalui alokasi yang sangat besar kepada pengusaha kecil dan menengah melalui Menteri Koperasi Adi Sasono yang kemudian dianggap sebagai Orang Yang Paling Berbahaya (majalah TIMES) karena memihak rakyat dengan alokasi UKM Rp.17,5 triliun,
3. Melaksanakan pemberian pengakuan hak-hak atas tanah rakyat secara luas dengan pemberian status hak milik atas lahan kurang 2 hektar,
4. Mengadakan langkah stabilisasi ekonomi - keuangan hingga mampu memperkuat nilai tukar rupiah mencapai Rp.7.000 per 1 dollar AS,
5. Mengadakan negosiasi atas kewajiban Hutang Negara dan Swasta dengan Negara Donor atau pihak-pihak swasta, dalam meredam dampak krisis ekonomi-keuangan nasional,
6. Melakukan pembebasan pers dan berpendapat,
7. Membekukan dan mengurangi dominasi dogma P4 sebagai azas tunggal,
8. Menuntaskan masalah Timor-Timur dengan Refendum yang menghasilkan lepasnya Timor Timur dari Indonesia,
9. Mengadakan agenda Pengadilan pada Soeharto dan pelaku Koruptor,
10. Melepaskan monopoli praktek perdagangan Cengkeh (BPPC), Biji Mete dlsb,

BJ. Habibie adalah anak bangsa yang sangat cerdas dan memiliki kemampuan, baik dalam kepemimpinan serta memiliki Visi dalam pembangunan Indonesia. Beliau diberikan hak prviledges (khusus) yang besar dalam membangun Kemampuan Teknologi dan Pengembangan produksi bahan logam dasar (besi) dan peralatan industri strategis, dengan memimpin BPPT dan Bada Pengembangan Industri Strategis (BPIS) – untuk produk : Pesawat Terbang (IPTN – PT.DI), Kapal (PAL), Kereta api (INKA), peralatan militer (PINDAD) dan elektronik (LAN) serta pengembangan energi nuklir (Puspitek Serpong). Habibie sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dianggap dunia Internasional poros AS-Jepang sebagai sosok yang sangat berbahaya, karena visi nya dalam membangun Indonesia sbb:

1. Habibie berusaha membangun Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria untuk mengatasi pasokan energi listrik nasional dalam jangka panjang, dan membangun kemandirian Industri Nasional di bidang Otomotif,
2. Habibie membangun poros Jerman dan Malaysia yang menjadi pesaing latent poros AS-Jepang, dengan mendirikan Forum Komunikasi Usahawan Serantau (FOKUS) dan giat belajar dari Mr. Mahatir Muhammad (PM Malaysia) mengadakan pembelajaran pembangunan Bumi Putera (Pribumi),
3. Habibie berusaha menegakkan keadilan distribusi asset-modal kepada sebagian besar rakyat serta penguatan sistem manajemen dan akses pasar, yang dianggap dapat menyaingi dan membahayakan pengusaha besar-konglomerat yang umumnya pengusaha non-pri,
4. Habibie lebih banyak mengkonsolidasikan tokoh-tokoh masyarakat yang mampu memihak pada bagian besar bangsa sehingga dapat memajukan mereka. Langkah ini dapat menjadi penghalang bagi blok barat (AS) yang sedang gencar-gencarnya lebih kokoh menguasai Indonesia sejalan blok Barat membangun Issue Global Terrorisme dan kampanye Stigma Islam sebagai agama anti peradaban.
5. Habibie dapat menjadi faktor magnit dan perekat bagi konsolidasi inteletual muslim, yang dapat menggeser kekuatan para politisi dari kalangan Nasional yang berazaskan Islam yang memiliki kelemahan dalam Konsep & Visi Pembangunan dan hanya asyik pada pembagian kekuasaan status quo.



Kiprah BJ.Habibie memegang kendali Pemerintah & Negara selama 1 (satu) tahun, berusaha melakukan Putar Balik Strategi yang terbangun selama Orba, harus menghadapi gempuran hebat oleh kekuatan Nasional berkoalisi Internasional serta elemen dalam negeri yang sudah sangat kuat terbangun (Modal, Pers, jaringan LSM dlsb). Bahkan salah satu tokoh dari ormas Islam NU (yang sering berseberangan dengan modernisasi)– Gus Dur – menjadi pengkritik dan oposisi. Nampaknya, usaha pemihakan, dan program riil yang hendak membawa kemajuan pada rakyat (pribumi) harus diruntuhkan oleh bukan saja dari dalam tetapi juga oleh kekuatan global. Pers nasional sebagian besar juga ikut menjadi penekan Habibie. Pelemahan Habibie juga disebabkan oleh pecahnya Faksi Golkar dalam tubuh parlemen (MPR-DPR) yang tidak suka atas Figur Habibie dan Konstituennya, sehingga ikut menolak Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) Presiden 1999.


II.A. Demokrasi Pasca Pemilu 1999 : Hukum Rimba dan Uang

Pesta demokrasi sesungguhnya terlaksana dengan diadakannya Pemilu tahun 1999 yang diikuti 124 parpol. Eforia kebebasan rakyat yang terkekang selama 32 tahun didukung oleh Pemerintah Habibie. Mendirikan partai politik sangat mudah, dan ikut Pemilu juga sangat mudah, bahkan parpol memperoleh jatah anggaran dana Rp.2 miliar, tanpa syarat-syarat Kecukupan minimal kantor wilayah (DPW), kantor daerah (DPD) dan maupun jumlah anggota parpol. Calon legislatif (caleg) juga bebas, tanpa syarat pendidikan minimal ataupun kesehatan jasmani atau rohani, apalagi syarat intelektual. Situasi dinamika politik kembali pada suasana pada zaman Orde Lama. Kekuatan oposisi yang tertekan Orba bangkit, bersaing dengan kekuatan Status Quo maupun kekuatan tradisionil dibawah Ulama. Bahkan berbagai tokoh kekuatan Status Quo Orde Baru masih muncul dengan berlindung di beberapa partai berazaskan Soekarnoisme, Islam, Demokrat atau Kerakyatan, dengan menggelontorkan dana sangat besar.

Demokrasi – pemilu 1999, menghasilkan parpol yang memiliki basis massa tradisional yang menduduki 5 besar, yakni PDIP (35%), PKB (12%), Golkar(12%), PPP (15%) dan PAN (5%). Partai Demokrat Indonesia sebagai partai boneka Orde Baru dibawah Soerjadi hampir tidak memperoleh suara dan kini hilang dari peredaran. Kekuatan PPP terpisah kedalam parpol basisnya, yakni PKB (dari basis NU) dan PAN (dari basis Muhammadiyah). Golkar mengalami penurunan drastis dari 65% sebelumnya tinggal 12%. Namun demikian, 50% lebih para anggota DPR masih diduduki oleh muka-muka lama. Jumlah anggota TNI-POLRI masih 60 kursi. Dengan demikian, peta kekuatan politik Indonesia pasca 1999 tidak menampakkan adanya dominasi sebab tidak satupun parpol yang memegang mayoritas tunggal (single majority). Penilaian umum tentang jalannya Pemilu sebagai puncak realisasi demokrasi berjalan fair, tidak ada manipulasi politik oleh kekuatan yang berkuasa akibat partisipasi rakyat dengan segenap komponen. Dunia perguruan tinggi bahkan ikut serta dengan membentuk Forum Rektor dan membentuk Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Kekhawatiran dan Ketakutan rakyat akan terjadinya bentrokan, konflik dan chaos karenya banyaknya parpol peserta Pemilu dapat diminimalisir dengan peran TNI-POLRI yang netral dalam menjaga stabilitas dan keamanan.

Selanjutnya, hasil demokrasi & pemilu menentukan pilihan Pemimpin Negara (Presiden dan Wakil) dalam memimpin negara & Pemerintah Indonesia. Kekuatan koalisi dengan Poros Tengah, pada akhirnya dapat memenangkan Pemilihan Presiden melalui Voting ~ dengan Figur Abdurahhman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden dan Megawaty wakil presiden RI. Terpilihnya Gus Dur diwarnai gejolak kekecewaan massa PDIP di Solo dan Bali serta gejolak kecil di berbagai daerah. Gus Dur membentuk Kabinet Pemerintah juga terdiri dari komposisi koalisi-konstituen pemilih. Tokoh NU yang penuh kontroversi, benar saja: memulai melantik dengan pidato yang mendebarkan: para Menteri harus siap-siap diberhentikan setiap saat apabila terlibat Korupsi atau Kasus. Dan masa
kekuasaan Gus Dur diakhiri secara aklamasi dengan kontroversi melalui Kesepakatan Aklamasi Sideng Istimewa MPR th 2000.

Gus Dur memulai peran sebagai Presiden, dengan menduduki Istana dengan melakukan peran Dekonstruksi Kesakralan, Kewibawaan Negarawan lembaga Istana: dengan mengundang para Kyai NU secara santai, memakai Sarung dan sandal Jepit. Bahkan dalam pertengahan periode, Presiden Gus Dur menemui demonstran dengan celana pendek.

Langkah dan Kebijakan Gus Dur dapat disajikan sebagai langkah yang penuh gejolak sbb:

1. Pemerintah akan membebaskan faham Komunisme di Indonesia,
2. Pemerintah RI akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel,
3. Kementrian Penerangan dan Sosial dibubarkan,
4. Membubarkan Badan Pengkajian, Penghayatan dan Penerapan P4 (Pedoman Penghayatan Pengamaan Pancasila) Mengangkat Menteri yang tidak sesuai : Pakar / Ahli Politik sebagai Menristek dan Ketua BPPT,
5. Memisahkan POLRI dari Istitusi TNI dan berusaha mengangkat Kapolri dan Panglima TNI yang berseberangan dengan Sistem Operasi Prosedur (SOP) TNI-POLRI,
6. Menghentikan seseorang Panglima dalam tubuh TNI-AD dan Menteri secara mendadak, dan diumumkan di luar negeri,
7. Membuka kran kebebasan Pers, Media dan Berpendapat sebebas-bebasnya dengan meniadakan SIP bagi penerbitan Majalah atau Koran,
8. Memberi kesempatan warga umum masuk dalam urusan Kepresidenan dan Lembaga Tinggi Negara serta Kementerian dengan kasus Soewondo (tukang pijat) dan menarik dana dari BULOG,
9. Melaksanakan agenda penegakan hukum terhadap tersangka BLBI, khususnya pada Gubernur Bank Indonesia Dr. Syahrir Sabirin, dan terhadap Tommy Soeharto,

Gus Dur sebagai tokoh vokal yang pandai berdialektika dan berdebat, sangat sering berkunjung ke luar negeri (kenegaraan) untuk waktu yang cukup lama-dengan mengingat situasi-kondisi Indonesia yang masih labil. Setiap pulang dari kunjungan ke luar negeri, Gus Dur mengumumkan pergantian Menteri, Panglima atau pejabat negara, sehingga Kabinet Pemerintahan Gus Dur menampakkan ketidak stabilan. Moment dan dukungan politik (amanat) yang diperoleh Gus Dur tidak dimanfaatkan secara baik, namun lebih membuat sikon Sosial-Politik dalam negeri bergejolak. Konflik antar Etnis yang terjadi di Kalimantan dengan korban lebih 3.000 orang keturunan Madura, di Maluku korban lebih 5.000 orang kurang serius penanganannya. Bahkan disangkal: korban hanya sedikit, karena tidak melihat langsung. Kebijakan dan langkah Gus Dur terhadap 2 propinsi Aceh dan Irian Jaya dinilai memberikan pra-kondisi situasi daerah (kekuatan lokal) mengarah pada dis-Integrasi bangsa-negara sbb:

1. Perubahan nama propinsi Irian Jaya menjadi Papua dan pembolehan pengibaran bendera Bintang Kejora di wilayah Papua, telah membangkitkan dan membesarkan organisasi Organisasi Papua Merdeka (OPM),
2. Perubahan nama propinsi Aceh menjadi Nagroe (Negara) Aceh Darussalam (NAD), pemberian niat Referendum telah membangkitkan dan membesarkan organisasi GAM secara luas,

Langkah dan kebijakan Gus Dur dalam menerapkan demokrasi, baik sosial kemasyarakatan, politik dengan kebebasan yang sebebasnya justru menimbulkan gejolak demonstrasi secara rutin. Dampaknya, situasi sosial - politik menunjukkan ketidak stabilan Pemerintahan yang berpengaruh besar pada ketidak stabilan Iklim Pembangunan. Gejolak yang melanda di berbagai daerah (Aceh, Maluku, Irian dan Sulsel) bahkan sudah mengancam dis-Integrasi sosial-politik berbagai komponen dalam negeri dibawah NKRI. Dengan pintu masuk kasus BULOG sebesar Rp.35 miliar, Gus Dur tidak bisa mengindar keterlibatan baik dirinya sebagai pribadi maupun Presiden didalamnya. Para fungsionaris Partai Kebangkitan Bangsa, berbegai unsur dari NU dan under-bow organisasi dibawah PKB banyak yang menampilkan sebagai orang kaya baru (OKB) yang bergelimang kekuasaan dan kekayaan (dhohiriyah).

Kordinasi dan intergrasi Pertahanan-Keamanan, Ekuin serta politik dalam negeri melemah. Kabinet Gus Dur makin goyah dengan penghentian Menko Polkam Jend.Wiranto, Meneg BUMN Laksamana Sukardi, Meneg Perencanaan / Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, Mensesneg Bondan Winarno, Menkeu Bambang Soebijanto dan mundurnya beberapa Menteri : Yusril Ihza Mahendra (Menteri Kehakiman), Hamzah Haz (Menko Kesra). Bahkan Presiden dan Wakil Presiden (Megawaty) sudah tidak akur. Kordinasi internal Kabinet sudah rapuh.

Pada akhirnya, SI-MPR memutuskan mencabut Amanat sebagai Presiden RI secara aklamasi, tanpa Voting. Pandangan negatif mendahului pencabutan Amanat Presiden Gus Dur dalam SI-MPR th 2000 bagaikan penyidangan yang sungguh menyedihkan – tanpa ada penyanggahan, keberatan dan Laporan Pertanggung Jawaban. Gus Dur mencoba melawan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden, namun dianggap Inkonstitusional. Kekhawatiran akan gejolak massa pendukung Gus Dur di Jawa Timur dapat diatasi dengan sikap Kompak dan Tegas TNI-POLRI yang menjunjung dan tunduk pada sikap dan hasil secara Konstitusi. Sikap dan penyataan para Kyai Dewan Suro (Kyai Langitan) NU yang mendukung Dekrit Presiden Gus Dur hampir tidak terdengar dan diabaikan.


Gus Dur tidak memiliki team-work, baik pemikir strategis sosial-politik yang solid dengan peran dan visi kenegaraan, serta team-work Kabinet yang solid dibawah koordinasi Menko Ekuin maupun Menko Kesra. Gus Dur membentuk think-tank (kelompok pemikir) dibawah Sofyan Wanandi (KPEN) dalam memberi saran-saran di bidang Ekuin yang tidak klop dengan Menko Ekuin. Presiden Gus Dur lebih percaya diri menjalan tugas kepemimpinan, menggerakkan arah peradaban menurut yang terfikir (Master Mind) yang ada dalam dirinya ~ sehingga sunculah strategi dan kebijakan Negara, Pemerintah dan pelaksanaannya ~ tampil sebagaimana karakter dirinya yang penuh kontroversial. Nasib dan masa depan negara dan 200 juta manusia Indonesia dipandang secara enteng dan gampang dengan filosofi “Gitu aja kok repot-repot”.


Namun demikian, peran Gus Dur sebagai Presiden, Pemimpin Nasional dan Pemerintah selama 9 bulan memberi arti positif dalam hal berikut:

1. Gus Dur memperoleh penilaian sebagai figur Badak yang berani menabrak berbagai kekuatan termasuk figur TNI-POLRI maupun Institusi TNI-POLRI tanpa memperhitungkan dampak baik-buruknya di berbagai aspek,
2. Gus Dur melakukan pengetatan komitmen penarikan hutang dari luar negeri,
3. Kabinet Gus Dur tidak memperlihatkan kepentingan / keserakahan apalagi berkoalisi dengan kekuatan asing dalam menjual asset negara atau nasional dengan mengerem privatisasi BUMN,
4. Kabinet Gus Dur melakukan dekonstruksi Hak Penguasaan Hutan dan melakukan pengetatan dalam Pengelolaan Hutan,


Tiada pesaing (musuh) abadi dalam politik ~ itulah sebagai ungkapan sikap pragmatisme politik. Apakah para tokoh dan anggota Legislatif MPR yang sebelumnya tidak memilih Megawaty kemudian latent memusuhi ?. Mereka masih memiliki rasionalisme atas kinerja, kiprah dan peran Gus Dur yang telah diberi mandat amanat, namun kemudian mencabut mandat yang diberikan. Seluruh anggota MPR secara akalamasi memilih Megawaty sebagai Presiden RI periode 2000-2004. Pernyataan Gus Dur bahwa kalau dirinya dicopot melalui SI-MPR beberapa propinsi akan memerdekakan diri dari Indonesia adalah dialektika kurang mencerminkan diri sebagai figur Negarawan yang kurang mawas diri.


II.B. Demokrasi Hukum Rimba dan Mobilisasi Uang

Membela Wong Cilik ~ demikian jargon dan komitmen Megawaty, anak kandung mantan Presiden RI pertama dalam kampanye Pemilu 1999. Demikiankah strategi dan kebijakan Pemerintahan Kabinet yang dipimpinnya menepati komitmen (janji atau kontrak sosial-politik) dalam membela wong cilik terhadap rakyat?.

Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawaty nampaknya dipersiapkan secara matang dengan merekrut konstituen parpol besar yang ada, sehingga menjaga harmonisasi kekuasaan yang dipegang dapat berjalan hingga akhir periode yang dipimpin pada 2004. Megawaty menempatkan para Menteri dalam 3 kategori sbb:

1. Menempatkan Menteri dari unsur partainya PDIP untuk pos sebagai penangguk uang (pos gemuk) yakni BUMN, BPPN, Kehutanan, Bappenas, Pertanian dan Keuangan,
2. Penempatan Menteri yang memberikan figur Negarawan atau sepaham untuk pos Menko Polkam, Menko Ekuin, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, Kimpraswil, Menpan, Pariwisata, Kelautan.
3. Penempatan Menteri dari konstituen parpol besar, Menko Kesra (Golkar), Menristek (PAN), Mensos dan Menteri Koperasi (PPP), Menhankam (PKB), Kehakiman (PBB), Menteri Agama (PKB).
4. Dalam bidang Pertahanan (TNI) dan Keamanan (POLRI) lebih memilih sikap harmonisasi hubungan dengan institusi tersebut, dan melakukan pemilihan figur-figur kandidiat untuk Komando dan Panglima secara bertahap, tanpa mencampuri Visi-Misi apalagi Strategi dan SOP di dalamnya.

Strategi, Kebijakan dan Program Ekuin yang menonjol dalam Kabinet Gotong Royong Megawaty adalah :

1. Stabilisasi ekonomi, khsusnya peningkatan Penerimaan Negara dari Migas, Pajak dan Pengurangan Defisit RAPBN. Penerimaan negara dipacu dengan penjualan asset / saham BUMN (dengan dalih Privatisasi), penjualan asset nasional yang bermasalah di BPPN. Pajak dipacu dengan meningkatkan tingkat pajak dan pengurangan defisit RAPBN dilakukan dengan mengurangi Subsidi pangan (gula, gandum, beras), pupuk dan dengan peningkatan tarrif listrik, telpon, harga BBM secara bertahap.

2. Untuk menampilkan kinerja Pemerintah yang baik, Meneg BUMN dan BPPN mengobral asset nasional (negara dan swasta) secara murah sehingga muncul kasus LIPPO, BCA, Indosat, Pertamina, Texmaco, PLN, Telkom, PN.Tambang dan berbagai asset Property (Hotel berbintang, Perumahan dan Aprtement), Pabrik dilego cepat dan murah, serta pengampunan hutang beberapa Konglomerat (S.Nursalim, The Nin King, Prajogo Pangestu, Sudwikatmono, Salim). Sedang untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak ada peringanan atau pengampunan sama sekali ~ yang jumlahnya mencapai puluhan ribu unit.

3. Langkah berani dan ekstrim ditempuh, yakni liberalisasi perdagangan bahan pokok, transportasi udara, laut. Namun demikian, subsidi silang tetap diberikan untuk Pendidikan dan Kesehatan masyarakat serta perumahan. Pemerintah membebaskan arus beras, gula, gandum dan berbagai produk industri ke Indonesia dengan pajak nol, yang idsatu sisi menurunkan harga beli produk tersebut namun dilain segi menghancurkan petani dan industri dalam negeri ~ melalui perdagangan bebas.

Dalam bidang sosial - politik, Pemerintahan Megawaty melakukan langkah sbb:

1. Penuntasan wilayah rawan konflik dengan meneguhkan peran TNI di propinsi Aceh dan Papua serta Maluku. Bahkan di Aceh menerapkan status Darurat Militer di NAD, sebagai implementasi bahwa NKRI sudah final.
2. Memelihara keseimbangan hubungan dengan AS namun juga memperkuat persenjataan TNI dengan pembelian peralatan dari Rusia, Ukraina dan blok Timur,
3. Penegakan Hukum dengan agenda Pengadilan kasus Korupsi (Beddu Amang), DPRD-I Jatim, Calon Gubernur Lampung, Bupati Kepri, Wlikota Padang Penghinaan Pers kepada Presiden, Kasus perdata tuntutan Tommy Winata pada TEMPO dlsb, Kasus Penembakan Hakim Agung oleh Tommy Soeharto serta Pengadilan Kasus BULOG kepada Akbar Tanjung (Ketum Golkar).
4. Mengambil sikap dan melaksanakan “pragmatisme politik”, baik PDIP pusat maupun dalam Pemerintahan Puss atas peluang & menjaga kekuasaan di daerah maupun pusat. Hal ini terlihat dalam Pencalonan Gubernur, Bupati atau Walikota dengan konstituen parpol mana melakukan koalisi atau mendukung suatu figur.
5. Melaksanakan dan mensahkan Amandemen UUD’45, dan meninjau kembali peran Otonomi Daerah yang telah disahkan menjadi UU untuk melakukan Pemerintahan Kendali Pusat. Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Kebenaran - Rekonsiliasi serta Komisi Penindakan Korupsi.
6. Mencanangkan Pemilihan Presiden secara Langsung dalam Pemilu 2004.

Demokrasi kebebasan sebebasnya pada masa Gus Dur dan awal masa Pemerintahan Megawaty menuai badai. Banyolan Mi’ing dkk (Bagito) memerankan pemimpinnya yang tuna-netra dengan penuh sarkasme. Kemudian harian Jawa Pos di Surabaya meledek Gus Dur. Kedua-duanya diancam banse NU dan dipaksa minta maaf. Kritikan dan demonstrasi menghadapi kontra perlawanan dari under-bow NU – Banser. Sedang pada awal periode Megawaty, penerbitan berita & karikatur di media harian Suara Merdeka, yang mengumpamakan Megawaty seperti Sumanto. Sikap penegakan hukum pengadilan memvonis dan memenjara Pemred selama 6 bulan.

Namun demikian, Megawaty nampak ragu-ragu dalam penegakan hukum Kasus penyerbuan Kantor PDIP 27 Juli yang telah menewaskan 100 orang lebih. Demokrasi ekonomi, bahkan dilakukan dengan Liberalisasi perdagangan bebas hasil pertanian & industri, yang mengakibatkan kehancuran petani-industri dalam negeri, PHK dan pengangguran. Bagi PDIP, demokrasi politik yang ditempuh dengan kebebasan bersikap pragmatis pemerolehan & pembagian kekuasaan (azas pragmatis). Platform perjuangan parpol untuk membela Wong Cilik hanyalah slogan belaka pada saat Kampanye & Pemilu. Kini muncul kecenderungan terjadinya Neo-KKN dengan keluarga pusat kekuasaan, baik para adik-adiknya-saudara-teman sekolah, untuk kepentingan Jabatan, Proyek atau kepentingan usaha lainnya ~ baik pada pusat kekuasaan di Jakarta hingga daerah. Neo-KKN sudah meluas, tidak hanya di kalangan Eksekutif Pemerintahan namun juga Legislatif di DPR maupun DPRD-I dan DPRD-II. Perbedaan sikap & konflik intern PDIP sudah muncul di berbagai daerah ~ khususnya dalam sikap pemilihan dan penentuan Calon Pimpinan Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Perbedaan aspirasi DPD-PDIP daerah sering dilanda berseberangan dengan DPP-PDIP Jakarta.

Perjalanan masa Pemerintahan Megawaty sejak th 2000 dalam membangun peradaban bangsa-negara secara umum dengan strategi: pemulihan / stabilisasi ekonomi-sosial dalam jangka pendek, untuk memperoleh stabilisasi politik-dan kekuasaan hingga akhir th.2004. Pelaksanaan kiat-strategi ini ditempuh dengan menjaga Harmonisasi sosial dengan konstituen PDIP, dengan power sharing dan kepentingan ekonomi. Hal ini didasarkan masih kokohnya infrastruktur kekuasaan baik dalam struktur Birokrasi, Parpol besar dan Struktur pengusaha-konglomerasi beserta jaringannya dalam masyarakat. Sehingga sulit atau tiada jalan lain, kecuali menjaga Stabilitas keamanan (Safety) jangka pendek-menengah dengan azas pragmatis. Sikap demikian, juga nampak pada aspek penegakan hukum kasus Korupsi Bulog Akbar Tanjung (Ketua Umum Golkar). Pendapat umum dan kalangan masyarakat menilai, aspek hukum ditimbang-timbang secara pragmatis dengan stabilitas kekuasaan Megawaty, atas Vonis yang dikenakan: dibebaskan, divonis bersalah atau bahkan digantung-gantung tidak menentu ~ dengan memperlebar dan mengulur waktu ~ yang dapat ditarik 2 kemungkinan: koalisi kekuasaan dalam Pemilu 2004, khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil, atau terjadinya serangan balik atas berbagai kasus rezim Megawaty oleh kubu Golkar.

Skenario atas strategi pembangunan yang dijalankan dalam masa Megawaty, memiliki kelemahan mendasar: yakni tiadanya konsep Dinamis yang mampu menggambarkan bagaimana kemungkinan & kecenderungan Implikasi kedepan dalam jangka menengah dan panjang, baik sosioal-politik dan ekonomi. Misalnya: kepemilikan asing atas saham BUMN dan pembelian berbagai asset swasta nasional dapat memebri solusi jangka pendek ~ namun bagaimana resiko hak kepemilikan kedepan tidak ada. Misal, dalam penetapan harga (tarrif), team manajemen, pintu masuk pasar-pasokan ke Indonesia, pelayanan publik atas rakyat Indonesia dan kemungkinan subsidi serta persaingan dinamis. Hak dan peran Pemerintah sebagai pemilik (stake holder) dipertaruhkan khususnya dalam aspek stabilisasi dan agent of development.

Apalagi mengingat kondisi Indonesia pasca 1998 mengalami penurunan tingkat kemajuan (less developed = kurang berkembang), Pemerintah sebagai bapak bagi rakyat lebih diperlukan. Perhatian, Konsolidasi dan Kebijakan team work Kabinet dalam bidang dukungan ekonomi kecil-menengah (UKM) juga lemah. Para UKM nampak hidup stagnan – dan dibiarkan bertarung dengan raksasa MNC (Multi National Corporation) dan bersaing dengan produk murah dari Internasional. Perhatian Pemerintah Megawaty pada Inovasi dalam Research & Development (R&D) dan penerapannya sangat minim. R&D adalah otak & kunci kemajuan ~ khususnya di Pertanian-Agro Industry dan Industri. Sektor strategis seperti perkebunan sawit & cokelat, Pemerintah sekedar menjalankan kelangsungan hidup, tiada agenda khusus melalui Industri Oleokimia ~ Bahkan Malaysia (Gutri dll) sudah mulai menguasai hampir 600 ribu hektar dengan membeli perusahaan swasta nasional Indonesia. Demikian juga komoditi cokelat yang menjadi pemasok bahan baku dunia, tidak terfikir tentang kemungkinan pembangunan industri pengolahan biji cokelat menjadi bahan baku. Bahkan industri perkayuan dari hasil hutan, justru mengalami penurunan prestasi. Baik pengelolaan HPH, HTI maupun Industri. Di sektor pertambangan, agenda Pemerintah untuk menggali & mengolah tambang emas tidak ada ~ yang depositnya besar di berbagai wilayah tanah air. Ringkasnya: Pemerintah hanya berkonsentrasi menangguk uang dengan menjual assetnya – bukan berusaha melakukan berbagai rekayasa optimal untuk menghasilkan, membesarkan dan menangguk hasil penjualan ~ dengan tesis pembenaran Privatisasi dan Efisiensi.

Demokrasi dalam masa Gus Dur dan Megawaty, selanjutnya dalam Pemilu 2004, bagai proses pertarungan untuk memperoleh kekuasaan, dan seterusnya berusaha membangun dengan Visi-Misi nya yang disusun oleh kelompok kepentingan (tanpa pengujian ahli / akademik atau sahih dapat dipertanggung jawabkan). Dalam ujud sejatinya: visi pembangunan bergelimang lumpur neo-KKN untuk mobilisasi dana ~ bagi pembiayaan program-aktifitas demi pemenangan Pemilu berikutnya. Berarti, demikian besar dana, energi dan waktu dihabiskan untuk agenda Demokrasi untuk pemenangan kekuasaan, bukan untuk kepemimpinan demi kemajuan bangsa sebagai visi negarawan. Demokratisasi 1999-2004, nampak bagaikan pencarian fatamorgana dalam peradaban bangsa, tetapi tidak memberi ketidak pastian masa depan. Konyolnya demokrasi dimenangkan oleh elit-elit penguasa, elit politik dan pengusaha kakap dalam sebuah sistem pragmatis-oprotunis yang mengalami kebusukan sistemik. Dimanakah Kontrol sistemik BPK, Irjen, DPR ? Mana Heroisme para Lelaki dari Lembaga Kaum Akademis Universitas / Perguruan Tingi dan Kaum Muda dalam Kontrol Sosial ?. Mereka terjun bila keadaan sudah pada tahap Krisis, dan hanya memposisikan diri sebagai Kekuatan Moral sejak 11966. semenjak 1966.

Dimanakah kelemahannya ? Konsep demokrasi ? parpol ? Pemimpin–aparat ? atau para kroni yang hanya mementingkan untung uang besar lewat korupsi ?. Sadarlah kaum muda, kelemahan peradaban sosial-politik-ekonomi bangsa kita disebabkan tiadanya Sistem Kontrak Sosial-Politik antara Parpol dengan Rakyat ~ dalam menjaga komitmen dan sistem agar tidak bisa berkhianat pada rakyat & negara, yang dituangkan dalam Garis Strategi & Kebijakan Haluan Negara oleh Legislatif dan Pemerintah yang dipimpin Pemenang Pemilu beserta Kontrol Rakyat. Mari hentikan kebiasaan Pemenang demokrasi-pemilu diberi Ckeck Kosong. Kita sebagai rakyat Berhak dan Wajib mengontrolnya. Bangun sistem yang cerdas.


II.C. Penuntasan Ideologi Golongan dan Azas Bernegara


Pergulatan dalam proses peradaban bangsa Indonesia pada masa Soekarno, telah menghasilkan rumusan yang hebat, cerdas dan optimal bagi Pemersatu Visi dalam bermasyarakat dan bernegara, dengan dihasilkan & ditetapkannya Pancasila dan UUD’45. Pegulatan pengaruh dan demokrasi yang terpolarisasi atas dasar Azas Islam, Nasionalis dan Sosialis, mencapai kesepakatan optimal dalam Pancasila dan UUD’45 dan sebagai Dasar Falsafah Negara dan Dasar Hukum Negara. Polarisasi elemen bangsa muncul disebabkan oleh dasar keyakinan masing-masing elemen (parpol) dalam menetapkan paham yang dianggap memiliki kebenaran oleh masing-masing elemen (parpol) dalam berpolitik dan bernegara. Polarisasi, perbedaan berkembang tajam dan menjadi perdebatan yang panjang. Bahkan sering konflik, dan tidak menemukan rujukan – komitmen kebersamaan. Sehingga tantangan Pemimpin dan Bangsa dalam menggapai kemajuan melalui proses pembangunan peradaban untuk kesejahteraan sering berhenti di tengah jalan. Perbedaan paham oleh elemen (parpol) pada masa Orla, dipengaruhi oleh keyakinan atas kebenaran dan kurang memahami eksistensi elemen / parpol atau golongan rakyat yang berseberangan. Bagi ummat Islam, kebenaran mutlak yang diajarkan Al-Qur’an dan Hadist harus menjadi dasar dalam bernegara dan bermasyarakat. Namun tidak demikian bagi kalangan Sosialis atau Nasionalis. Akibatnya, dalam demokrasi, agenda pemilihan / penetapan Keputusan yang sering dilakukan melalui pemungutan suara terbanyak, menjadikan Pemenang Voting melakukan pengingkaran, penekanan dan pengabaian pada kelompok / elemen yang kalah yang selanjutnya dianggap kelompok minoritas. Pada akhirnya, pengalaman demokrasi pada masa Orla, yang melaksanakan pembagian Kekuasaan Kepala Negara dengan Perdana Menteri yang memimpin Kabinet Parlementer – tidak dapat menjamin proses kemajuan peradaban sosial-politik-ekonomi bangsa secara berlanjut.

Belajar dari pengalaman masa Orla, General Smile Soeharto telah melakukan konsolidasi politik dengan penyatuan Kekuasaan Kepala Negara dan Pemerintahan dalam wadah Kabinet Presidentil, dan melaksanakan upaya Prinsip Optimalisasi dalam Penyatuan Ideologi Negara dengan Parpol-2 (elemen) nasional. Prinsip penyatuan Visi (Convergensi) elemen bangsa kedalam paham Pancasila, telah mampu menyatukan rakyat-bangsa dan mempersempit perbedaan dalam bernegara – sehingga memuluskan jalannya proses peradaban Indonesia selama 32 tahun. Stabilitas dan keterujian Orde Baru jangka pendek-menengah dan panjang terbukti dalam masa PJPT I. Namun penyatuan paham negaramengarah pada penyeragaman azas dalam bermasyarakat – yang mengarah pada pemaksaan. Hal demikian sudah mengganggu keyakinan dan aspirasi ummat Islam. Tujuan – sasaran penyeragaman-pemaksaan, adalah untuk menjaga pengaruh dan kekuasaan, justru memperoleh penentangan, perlawanan yang mulai memperlemah dan meletihkan pada Rezim Soeharto. Sejalan dengan penyimpangan Orba yang sarat dengan KKN dan pengingkaran pada rakyat, Konsolidasi sistematis yang berlebihan dengan peneguhan P4 dalam wadah BP7 memperlihatkan In-konsistensi atas Komitmen – Visi - Misi dan Tujuan dengan Kenyataan yang berlawanan. Penyimpangan dan KKN yang menghasilkan berbagai masalah hingga krisis, sejalan dengan penyeragaman-pemaksaan pada azas tunggal Pancasila pada masa PJPT-II (1983-1998), pada akhirnya menjadi Anti-Tesis (Kegagalan) atas Konsep Ideologi dan Azas Negara yang telah berjalan baik pada masa PJPT-I (1968-1982). Dampaknya, rakyat Indonesia yang merupakan ummat Islam yang mencapai 95% dari 180 juta lebih diingkari dan merupakan bagian terbesar rakyat dalam kategori berpenghasilan rendah (miskin). Di lain segi, kaum minoritas non-pri keturunan Tionghoa, meski tidak memperoleh kesempatan dalam struktur kekuasaan dan Pemerintah, tetapi warga non-pri memperoleh prioritas dan bagai anak emas yang bergelimang harta kekayaan negara dan nasional (kaya raya). Dalam menyelesaikan masalah dengan BPPN pun, mereka sebagian besar memperoleh pengampunan dalam penyelesaian kewajiban hutang. Usaha pemihakan pada rakyat banyak yang dilakukan oleh seorang Adi Sasono dibawah Strategi Putar Balik pada masa Pemerintah BJ.Habibie, justru memperoleh perlawanan hebat, tidak saja dari dalam negeri namun juga oleh masyarakat Internasional di Singapura, Hongkong. Akibatnya, tatanan Infrastruktur Sosial-Politik yang terbangun selama 32 tahun runtuh, dan kini mengalami Polarisasi kembali bagaikan Amoeba ~ mau kemanakah demokrasi dan peradaban bangsa dan negara Indonesia ini berjalan ?.

Kini, polarisasi parpol dan elemen bangsa yang terbagi menurut Azas, menampakkan 3 paham: Islam, Demokrat dan Nasionalis. Kemudian muncul kombinasi keduanya: Demokrat-Nasionalis dan Demokrat Kebangsaan. Elemen parpol yang berazaskan Islam, secara tegas mencantumkan Islam sebagai azas partai, dengan paltform Azas Islam sebagai visi kenegaraan. Koalisi beberapa parpol Islam (PBB, PK dan PPP) telah menyatakan sikap tentang Syariat Islam dijadikan dasar dalam Amandemen UUD 45 tahun 2003, namun tidak memperoleh dukungan dari parpol-parpol besar. Dengan posisi Wapres dimenangkan dari PPP namun strategi dan Kebijakan Pemerintah tidak meminggirkan ummat Islam, namun juga tidak memberikan pemihakan & keadilan bagi rakyat dan bahkan masih menunjukkan ketidak-adilan dengan perbedaan perlakuan yang dialami oleh UKM yang sebagian besar pribumi dibanding dengan Nasabah Kakap / Konglomerat yang terjerat masalah di BPPN.

Kita coba tengok sejenak kajian ringkas dalam dinamika politik, yang diperankan oleh Parpol atau Kader parpol. Dari dialog dengan beberapa orang kader elit parpol Islam, tidak menunjukkan kesiapan konsep Visi dan Misi penerapan Syariat Islam dalam bernegara dan bermasyarakat – khususnya dalam hubungan keduniaan antar manusia (muamalah) yang sebagian besar adalah (85%) merupakan pergulatan ekonomi. Parpol-parpol Islam kurang memahami tentang Ekonomi Syariah, dan tidak memiliki Konsep tentang Ekonomi Syariah – yang substansinya diambil dari ajaran Islam (baca berbagai Platform Visi-Misi parpol Islam). Begitu juga dalam bidang Fiqh, Aqidah dan Syariat yang dapat membangun manusia-masyarakat & bangsa bermoral-berakhlaq dan dalam kerangka sistemik Pemerintah –Swasta yang bebas Keserakahan dan Korupsi sagat minim / tidak nampak. Implemntasinya, mereka larut dalam budaya Neo-KKN atas berbagai kepentingan ekonomi, kekuasaan dan pengedukan dana. Sebaliknya, dari dialog dengan Kader Elit dan parpol yang berdasar ajaran Bung Karno atau Sosialisme, kurang menampakkan kesiapan Konsep Visi-Misi dan Strategi hingga Kebijakan dan Program yang didasarkan sosialisme untuk Keadilan sosial dan Kesejahteraan rakyat. Bahkan implementasi parpol yang membawa Simbol dan Lambang Soekarno atau ajaran Soekarnoisme, justru berlawanan dari pemikiran Bung Karno. Kita lihat lemahnya peran Pemerintah Megawaty dalam membangun Kemandirian Nasional dalam Politik-Ekonomi Indonesia. Strategi – Kebijakan dan program yang ada justru mengurangi pemihakan dan peran Pemerintah dalam keadilan sosial-ekonomi pada rakyat (kasus BPPN, perdagangan bebas, pengurangan subsidi). Paham ideologi dan azas yang dianut, lebih menampakkan eksploitasi simbol Agama (ayat-ayat Qur’an) oleh parpol-2 Islam atau lambang-simbol Soekarno hanya di permukaan dalam jargon politik untuk menarik pengaruh dan pemenangan Pemilu oleh parpol-2 dengan simbol-lambang Soekarno. Bahkan, kini bangkit kecenderungan baru dalam pertarungan parpol-2 yang melibatkan putra-putri anak mantan Presiden terdahulu, karena faktor Figur / Tokoh Kharismatik atas pengikut dan kekuatan Dana yang dikelola oleh Kelompok Kepentingan untuk Kekuasaan.

Meskipun Amandemen UUD45 sudah selesai dan memperoleh pengesahan, dan telah dibentuk Mahkamah Konstitusi, namun persoalan penuntasan Politik tentang Ideologi dan Penempatan rakyat dan kaum minoritas yang tegas belum diselesaikan. Implikasinya, tataran strategi, kebijakan dan program pembangunan yang dijalankan oleh Pemerintah Kekuasaan Parpol pemenang berjalan sporadis dan bisa menjadi masalah dan bom waktu di masa mendatang ~ dengan penjualan asset negara, tuntutan kejahatan Penguasa / Pemerintah atas pelaksanaan Kekuasaan pada Hak-hak Azasi Manusia dalam bidang Pelaksanaan Amanat Keadilan.


II.D. Paradoks Demokrasi dan Komplikasi Penyakit Kebusukan

Rakyat seolah terkesima dengan hiruk-pikuk jalannya demokrasi di Indonesia khususnya Pasca Lengsernya Soeharto pada 1998. Demokrasi Indonesia seolah mempeeroleh pencercahan dengan kebebasan pers, penyampaian aspirasi dan demonstrasi dan tampilnya 124 parpol dalam agenda Pemilu 1999, 2004 serta 2009 . Rakyat seolah memperoleh akomodasi (pemenuhan aspirasi) dengan jargon-jargon demokrasi yang ada, sehingga masa depan keadilan, kemajuan dan kesejahteraan seolah akan menjadi kepastian bagi masa depan mereka. Namun apa yang terjadi dalam perjalanan pada masa Habibie, Gus Dur dan Megawaty ?. Dari uraian penjelasan Bab-1 hingga Bab II.B diatas dapat disampaikan kesimpulan tesis perjalanan demokrasi sbb:

1. Kegagalan sistem politik dan demokrasi yang dijalankan pada masa Penjajahan Orla, Orba dan Orde Reformasi, sudah jelas disebabkan oleh pengingkaran keadilan, penindasan dan pembodohan kepada bagian terbesar (mayoritas) rakyat Indonesia, sehingga rakyat tetap terbelakang dan miskin. Demokrasi seolah sudah selesai dalam bidang politik, namun tidak dalam bidang ekonomi, sosial dan hankam yang mengalaimi sedekit perubahan. Keadilan ekonomi bagi mayoritas rakyat (petani, nelayan, pedagang dan koperasi) tidak berubah, bahkan kebijakan Release & Discharge pada pengusaha konglomerat oleh Pemerintah 1999-2004 dan Mandegnya Pengusutan BLBI malah menjerat mantan Gubernur BI (Burhanudin Abdullan) dan Dep-Gub BI (AUlia Pohan) menunjukkan ketidak adilan dan memalukan. KPK bahkan hanya disibukkan dengan kasus-kasus yang relatif kecil, tidak pernah menangani masalah mendasar "pengoroposan sumber-2 keuangan & energi Nasional.

2. Demokrasi pada masa Reformasi kini yang diperankan oleh parpol-parpol yang ada, kalau kita telusuri secara cermat banyak dimainkan oleh orang-orang (tua) yang memiliki keterkaitan dengan masa lalu, baik sumber dana (tali-kendali uang), jaringan (link) kader-kader parpol Golkar, dengan pejabat-mantan pejabat-pengusaha-organisasi masa Orde Baru atau yang terkomtaminasi / terlibat KKN. Demokrasi seolah sudah memberikan legitimasi hasil dari proses pemilihan umum – untuk selanjutnya menjalankan proses politik-ekonomi dan sosial dalam pembangunan. Apapun strategi, kebijakan dan program yang dijalankan, pada umumnya masih mengikuti pola lama dan yang secara umum masih menghianati rakyat banyak dengan kasus BPPN, penjualan BUMN & asset swasta nasional, liberalisasi perdagangan internasional, pengingkaran berbagai Izin Eksploitasi Pertambangan Nasional dll.

3. Jalannya proses demokrasi kini yang memprioritaskan agenda Supremasi Sipil dengan Penegakan Hukum, telah berubah dengan munculnya komplikasi Penegakan Hukum yang makin Kusut, pengerahan massa dan satgas parpol besar dalam menjaga kepentingannya atau penyimpangan oleh Parpol, Kader, Elit atau Pengusaha jaringan dalam melawan dan menindas kontrol, pers, kritis, demo rakyat – mahasiswa.

4. Kiprah parpol dalam pelaksanaan demokrasi, melanggar kaidah demokrasi itu sendiri dalam Memelihara Rakyat sebagai Konstituen, penetapan Calon Legislatif dan Calon (jago) dalam struktur Pemerintah, dengan tanpa musyawarah anggota parpol, dan menjadi kepentingan Elit Parpol (DPP atau DPD). Proses keterlibatan para caleg parpol dan pelolosan dalam daftar jadi banyak sekali melibatkan konspirasi dan permainan uang untuk meloloskan calon tersebut. Bahkan masalah Hak Angket BBM tahun 2007 kini mandeg ditengah jalan.

5. Kemunculan Nepotisme baru dalam kancah poplitik sebagap Ketua Umum atau Elit baru dari para Mantan Petinggi Birokrasi (Pemerintah, BUMN dlsb) kini diikuti menjadi Magnit kepentingan dan pengaruh untuk kembalinya kekuasaan lama yang sebenarnya telah menjadi bagian masa lampau. Kiprah dan kecenderungan ini semakin sempurna dalam menilai jalannya demokrasi kita yang penuh Nepotisme dan kekuatan Pemain ekonomi Neo Kapitalis Liberal dan demokrasi semu yang dipenuhi oleh eksploitasi simbol-simbol kakuasaan Partai.

6. Demokrasi Indonesia sejak Orde Lama hingga kini, tidak menampakkan adanya Kontrak Sosial-Politik antara Rakyat dan Partai Politik. Pemberian kepercayaan rakyat (amanat) kekuasaan dan yang selanjutnya dijalankan oleh sistem Pemerintahan dan dipegang oleh Elit dapat berbeda dan menyimpang dengan komitmen awal. Akibatnya, jalannya kekuasaan dan Pemerintahan dipenuhi oleh penyimpangan dan pengingkaran pada rakyat.

Dengan demikian, demokrasi yang seolah telah berjalan baik, pada intinya mengalami mutasi yang demikian canggih mengikuti kaidah yang dikelabui dalam kelemahan demokrasi. Sehingga demokrasi yang berjalan – merupakan demokrasi semu yang penuh kebusukan dan menampakkan diri sebagai demokrasi yang dipenuhi paradoks.

Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 telah ditetapkan agenda Reformasa oleh Mahasiswa dan Pemerintah Habibie. Namun agenda tersebut telah digantikan oleh Pemerintah yang legitimate, baik dibawah Gus Dur dan kini oleh Pemerintah Megawaty. Namun dengan, kiprah, proses perjalanan Pemerintahan pasca 1999 memberikan penampakan agenda utama : penyelesaian berbagai masalah jangka pendek yang dihadapi oleh Pemerintah, Negara dan Rakyat yang meliputi:

1. Pembayaran dan Penjadwalan hutang luar negeri oleh Pemerintah & Swasta,
2. Penyelesaian masalah perusahaan swasta nasional yang dikelola oleh BPPN sehingga BPPN mengobral asset Debitur swasta nasional yang penuh bau KKN dan Under Valued ~ dalam rangka pemasukan untuk APBN Indonesia
3. Privatisasi BUMN yang lebih menampakkan penjualan saham untuk pemasukan APBN Indonesia yang penuh bau KKN dan Under Value,
4. Penegakan hukum hanya pamer / dagelan supremasi Hukum, yang hanya ditonjolkan pada kasus korupsi yang terkait dengan Pucuk Pimpinan Parpol, yakni Gus Dur (PKB) dan Akbar Tanjung (Golkar) ~ yang hanya menyangkut sejumlah dana BULOG Rp.77 miliar dan berbagai kasus Dana APBN & APBD yang ecek-ecek ~ Namun menyembunyikan berbagai kasus Kebocoran, manipulasi, pencurian mega raksasa setiap tahun sbb:

• Manipulasi pajak senilai Rp.100- Rp. 240 triliun lebih setiap tahun,
• Kebocoran (manupulasi, pencurian dll) Migas Rp.154 triliun / tahun,
• Pencurian Ikan senilai Rp.17 triliun / tahun,
• Pembobolan BLBI lebih RP. 600 triliun oleh Konglomerat hitam,
• Korupsi sistemik dengan Mark-Up dalam kontrak pembelian listrik swasta PLN yang mencapai 5.000 MW ,
• Korupsi sistemik APBN & APBD yang mencapai Rp.100 triliun / th,
• Pencurian & manipulasi hasil hutan (kayu) senilai lebih Rp.17 triliun / th,
• Untuk tambang emas : semuanya serba Gelap & Misteri : Bagaimana skema bagi hasil tambang emas Tembagapura antara PT.Freeport dengan Pemerintah RI ? (di Timika-Papua), antara Newmont dengan Pemerintah RI (di NTB), antara PT.INCO dengan Pemerintah RI di Sulsel (Nickel) ?,

Gambaran bergelimangnya aliran uang dalam kebobrokan sistem manajemen dana di Pemerintahan, jelas menjadi kepentingan yang sangat luar biasa hebat menggiurkan bagi pemegang kekuasaan dan parpol untuk terlibat dalam aliran politik uang, yakni melalui : Kompromi, Penekanan (black mail), atau tidak mau terlibat (clean). Dengan terlibatnya jaringan keterlibatan sistem manajemen Pemerintah, BUMN dan para kroni pengusaha dalam sistem pengusahaan dan kekuasaan, maka elit, kader, anggota legislatif parpol di DPR, kroni pengusaha sulit untuk tidak terlibat dalam kroni-kompromi & nepotisme dengan tatanan sistem yang telah terbangun. Kalau sudah begini, tatanan baru yang terbangun adalah simbiose mutualisme baru antara kelompok kepentingan (pejabat Pemerintah lama, kroni lama) dengan elit baru (pejabat baru & kroni baru) serta anggota dewan.

Bagi elit baru dari parpol baru yang memperoleh kemenangan Pemilu, dan elit baru yang telah sekian lama (lebih 32 tahun) menjalani keprihatinan akibat tekanan, miskin dlsb, biasanya menampakkan agresifitas yang hebat (keserakahan) dalam menghadapi bergelimangnya uang / dana yang tidak dikontrol rakyat ~ atau dikontrol untuk sama sama tahu dan kepentingan bersama oleh elit. Ehingga mereka tidak tahu malu, menampakkan orang kaya baru (OKB) yang hidup sangat berkemewahan dengan kekuasaan yang dimiliki, bahkan kini mengabaikan bahwa kebijakan yang ditempuh sudah mengarah pada pengkhianatan negara dan membawa resiko jebakan masalah yang besar pada masa depan.

Mengingat kekuasaan adalah sumber kekayaan, maka kini demokrasi yang berkembang sebagai pertempuran parpol meraih kemenangan untuk memperoleh kekuasaan. Kekayaan (uang) kini dimobilisir oleh parpol berkuasa dengan berbagai cara (neo KKN yang hebat) untuk arsenal (modal operasional) parpol dalam kampanye untuk memperoleh kemenangan dan mencapai kekuasaan berikutnya. Akibatnya, demokrasi yang berkembang dalam masa Reformasi ~ justru menjadikan sistem politik, bangsa dan negara menghadapi penyakit yang lebih kompleks ~ menjalar ke bagian tubuh pengawas (DPR) ~ dan melibatkan aspek / organ yang lebih vital yang meliputi kepemilikan Negara (BUMN) ~ menjalar ke sendi-sendi kroni baru yang lebih luas ~ dan lebih ganas (tidak tahu malu & lebih serakah) ~ disertai masuk-keterlibatan virus-bakteri baru dengan premanisme. Tatanan sistem pemerintah dan sistem kontrol bahkan sudah jelas-jelas terjangkiti neo-KKN secara sistemik dan kronik. Reformasi yang diharapkan dapat memperbaiki secara bertahap ~ ternyata menjadi kegagalan ~ dan menjadi demokrasi mengalami pesakitan yang lebih kompleks, rumit dan meluas.

Para generasi muda, adakah resep yang lebih mujarab selain Reformasi untuk penyehatan demokrasi demi kemajuan Indonesia ?