Selasa, 04 Agustus 2009

BAGIAN KESATU :KILAS BALIK PERADABAN : INDONESIA SEBAGAI AJANG PEREBUTAN PENGUASAAN


BAGIAN KESATU BAB I :
KILAS BALIK PERADABAN
INDONESIA SEBAGAI AJANG PEREBUTAN PENGUASAAN


Arah peradaban bangsa dan negara Indonesia sangat besar ditentukan oleh Kepemimpinan Nasional dan Kesesuaian-kematangan Demokrasi: maju, stagnan atau bahkan mundur. Indonesia yang memiliki keragaman etnis-sistem nilai adat-agama dan terpencar di berbagai daerah yang luas ini sangat membutuhkan Pemimpin yang memiliki leadership kuat–ksatria-konsisten memegang amanat rakyat dalam menapaki majunya peradaban. Selanjutnya, pemimpin tersebut mampu membangun sistem demokrasi yang sesuai dalam mengemban amanat rakyat. Thesis demikian adalah sebagai ringkasan atas jalannya dinamikia proses peradaban yang dialami bangsa & negara Indonesia, semenjak Penjajahan, Orde Lama (Demokrasi Terpimpin), Orde Baru (Demokrasi Pancasila) dan Orde Reformasi (Kebebasan demokrasi) ~ untuk mengkaji: mengapa rakyat-bangsa kita senantiasa terbelakang & diingkari oleh Elit Penguasa, dan kenapa Negara kita yang kaya kini menampilkan diri sebagai sosok negara yang tidak berdaulat dan tidak bermartabat. Kajian demikian, seharusnya memberikan pelajaran dan kemampuan dalam membangun sistem demokrasi (sistem peradaban) yang paling optimal bagi Indonesia beserta pilihan Pemimpin yang tepat & amanah.

Kajian tentang Indonesia sebagai ajang perebutan kepentingan (penguasaan) adalah untuk mencari akar sebab: (a). Mengapa bangsa-negara (berkembang) bisa & mudah dikuasai, (b). Apa strategi utama / mendasar untuk menguasai dan (c).Bagaimana sistem penguasaan tersebut dapat berlangsung terus dari satu fase ke fase sistem peradaban berikutnya.

I.A. Kilas Balik Penguasaan Fisik Indonesia oleh Penjajah

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki kekayaan alam sangat besar: minyak, gas, emas, nickel, tembaga, batu bara, hasil laut, dan hasil hutan. Kita ambil 2 contoh ekstrim kekayaan kita. Tambang tembaga dan emas di Tembagapura-Timika, Papua adalah salah satu daerah penghasil “emas & dollar” bagi Amerika Serikat. Pertambangan ~ PT. Freeport Indonesia ~ dimiliki sebagian besar oleh Mc Morran (warga AS eks CIA) yang telah berjasa bagi Soeharto dalam menumbangkan Soekarno. Bahkan hasil dari Tembagapura menjadi tulang punggung (back-bone) bagi salah industri pesawat militer AS dan sebagian cadangan emas AS. Kemudian dari hasil laut, wilayah Laut Arafuru adalah pasar malam pengedukan hasil ikan Indonesia. Di wilayah Maluku Tenggara, menjadi pusat penangkapan ikan raksasa yang melibatkan pengusaha Indonesia beraliansi kelompok Taiwan dengan jumlah armada 500 kapal ikan (kapasitas 100 hingga 500 ton) dan beberapa buah super tanker untuk transportasi hasil penangkapan ke pasar Cina, Hongkong dan Taiwan dengan nilai penjualan puluhan triliun rupiah. Belum terhitung sumber-sumber dari hutan, gas, batu-bara, nickel dan emas di berbagai wilayah tanah air lainnya yang mencapai nilai ribuan triliun rupiah setiap tahun.

Kekayaan alam yang besar inilah menjadikan Indonesia sebagai ajang perebutan penguasaan secara fisik oleh bangsa Eropa (Belanda vs Portugis abag 16-19), Belanda vs Jepang tahun 40an. Kini, perebutan penguasaan mengalami evolusi (penyesuaian) dengan penguasaan politik dalam negeri dan penguasaan sumber-sumber kekayaan secara ekonomi. Penguasaan atas kekayaan beserta pengendalian bangsanya oleh negara maju hingga kini: pada hakekatnya dapat berlangsung diatas kelemahan-kebodohan struktural bangsa & rakyat Indonesia. Kelemahan-kebodohan struktual bangsa berupa kombinasi kelemahan fisik, moral, kecerdasan dan intelektual maupun kekuatan modal. Upaya yang dijalankan dalam penguasaan tersebut pada dasarnya dengan strategi “pembodohan sistematis” oleh negara dan kelompok pengusaha maju pada bangsa / rakyat Indonesia, yang berjalan sejak jaman penjajahan hingga kini. Dengan terbukanya secara luas dan rinci berbagai kekayaan alam Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai ajang penguasaan (perebutan kepentingan) oleh berbagai negara / kelompok pengusaha negara-negara maju. Jepang, Korsel, Taiwan dan RRC kini agresif berperan mengeduk-eduk bersaing dengan AS, Inggeris, Perancis dan negara Eropa lainnya.

Pada jaman kolonialisasi abad 16 hingga awal abad 20, penjajah Portugis dan Belanda selain menggunakan kekuatan & keunggulan fisik (sistem dan senjata ) atas manusia-bangsa Indonesia, juga dengan sistem pembodohan sistemik atas manusia dan rakyat. Berbagai cara dipergunakan, mulai memberi minuman alkohol untuk membuat budaya pemabuk (drunken), intervensi sistem nilai-adat, adu domba-memecah belah-fitnah, pembatasan sekolah bagi rakyat hingga penangkapan dan memenjarakan hingga pembunuhan bagi manusia ksatria-pandai yang menggalang kesadaran kolektif – luas rakyat. Sejarah perjuangan bangsa oleh Cut Nyak Dien, Imam Bonjol, Diponegoro, Hasanudin, Sultan Nuku dlsb adalah sejarah perjuangan tokoh (pemimpin) beserta rakyat melawan penguasaan-penindasan penjajah. Muncul dan bangkitnya tokoh / pemimpin adalah bangkitnya kesadaran, kepandaian intelektual & keberanian atas hak-hak hakiki manusia terhadap penindasan rakyat dalam wilayah tanah air. Puncaknya pada masa akhir kolonialisme abad 20 adalah penangkapan-pemenjaraan Bung Karno dalam membangkitkan perjuangan melawan penjajah Belanda.

Belanda dalam menjalankan penjajahan atas bangsa-negara Indonesia dapat berlangsung dalam waktu panjang, secara politik memerlukan dan mendasarkan pembenaran / legitimasi politik kekuasaan yang sah (diakui PBB). Belanda bersandar pada kekuasaan Kasunanan, Kasultanan, Kerajaan yang sah – yang ada dalam dokumen pengakuan di PBB atau Pengakuan kedaulatan menurut pengakuan dunia Internasional. Legitimasi / pembenaran secara politis pada sistem kekuasaan yang sah inilah pada akhirnya menjadikan Kasunanan-Kasultanan-Kerajaan bagai simbol bagi Pemerintah yang sah dalam suatu masyarakat dan dalam sauatu daerah. Namun demikian, mempertimbangkan pengaruh Sultan-Sunan-Raja cukup besar bagi rakyat, pembodohan-pelemahan sistemik pun dijalankan pada Sultan-Sunan-Raja beserta kaluarga atau tokoh-tokoh terdekat, dengan menina-bobokkan mereka. Manakala ada Sultan – Sunan – Raja yang kritis-pandai dan berani melawan penjajah, maka pemberontakan pun ditimbulkan dengan sasaran mendongkel Sultan-Sunan-Raja yang mbandel. Kalapun SSR bangkit bersama rakyat melawan penjajah, penindasan kejam dilaksanakan. Kita lihat Kasultanan Tidore yang dipimpin Sultan Nuku, Kasultanan diratakan dengan tanah dengan pembunuhan sistemik terhadap rakyat. Apabila perlawanan cukup luas dengan jumlah rakyat sangat banyak, maka pembasmian rakyat ditempuh. Lihat serdadu Belanda Wasterling yang membinasakan 40.000 rakyat di Sulawesi Selatan secara keji. Intervensi Belanda kedalam sistem nilai adat atau agama (Islam) pun dilakukan, untuk memperlemah, mengadu domba rakyat. Lihat Snock Hurgonje yang telah berhasil memecah belah antara rakyat Aceh dengan Kaum Bangsawan. Sistem nilai dalam adat Jawa pun berhasil ditanamkan secara luas, seperti falsafah Nrimo (serba menerima), Mikul Duwur Mendem Jero (menyanjung tinggi-tinggis dan mengubur kejahatan dalam-dalam) sehingga menjadikan orang Jawa lemah.


Dari uraian diatas dapat ditarik suatu tesis : bahwa penguasaan dan penjajahan dapat berlangsung dengan meneguhkan kekuatan-kepandaian-kelebihan fisik atas bangsa / negara maju diiringi pembodohan dan pelemahan sistematis dalam sistem politik dan pemerintah yang sah - atas masyarakat-bangsa yang lemah-bodoh (Indonesia) – adalah yang senantiasa dijalankan oleh manusia-kelompok pengusaha (VOC) dan bangsa penjajah (Belanda, Portugis dan Jepang). Pelanggaran sistematis atas Hak Azasi Manusia Indonesia oleh bangsa-negara penjajah, telah mengakibatkan berbagai dampak kerusakan mental dan kejahatan keyakinan (pemaksaan agama) dialami oleh bangsa Indonesia. Soekarno dalam Indonesia Menggugat – secara tegas memandang Belanda telah melakukan kejahatan sistemik dengan merusak peradaban rakyat Indonesia, yakni dengan memaksa merubah keyakinan beragama Islam ke Nasrani di berbagai daerah (Sumut, Sulut, Maluku dan Jawa Tengah).



Kiranya tesis diatas perlu kita uji dalam relevansi waktu, apakah masih berlangsung dalam era pegulatan dunia yang modern, globalisasi dan canggihnya teknologi informasi kini. Bahkan, apakah masih berlaku ditengah era demokratisasi yang melanda di belahan dunia dan negara-negara berkembang.

I.B. Penguasaan oleh Kekuatan Global Uang, Senjata dan Politik

Kemandirian Indonesia yang digalang oleh Pemimpin besar Revolusi-Soekarno dalam masa 1945 hingga 1966, nampaknya mengalami keruntuhan akibat kemandirian Indonesia yang mengalami “stagnasi ekonomi”. Pilihan kemandirian dengan motto “Go to Hell with your Aid America”, tidak menjadikan Indonesia memilih secara tegas blok Timur (Rusia) dalam menjalankan transformasi peradaban dan ekonomi. Pemilihan kiblat / blok aliansi Rusia & RRC hanya pada segi penguatan politik, militer dan persenjataan ~ sebagai kepanjangan geo-politik dalam perang dingin antara AS versus Rusia. Pembangunan sektor ekonomi dan teknologi tidak berlangsung, sehingga sejalan dengan pertambahan penduduk dari 60 juta jiwa (th.1945) menjadi 100 juta (1966) Indonesia mengalami kesulitan (kelangkaan) sandang, pangan dan papan bahkan kesehatan. Sikap blok Rusia yang setengah-setengah dalam transformasi peradaban sangat berbeda dengan Cuba yang secara tegas dan berani, menarik kekuatan teknologi dan modal Rusia dalam membangun Cuba, dengan prioritas Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan. Indonesia hingga tahun 1966 tidak terjerat Utang dan komitmen dengan berbagai negara, tetapi Indonesia juga tidak punya apa-apa dalam mengolah sumber-sumber kekayaan alamnya. Pemimpin ~ Soekarno lebih asyik menikmati retorika pembangkitan semangat bangsa, namun tiada program aksi yang berarti dalam memajukan bangsanya. Soekarno menikmati betul proses dinamika & uji coba sistem demokrasi, serta bangga dengan pamer kekuatan fisik-militer dengan dukungan persenjataan dari Rusia. Tidaklah mengherankan bila Indonesia waktu itu mengalami kelaparan (kurang pangan), dan puncaknya krisis ekonomi dengan inflasi yang mencapai 600 persen lebih.

Kendala besar yang dihadapi dalam sistem politik nasional pada jaman Orde Lama adalah polarisasi 3 (tiga) kekuatan paham yang berdasar agama, nasionalisme dan komunisme yang saling kontradiksi, sehingga menyulitkan Indonesia dalam menentukan sistem politik yang optimal, apakah demokrasi atau sistem sosialisme (perencanaan terpusat). Akibatnya, sistem politik dan pemerintah tidak stabil, Kabinet sering berganti dan seterusnya program transformasi peradaban (pembangunan nasional) berjalan sangat lamban ditengah gejolak. Bahkan, Soekarno terjebak dalam eforia kekuatan melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Meskipun eksploitasi sumber kekayaan alam masih terbatas, Indonesia telah menjadi kepentingan Rusia dari sisi jaringan geo-politik sosialisme poros Jakarta-Moscow dan Indonesia sebagai pasar peralatan militer produksi Rusia. Namun demikian, Indonesia dibawah Soekarno telah menjadi inspirasi semangat / pelopor bagi bangkitnya dunia ketiga yang terjajah (oleh Bolk negara-negara Barat Eropa) dalam menggapai kemerdekaan nasional.

Tampilnya Soeharto pada masa Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I) selama kurun 15 tahun (1970-1985) telah memberikan peran dan sumbangan yang sangat besar dalam membawa kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara. Direkrtunya para Teknokrat, Ilmuwan dan Ahli di masing-masing bidang telah membawa transformasi peradaban yang sangat besar dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Sistem Kepemerintahan masih berjalan mantap, tegas dan konsisten, sehingga parameter tujuan – sasaran dalam fase perencanaan tahunan-lima tahunan dan sepuluh tahunan, harus kita akui menampakkan hasil yang gemilang. Strateg pembangungan yang bertumpu pada strategi Trilogi Pembangunan : Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan dapat berjalan secara baik. Keadaan stabilitas politik dan keamanan dalam negeri telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu menyedot berbagai negara maju, khususnya Jepang dan AS serta negara-negara Eropa lain menanamkan modal (uang) ke Indonesia. AS membidik dan mengeksplorasi core-bisnis mereka yakni sumber-sumber mineral : emas dan minyak bumi Indonesia. Sedang Jepang menjadikan Indonesia sebagai pasar konsumsi hasil industri dan dengan memberikan pinjaman modal bagi pembangunan Infrastuktur (Jalan, Pelabuhan, Airport, Terminal dll) untuk memperluas penggunaan hasil industri Jepang. Dari tahun ke tahun, jumlah negara maju Eropa makin bertambah, Inggeris, Canada, Austrlia dan Belanda semakin banyak terlibat. Hasilnya, secara kuantitatif terlihat naiknya produksi Pertanian, Tambang Migas, Hutan dan naiknya penghasilan per kapita dari US$ 300 (1970) menjadi US$ 950 pada 1985 – naik hampir 3 kali lipat dalam masa 15 tahun.

Berkuasanya Soeharto selama 32 tahun, secara sadar dan tidak sadar, bangsa dan Orde Baru terjebak Kekuasaa Tunggal (Mutlak) Soeharto. Kekuasaan tunggal pada akhirnya membuktikan Adigum: Power tends to Curropt, Absolute power tends to Absolute Corrupt. Soeharto yang telah berhasil menjadi pemimpin / presiden selama 32 tahun terus-menerus terpilih hingga 6 kali Pemilu, sulit membayangkan bagaimana “super power” nya Soeharto pada masa 1968 -1998. Kekuasaan yang sangat hebat telah menjadikan Soeharto sebagai Dinasty, baik bagi kepentingan politik dan ekonomi pada masa itu. Segala urusan (politik, ekonomi, kekuasaan dll) yang menjadi kepentingan Soeharto atau net-work atau bahkan terkait keluarga Soeharto, menjadi lancar. Sehingga beramai-ramailah para pengusaha, politisi, birokrasi dan investor untuk menjalin “Nepotisme” dengan keluarga-famili-sanak saudara Soeharto, dan sudah tidak mempedulikan apakah tujuan-sasaran & dampak akibat urusannya menimbulkan malapetaka & bencana yang hebat di kemudian hari atau masa depan, bagi bangsa dan negara Indonesia.

I.C. Dogma dan Falsafah Bangsa: Peneguhan Kekuasaan Raja.

Masa perjalanan Pemerintahan Orde Baru dibawah Soeharto, menampakkan prestasi yang gemilang pada fase pertama PJPT-I (Pembangunan Jangka Panjang Tahap I) yang dimulai dari th 1968-1983. Soeharto melakukan kordinasi dan konsolidasi secara mantap yang berdasar strategi yang ditetapkan ~ yakni Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan.

Stabilitas diciptakan dengan melaksanakan konsolidasi stabilitas pertahanan-keamanan dan stabilitas politik. Stabilitas Hankam ditempuh dengan menjalankan fungsi ABRI dan POLRI sebagai pemelihara pertahanan dan keamanan secara ketat, dan memperpanjang peran Purnawirawan dengan Dwi Fungsi ABRI dalam fungsi Birokrasi, Sosial dan Politik. Stabilitas Politik ditempuh dengan mengkonsolidasikan Partai Politik (Parpol) yang banyak hanya menjadi 3 wadah, PPP (gol Islam), Golkar ( Golongan Karya) dan PDI (golongan Nasionalis-Sosialis). Dalam aspek Sosial ~ khususnya faham dan ideologi masyarakat, stabilisasi ditempuh dengan Penerucutan (Penyeragaman) faham ideologi berdasarkan Azas Pancasila, pada seluruh Organisasi, parpol ataupun LSM yang ada, dengan demikian perbedaan, polarisasi dan bahkan konflik tentang faham Ideologi diperkecil. Pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila dalam bernegara dan bermasyarakat menjadi koridor system masyarakat dalam berkiprah sosial atau politik. Integrasi dan Sinkronisasi dalam menciptakan Stabilitas Pertahanan-Keamanan, Sosial dan Politik pada masa PJPT-I benar-benar memberi Stabilitas Pemerintahan yang dipimpin Soeharto. Hasilnya, usaha dan langkah cerdas Soeharto telah memberikan hasil & prestasi gemilang. Produksi pangan, sandang dan papan serta Pencukupan kebutuhan rakyat akan kebutuhan pokok dapat diatasi. Pejabat yang dipilih menduduki Menteri dan Eselon 1, banyak yang berperan sebagai Negarawan tulen dan hanya berpihak pada Rakyat. Bahkan tercatat seorang Menteri (Pekerjaan Umum) ~ Ir. Soetami ~ sebagai Menteri yang kekurangan Gizi karena begitu tinggi pengabdian dan kiprahnya dalam membangun negara, sehingga menderita penyakit kanker kulit. Penulis akui, pada masa inilah, kita atau siapapun orang dapat bepergian ke berbagai pelosok tanah air Indonesia, dari Sumatera hingga pedalaman Irian Jaya, sungguh sangat aman dan nyaman.

Memasuki masa PJPT-2, strategi Garis Besar Haluan Negara Trilogi Pembangunan tetap dipertahankan. Empat aspek yang mengalami pengetatan, yakni :

1. Penguatan & Pemberlakuan Azas Tunggal Pancasila sudah mengarah Dogma,
2. Perluasan peran Dwi Fungsi ABRI hingga ke Pemerintahan Desa dan Legislatif,
3. Konsolidasi Partai Politik mengarah pada Kontrol dan Simbolisasi Politik dengan Penempatan orang-orang sebagai Boneka, sehingga bila Sikap Kritis apalagi perbedaan Pandangan akan Direcall.
4.Kekuasaan Presiden (RI-1) sudah mengarah Kekuatan Tunggal & Mutlak,

Penguatan peran dan kekuasaan Soeharto dalam membangun peradaban Indonesia, memberikan rasa decak kagum bagi dunia Internasional, sehingga pada awal tahun 1980 Indonesia sudah diramalkan akan Terbang Landas (Take Off) memasuki sebagai negara Industri Baru (NICS). Konsolidasi sistematis Sosial-Politik dan kekuatan Birokrasi Pemerintah yang sangat kuat, benar-benar telah menjadi perangkat sistem hebat dalam Eksplorasi dan Produksi Nasional. Penguatan dan perluasan 4 (empat) aspek diatas sejalan dengan penerapan strategi Trilogi Pembangunan, semakin memperkuat penerapan Azas Tunggal Pancasila sebagai Dogma dan Paham Kehidupan, dengan diperteguh dengan didirikannya BP7 dalam penerapan P4.

Aglomerasi kekuasaan yang besar, secara sadar dan tidak sadar telah menjadikan Soeharto sebagai Raja, sehingga falsafah dan penerapan yang dilaksanakan sudah sarat dengan falsafah Raja. Ucapan, kehendak dan kebijakannya tidak boleh ada penghalang dan harus dilaksanakan. Konsepsi kekuasaan Negara dan Pemerintahan bagaikan falsafah Raja, yakni Tanah, Rakyat dan Kekayaan adalah milik Raja (Dinasty) ~ The Land, The People and The Wealth are Belongs to The King. Dampak buruk dan akibat negatif kekuasaan mutlak semakin hebat yakni munculnya para Penjilat, Pengkhianat, Munafik dalam Rezim Soeharto atau jaringannya, baik di Pemerintahan, Kroni maupun Jaringan Pengusaha. Akibatnya, dengan Kekuasaan besar, ditunggani penyimpangan-korupsi-pengkhianatan, Soeharto atau alat kontrol tidak dapat / tidak mampu memahami dan menyadari penyimpangan tersebut. Laporan kalangan dekat-kroni senantiasa menyenangkan Bos dan banyak merugikan rakyat. Kritik atau pandangan kritis tentang dampak dan ancaman bahkan menjadi Sanksi atau bahkan Hukuman penjara. Munculnya kelompok Petisi 50 yang dipimpin Ali Sadikin, menjadi hukuman dan berbagai sanksi yang didapat para anggota penanda tanganan petisi 50 beserta anggota keluarganya.

Sistem Domokrasi yang dibangun hanyalah Penyederhanaan yang bukan saja tidak lagi Aspiratif bagi rakyat ~ tetapi sudah tidak berfungsi dan tidak berguna dalam membela kepentingan rakyat banyak. Bahkan sebaliknya, sistem demokrasi dengan produk sistem politik yang ada banyak merugikan (mengkhianati) rakyat. Kebekuan demokrasi dan sistem politik memunnculkan : Wakil-wakil rakyat hanyalah kroni-kroni yang membela Rezim, pejabat Pemerintah dan para pengusaha kelas kakap. Jumlah rakyat yang sudah mencapai 200 juta diberikan parade kebohongan, penyimpangan dan korupsi yang merajalela. Berbagai kasus dapat kita sajikan sbb:

1. Pengaturan tataniaga Cengkeh (lewat BPPC), Biji Mete (di Sulsel), Jeruk buah (di Kalbar) dan obat-obatan & farmasi (kesehatan), media massa (pers), monopoli investasi pembangunan Jalan Tol (Infrastuktur), berbagai pembebasan Lahan rakyat, monopoli Pengadaan Pembangkitan Listrik PLTGU (energi), pemberian Hak Penguasaan Hutan (HPH), monopoli pengangkutan Tanker Minyak (Pertamina), monopoli usaha media TV dan penyiaran, memberikan hasil ekonomi biaya tinggi & kerugian bagi rakyat-petani, kerukorupsi dan penuumpukan kekayaan pada segelintir orang.

2. Pemilihan, penyaringan kader-kader Parpol dilakukan melalui penyaringan dengan sangat ketat dengan perangkat Penelitian Khusus (Litsus) dan Bersih Lingkungan (Beling) dan disertai perangkat system penyeragaman Ideologi (telah lulus P4), sehingga para Legislaltif adalah orang-orang yang akan seirama (boneka). Para wakil rakyat yang duduk di DPR (pusat), DPRD-I dan DPRD-II (daerah & propinsi) tidak lagi membela kepentingan rakyat.

Dalam masa PJPT-2, kekuasaan Soeharto yang demikian besar telah memunculkan Interest Grup dari segolongan kecil rakyat Indonesia dalam wadah CSIS (Central Strategic for Indonesian Studies) yang diketuai oleh Dr. Pang Lay Kim (didirikan bersama oleh Prof.Dr. Daoed Joesoef, Ali Murtopo, Soedjono Humardani dll). CSIS menampakkan wajah sebagai Lembaga Studi yang mencerminkan intelektual, dengan karya-karya Kajian Studi untuk memberikan Masukan dan Dasar Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan. Belakangan diketahui, CSIS memiliki segerbong kelompok pengusaha (umumnya Non-Pri) yang menikmati aplikasi / penerapan studi dan saran CSIS. Lingkup studi / kajian meliputi Sosial-Politik-Ekonomi dan Geo Politik, dengan kiblat dan sarat kepentingan ke negara Adidaya AS. CSIS menjadi kelompok Smart-Group bagi AS dan jaringannya, yang memberikan rumusan “kecerdesannya” mengalahkan kelompok Bappenas, LIPPI dll, dalam menjaga & menguasai kepentingannya di Indonesia. Pernahkah suatu kajian, studi atau tesis produk CSIS yang membela Industri Rakyat Banyak-misalnya industri Kerjainan Batik yang merupakan industri khas para pribumi Indonesia ?. Atau membela kepentingan 60% penduduk Indonesia ~ yakni petani ~ dalam meningkatkan produksi, dan ketangguhan teknologi pertanian ?. Atau membela kepentingan Indonesia dalam Kontrak Bagi Hasil anatara Freeport dengan Pemerintah & Rakyat yang adil ?.

Sistem demokrasi, politik, sosial dan Hankam, dengan stabilitas Pemerintahan serta program pembangunan yang berjalan pada masa PJPT-II sudah semakin kehilangan arah ~ khususnya bagi keadilan rakyat. Sistem yang berlaku, lebih banyak berupa penguasaan sistematik kekuasaa, sumber alam, asset dan keuangan negara serta keuangan perbankan untuk kepentingan Rezim, keluarga, pejabat dan kroni-kroni pengusaha berupa “segerbong konglomerat”. Kekayaan nasional sebesar 95% dikuasai oleh kurang dari 3% penduduk, dan 97% penduduk hanya dikucuri 5% kekayaan nasional. Strategi ketiga dari Trilogi yakni Pemerataan hanyalah “bedak, lipstick” atau buah bibir yang indah untuk menghiasi pidato Kenegaraan. Sistem Kontrol Nasional (melalui DPR, DPRD-I dan DPRD-II) tidak berjalan (beku). Kontrol sistemik dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Inspektorat (Irjen) hanya basa-basi. Kontrol sosial dari rakyat, diberangus dan dipenjara.

I.D. Pengedukan Sumber-sumber Asset Negara dan BLBI

Falsafah pembangunan yang dicanangkan oleh General Smile “Soeharto” dalam Pembangunan nasional dari Repelita I hingga V ~ yakni Trilogi Pembangunan: Stabilitas, Pertumbuhan dan Pemerataan, tidak mengalami perubahan. Stabilitas pertahanan dan keamanan nasional menjadi kondisi mendasar bagi pembangunan ekonomi dengan fokus pertumbuhan. Pemerataan diyakini oleh para Teknokrat ~ otomotis akan terjadi dengan mekanisme “menetes kebawah” (trickle down effect) sebagai dasar keyakinan yang dirumuskan oleh Prof. Michael Todaro (Prof ekonomi, peraih Nobel dan penulis buku Economic Development in Third Countries). Angka-angka kuantitatif tentang PDB, peredaran uang, pertumbuhan Investasi, Income per capita dan lain sebagainya menjadi dominasi dari pidato-laporan Pemerintah dari masa ke masa sejak 1970 hingga 1997. Dalam realitasnya, selama kurun waktu 32 tahun rezim Orde Baru, Pemerataan dan Keadilan sosial sulit tercipta dan sulit diciptakan. Bahkan ada skenario yang sengaja untuk menghambat usaha-usaha penciptaan pemerataan bagi masyarakat.

Prioritas utama pertumbuhan, telah menjadikan sikap Pemerintah dan Soeharto menempatkan prioritas unit ekonomi, pengusaha, sektor usaha dan investasi skala besar. Sehingga alokasi kredit perbankan hampir 85% tersedot pada usaha ekonomi skala besar ~ yang hampir 90% dikuasai oleh pengusaha Non-Pri Cina. Alokasi APBN juga menjadikan unit-unit pembangunan skala besar menyerap alokasi lebih 60%, seperti Prasarana, Pembangkitan dlsb. Akibatnya, skala usaha kecil dan menengah hanya memperoleh alokasi 10-15% dari pendanaan nasional.

Akibat kombinasi dari kekuatan absolut rezim Soeharto yang telah menciptakan budaya KKN, usaha skala besar pun juga sarat dengan KKN. Kita ambil contoh unit Pembangkitan Listrik PLTGU ~ perusahaan PLN dipaksa menanda tangani kontrak pembelian listrik swasta lebih mahal 35% akibat Mark-Up dan Kolusi keluarga Rezim dan pejabat negara dengan saham kosong, kedalam unit usaha pembangkitan listrik tersebut. Dan kini, listrik masih merupakan kelanjutan “penyedotan darah rakyat” akibat KKN sistemik masa lalu hingga kini. Contoh ekstrim lainnya adalah pengusahaan tambang emas dan hutan, hingga kini merupakan eksploitasi oleh pengusaha besar asing dan nasional ~ bahkan dengan perlindungan sistemik Undang-Undang dari DPR yang telah dikendalikan oleh Rezim Soeharto. Keadaan tersebut menggambarkan bahwa sumber-sumber kekayaan alam dan sumber-sumber darah (uang) bangsa menjadi penguasaan dan penghisapan oleh Pengusaha asing yang berkolusi dengan Pejabat dan Nepotisme keluarga Rezim, melalui Mekanisme Legitimasi Pemerintahan yang sah, bahkan dengan perlindungan oleh Undang-Undang produk Dewan Perwakilan Rakyat. Korupsi sistemik inipun tetap berlangsung, baik pada era Pemerintah Habibie, Gus Dur maupun Megawaty.

DPR atau Pemerintah pada masa 1970-1997 tidak pernah membuka pertanggung jawaban kepasa Bangsa & Negara: Apakah harga pembelian listrik swasta yang dimenangkan adalah harga yang bersaing, bagaimanakah harga pasaran internasional. Dalam kontrak bagi hasil sumber minyak, emas, hutan dll, apakah Pemerintah membuka struktur biaya eksplorasi, berapa nilai jual dan bagaimana skema bagi hasil antara Indonesia (Pemerintah) dengan Pengusaha Asing ~ misal perusahaan PT. Freeport Indonesia yang mengolah tembaga dan emas di Timika, Papua. Hasilnya ?. Dengan runtuhnya rezim Orba, kini terbuka bagaimana kita~Bangsa dan Negara~ diperbodoh, dikhianati dan diperlemah oleh Pemerintah, DPR. Listrik swasta yang ditetapkan pada tahun 1990 sangat mahal. Kontrak bagi hasil emas dan minyak hingga kini belum jelas. Para ilmuwan kita terlihat lemah dan bodoh menghadapi pelemahan-pembodohan sistemik ini. Para anggota Dewan diam dan bahkan mengkhianati Amanat Bangsa & Negaranya untuk keuntungan diri (suap), Nepotisme Rezim dan Pengusaha asing.

Nepotisme dan korupsi juga melanda sektor keuangan (likuiditas) nasional, yakni pembobolan BLBI hingga Rp. 500 triliun. Hampir 90% perusahaan Bank yang mengalami pembekuan operasi (Bank Beku Operasi), adalah Bank yang melakukan Kolusi dan Korupsi dengan jaringan Pejabat BI-Pemerintah, anggota Dewan dan Sanak Famili Rezim yang berkuasa. Sehingga Indonesia dimata dunia: terlihat sangat tolol. Seorang Hendra Rahardja dan Edy Tansil bisa kabur dari Indonesia ke Australia. Uang negara ratusan trilliun ditilep, konyolnya Hendra Rahardja dilindungi Australia (poros AS) melindungi koruptor dan memperolok Indonesia.

Uraian tentang pengedukan sumber-sumber alam dan kekayaan negara diatas, memberikan relevansi tesis tentang Pengusaan Indonesia oleh Kelompok Kepentingan multi nasional dengan tetap memakai legitimasi kekuasaan yang sah oleh Pemerintah dan DPR. Proses penguasaan pada jaman Orde Baru mengalami Evolusi dan Penyesuaian ~ dengan variasi pemberian alokasi bagi kesejahteraan rakyat dan hadiah sosial perusahaan kepada karyawan dengan dikemas oleh media massa ~ sebagai koreksi atas praktek penjajahan pada masa kolonialisme. Namun, mengingat eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam pada jaman modern mempergunakan teknbologi canggih dengan skala besar, maka tingkat pengedukan dan kerusakan / kerugian yang kita alami, akan berlipat ganda dibandingkan kerusakan / kerugian pada jaman kolonial.

Bagaiamanakah rakyat dan bangsa bisa mengkontrol ? DPR hanyalah Simbol dan alat Legitimasi untuk pengesahan penguasaan-penyedotan dan korupsi yang berlaku. Anggota-2 DPR adalah orang-orang yang telah disaring dapat bersikap untuk duduk manis (berkhianat) pada rakyat-negara. Saluran kontrol sosial diberangus oleh UU dan kekuatan Pemerintah. Demokrasi kepartaian pun hanyalah demokrasi semu, karena parpol dan orang-orang yang diakui dan direstui oleh rezim – melalui Depdagri – sebagai Institusi Legislasi politik. Aneh kan.


I.E. Utang Luar Negeri: Jebakan Masa Depan

Sejalan dengan penarikan modal dari luar negeri oleh Pemerintah, kalangan swasta juga tergiur atas tawaran pinjaman dari luar (offshore loan), namun menghadapi kendala Peraturan dan Prosedur Pemerintah (Regulasi dan Birokratisasi). Negara dan Kelompok pengusaha asing (khususnya AS) nampaknya paham benar atas kebobrokan Indonesia. Mereka mengirim tim konsultan untuk memberikan resep rumusan yang dapat menjadi Jebakan Masa Depan. Kekuatan Birokrasi dengan unit BUMN yang berjalan tertib menjadi bidikan penghancuran. Apalagi dengan dinamika pembangunan nasional pada masa Orba, telah membuka pengusaha Nasional (Pri dan Non Pri) untuk rame-rame mengeduk kekayaan alam dan berusaha dengan skala besar. Dengan pintu masuk USAID, diberikanlah rumusan dan masukan Kebijakan kepada Pemerintah : Untuk mengahadapi persaingan global, Indonesia harus menempuh 3 (tiga) kebijakan mendasar: De-Birokratisasi, Privatisasi dan De-Regulasi di segala aspek. Hal ini didasarkan pada kondisi kematangan (prudential) yang ada dikalangan Pemerintah dan BUMN tentang pengelolaan Negara, Asset-asset nasional dan kepentingan nasional. Sebgaian kalangan pegawai negeri di Pemerintah dan BUMN harus diakui masih memiliki Idealisme dan Kematangan dalam rencana, khususnya Faktor Resiko dalam Penarikan Hutang Nasional (Swasta) jangka Pendek-Menengah yang dapat berakibat Fatal bagi Indonesia. Namun demikian, mereka tidak berarti dihadapan super-powernya Rezim Soeharto ~ dalam berkehendak dan berkeinginan, meskpiun resep dan skenario yang diberikan menyesatkan.

Sejak tahun 1988-1989, Indonesia memudahkan prosedur perizinan (kombinasi de-birokratisasi dan deregulasi), khususnya dalam Penarikan Hutang Swasta Nasional dari sumber-sumber keuangan Internasional (US$ berupa Offshore Loan) dalam pembiayaan proyek-proyek. Ramai-ramailah penarikan offshore loan dengan nilai melebihi US$ 200 miilar (lebih 2 ribu triliun) hanya dalam jangka waktu 10 tahun dan tingkat bunga 3 kali lipat (7 - 8%) dari tingkat bunga yang biasa dipinjam Pemerintah (2% - 3%) – tanpa Perencanaan yang matang, baik pasar maupun manajemen portfolio dan resiko keuangan pada saat jatuh tempo tahun 1998. Hampir 50% lebih jumlah pinjaman dialokasikan di sektor propertu: perumahan mewah, resort, hotel berbintang dan konsumsi mewah para pemegang saham dan manajemen. Akibatnya, 10 tahun kemudian pada saat jatuh tempo, permintaan dollar AS naik sangat besar – yang mengakibatkan Rupiah jatuh tajam hingga Rp.15.000 per dollar AS. Indonesia mengalami default yang sangat besar – dan akibat ekonomi biaya tinggi akibat korupsi yang merajalela, ekonomi dan Rezim runtuh. Kini sejalan dengan proses privatisasi, banyak sekali asset nasional dijual murah dan jatuh ketangan asing. Bahkan sebagian saham BUMN yang strategis pun harus dilego untuk mengejar pemasukan negara untuk membayar kembali utang kepada asing.

Salah satu pengusaha AS, George Soros (warga Yahudi) ternyata merupakan pengusaha keuangan besar AS yang telah menyuntikkan dana dalam offshore loan bagi Indonesia. Kini, hampir sebagian BUMN nasional harus dijual (dengan dalih privatisasi). Pengusaan sistemik atas Asset dan Kepentingan Naional kini sudah cukup besar oleh pengusaha asing. Berbagai perusahaan perkebunan sawit nasional pun juga telah ke tangan asing. Bahkan deposit sumber tambang yang masih dalam tanah air pun sudah dikuasai asing dengan penjualan saham Perusahaan Negara Tambang. Rencananya, Pertamina juga akan mengalami privatisasi.

Uraian ringkas tentang jebakan hutang luar negeri ditengah KKN dan Resep Debirokratisasi, Deregulasi dan Privatisasi yang menyesatkan diatas, sekali lagi merupakan Skenario dan Usaha Pembodohan & Pelemahan Sistematis atas Bangsa dan Negara Indonesia, oleh Kepentingan Asing- yang hampir sebgaian besar oleh kelompok pengusaha dari AS atau jaringannya. Pengusaan tersebut, tetap berkoalisi dengan kelompok kepentingan dari dalam negeri ~ yakni Pejabat dalam wadah Pemerintah yang Sah dan kini ditambah dengan Kelompok Swasta Nasional yang Rakus dan serakah-rakus dalam pengelolaan dan pengedukan kekayaan nasional.


I.F. Indonesia Ditengah Jebakan Kapitalisme dan Globalisasi

Ideologi dan Falsafah negara yang sarat dengan kaidah demi & untuk kepentingan sosial bagi rakyat banyak (sosial kemasyarakatan), hanyalah simbolisasi yang mengalami pengingkaran. Keyakinan yang membabi buta Rezim dan para Teknokrat atas konsep Pertumbuhan, telah menjadi dogma bahkan Ideologi Negara yang sangat menyesatkan. Perjalanan peradaban bangsa & rakyat dalam masa 1967-1998, sudah menjerumuskan Indonesia kedalam jebakan kekuatan Kapitalisme dan Globalisasi kekuatan Internasional (poros AS dan Jepang). Hancurnya ekonomi Indonesia akibat budaya KKN Sistemik, telah memaksa sebagian besar asset Nasional (Swasta dan Negara) harus dilego/ dijual menjadi Equity (hak kekayaan) asing, baik pemberi bantuan hutang atau Pembeli asset / saham dari berbagai perusahaan swasta dan BUMN. Kini, dalam situasi-kondisi Indonesia yang sangat lemah, terjadi pertarungan melawan kekuatan asing yang raksasa melalui mekanisme sbb:

a) Indonesia telah meratifikasi perjanjian World Trade Organization (WTO), Asia Free Trade Area (AFTA) sehingga Indonesia sudah masuk pasar persaingan kelas bebas dalam perekonomiannya. Kondisi Indonesia yang kini sedang lemah-lemahnya harus bertarung dengan kekuatan global. Fungsi negara yang memiliki authority (hak) dalam melindungi (intervensi) terhadap rakyat (anak-anaknya) yang lemah melalui subsidi, kini dianggap pelanggaran perjanjian tersebut. Sialnya, para teknokrat, pakar dan pemikir yang meyakini persaingan bebas, ikut serta mendukung kekuatan global tersebut. Dan paradoksnya, manakala salah satu Pemerintah Perancis (sebagai negara Maju) memberi perlindungan pada para petani melalui non-tarrif, kekuatan global berdiam diri dan bahkan berbagai negara maju , AS sekalipun mereka juga diam.

b) Tingkat kemajuan peradaban dan ekonomi Indonesia yang sedang jatuh miskin, Pemerintah pasca Soeharto, khususnya Megawaty justru melakukan pengingkaran atas peran Pemerintah kepada rakyat, pengusaha lemah, korban PHK, yakni dengan melepaskan peran Stabilisasi Kebutuhan Pokok (Pangan, gula gandum dll) serta penjualan asset BUMN yang menjadi kebutuhan vital rakyat (energi, tambang, listrik dlsb). Rezim Pemerintah Megawaty giat-giatnya menjual asset dengan alasan untuk mengejar Pemasukan Negara, tetapi tidak melakukan usaha cerdas melalui Program Efisiensi atau Optimalisasi Usaha, atau Negosiasi yang maksimal yang memungkinkan untuk Indonesia. Penjualan asset pada awal tahun 2000 sarat dengan KKN, Mark-Down (harga rendah yang dimenangkan) dan melakukan Kolusi baru dengan mitra asing (Neo KKN) untuk memupuk kekuatan uang dalam rangka untuk Penguatan Pemilu (melalui Money Politik) demi untuk Mempertahankan Kekuasaan berikutnya.

c) Para negarawan pada rezim Pemerintahan Megawaty sudah sulit dibedakan mana yang memiliki loyalitas pada Negara & Bangsa Indonesia (Nasionalis) atau mana yang berpihak pada kekuatan asing global poros AS (pengkhianat). Namun demikian, kita dapat membedakan dari strategi, kebijakan dan langkah yang diambil oleh para Negarawan, apakah menguntungkan Indonesia atau kombinasi menguntungkan kekuatan global asing & merugikan Indonesia. Hal demikian dapat dilihat / dikaji baik pada aspek ekonomi, politik dan sosial. Dalam aspek sosial politik, sikap pengkhianatan pada Indonesia dapat kita lihat dari arah langkah Kebijakan pada koridor sbb:

• Langkah Issue, Strategi & Kebijakan yang menekan sebagian rakyat dengan issue global, yakni terrorisme, dan mempergunakan issue tersebut untuk mengkaitkan dengan tokoh masyarakat-bangsa ummat Islam,

• Langkah Issue, strategi & Kebijakan yang membesar-besarkan aspek Pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM), kemudian mempergunakan & mensinergikan issue tersebut untuk menekan dan menvonis sebagian calon negarawan yang dianggap calon / rival berat, atau

• Mengkaitkan issue HAM untuk menjatuhkan dan memperlemah Citra TNI atau memperlemah tokoh bangsa dari kalangan TNI yang memiliki Figur Nasional yang merakyat dan komitmen besar dalam memperjuangkan IndonesiaI.

• Mengkaitkan issue Terrorisme dan / atau HAM untuk menekan Pimpinan Nasional / Kepala Negara dan memperlemah Citra Indonesia, selanjutnya mengkaitkan dengan kepentingan Kerjasama Militer (penjualan spare part persenjataan / kendaraan militer), kerjasama Perdagangan (Ekspor).


Indonesia, baik pada masa Orde Lama, maupun pasca orde lama telah terjebak Penguasaan Sistematis oleh kekuatan Kapitalisme dan kekuatan Global dari aspek Sosial-Politik. Bahkan bagian dari bangsa, sudah mengikatkan diri dalam kekuatan Global hanya untuk demi kekuasaan Pemerintah berikutnya, melalui usaha-usaha pengkhianatan pada Negara, Bangsa atau bahkan pengkhianatan pada NKRI.



I.G. Penguatan Sistem Birokrasi KKN : Korupsi Sistemik

Perjalanan bangsa & negara dibawah rezim Soeharto selama 32 tahun, telah terbangun Pemerintahan Indonesia sebagai Sistem Birokrasi Negara yang sangat kuat, dengan seperangkat sub-sistem mulai Perencanaan, Perbendaharaan Negara (Keuangan), Departemen Teknis dan Kementrian, Pengawasan, serta Badan-badan Tinggi Negara (BPK, LIPI, LAN, LKBN Antara, BAKN, BPPT dlsb). Sistem kepegawaian negeri yang terbangun, juga sangat kokoh tidak mengalami perubahan yang berarti. Bahkan System Operation Procedure perencanaan program pembangunan melalui Usulan Proyek hingga Penganggaran dan Pelaksanaannya juga hampir tidak mengalami perubahan. Orang-orang, pejabat mulai Eselon 1 hingga staff baru mengalami pergeseran tidak lebih 10% (akibat pensiun). Struktur Badan Usaha Negara (BUMN), juga sedikit mengalami perubahan. Sistem penggajian dan Komitmen Penggajian (Gaji dan Pensiun) tidak berubah. Apakah kekuatan sistemik Birokrasi Pemerintah beserta BUMN mengalami perubahan dalam Adat-Istiadat ~ khususnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ?. Dalam prakteknya, setelah Soeharto diganti Habibie, Gus Dur dan kini Megawaty: justru semakin merajalela. KKN dalam penyusunan Anggaran hingga pemenangan & pelaksanaan proyek semakin luas Pejabat yang terlibat Neo KKN, dari Pusat hingga Daerah. Bahkan untuk daerah, dengan sistem DPRD-2 ikut berwenang menentukan Pemenang Tender, pemain Neo KKN ikut melibatkan anggota Dewan.

Pegawai negeri sebagai personalia Birokrasi Pemerintah, kini dalam realitasnya mengalami polarisasi sikap pragmatis pada kekuatan parpol yang berkuasa atau parpol yang melakukan “konsolidasi kekuasaan”. Pejabat dan Pegawai Negeri, kini lebih bersikap sebagai aparat yang membagi sikap untuk negara dan parpol. Mereka sebagian besar berperan sebagai pegawai negeri, namun sedikit yang negarawan tulen untuk kepentingan segala rakyat dari berbagai golongan. Kader-kader parpol, Caleg kini harus melakukan neo KKN dengan Pejabat dan pegawai negeri dalam sistem kebusukan yang hampir tidak berubah. Artinya, kini kehidupan aktifitas dan perpolitikan para Parpol, sama-sama melakukan kebusukan sistematis secara bersama-sama. Parpol dan Birokrasi melakukan Simbiose Mutualisme untuk kepentingan bersama. Kalau tidak ?. Perganitian jabatan, pergeseran dan mutasi atau bahkan melakukan penekanan (Black Mail) atas kinerja dan proyek-proyek akan menjadi senjata penjatuhan pejabat / pegawai negeri, sebab: Pimpinan Pemerintah (Pusat) dan Pimpinan Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) merupakan pemegang kekuasaan hasil dari koalisi-kombinasi kekuatan konstituen / koalisi Parpol pemilih Pimpinan Pusat (Presiden) dan Pemimpin Wilayah / daerah, yang berhak melakukan Re-organisasi, mutasi, pergantian dlsb atas dasar kewenangan, kekuasaan prerogratif yang dimilikinya-namun harus dipertanggung jawabkan.

Kalau kini terjadi tuntutan: Jangan pilih Politisi Busuk, apakah kebusukan hanya terdapat dalam politisi (kader dan caleg) dari Parpol ?. Jelas tidak. Kebusukan secara sistemik dan masih hidup dalam wadah Birokrasi Pemerintah. Tuntutan yang adil adalah kita harus melakukan Amputasi Kebusukan Sistemik atas Birokrasi Pemerintah yang ada, sejalan dengan penghentian Politisi Busuk. Langkah tersebut harus konsisten untuk menggalang Indonesia kedepan yang bersih. Artinya, kehidupan peradaban politik dan Pemerintah serta Legislatif sama-sama mengalami kebusukan sistemik mulai tingkat Kalurahan, Kecamatan, Kabupaten hingga Pusat Jakarta, sejak proses pembentukan parpol, pemilihan Calon Legislatif, pemilihan Pemimpin, Menteri, pejabat Eselon I, Direksi BUMN atau Lembaga Tinggi Negara hingga pelaksanaan program pembangunan yang dijalankan.

Konspirasi yang terbangun di pusat, melibatkan elit jajaran Dewan Pimpinan Partai (DPP) dengan berbagai elit Pemerintah, pengusaha lama & baru, dengan deal-bargaining tertentu yang sangat tersembunyi – yang dapat dilihat pada kemunculan orang-orang / wajah-wajah baru yang tiba-tiba muncul sebagai kandidat jadi untuk anggota Legislatif atau menduduki jabatan tertentu di Pemerintahan atau BUMN atau untuk mensukseskan sasaran tertentu masalah atau kepentingan usaha. Biasanya ada manfaat ganda yang saling menguntungkan, yakni uang (fulus) atau fasilitas untuk jangka pendek dan pemerolehan proyek atau konsesi usaha yang menjadi kewenangan pejabat tersebut, untuk penguatan parpol atau posisi elit parpol di DPP.

Tidaklah heran, baik DPP atau DPD dan elit-elit DPP / DPD tiba-tiba memiliki prasarana dan sarana yang melimpah berupa gedung, tanah, kendaraan, dan likuiditas keuangan yang mekanisme arus lalu lintas kepemilikannya sulit ditelusuri. Apalagi lalu lintas keuangan lebih sulit lagi dilacak. Keadaan tersebut menampakkan bahwa para parpol di Indonesia tidak memiliki kemauan membangun sistem demokrasi yang sehat. Keadaan tersebut kini diperparah munculnya otoriterianisme baru di kalangan parpol: bahwa Ketua Umum Parpol memegang hak kekuasaan tertinggi yang dapat menganulir kesepakatan sebagian besar Cabang, DPW atau DPD.

Bagaimana proses / langkah melakukan operasi Kebersihan Demokrasi yang dimulai dari parpol ?. Apakah bisa dijalankan secara bertahap (marjinal) atauakah secara drastis (revolusioner) ?. Atau, apakah pembersihan secara bertahap dapat berjalan, sementara kebusukan merupakan kerjasama-konspirasi yang sistemik. Ataukah langkah pembersihan dapat dilakukan secara revolusioner – dan bagaimana mekanisme dan cara memulainya ?.




















PELEMAHAN & PEMBODOHAN SISTEMATIS
DENGAN MIRAS, HIBURAN & NARKOBA

Peninggalan penjajah pada rakyat : minum-mabuk (drunken) masih dapat disaksikan dalam masyarakat Timor-Timur (oleh Portugis) dan Irian Jaya (oleh Belanda). Minum & main – mabuk diterapkan untuk membuat masyarakat lemah, bodoh dan ketergantungan, sehingga mudah dikendalikan dan dijajah. Jiwa dan kesadaran manusia menjadi rapuh, baik fisik, jiwa dan rasionalitas. Kendali kesadaran diri lemah, apalagi pada lingkungan ~ apa yang dilakukan Penjajah, merampas, memaksa, memfitnah dan menindas rakyat hilang. Kalangan Raja-raja di Jawa dan kerabatnya juga jadi sasaran budaya minum & judi. Namun, masih ada anggota atau bahkan anak kandung Raja / Sultan yang lolos budaya minum, munculah Pangeran-2 (Diponegoro, Jend.Sudirman dll.

Penjajahan mengalami perubahan bentuk dari penjajahan fisik (hingga awal abad 20) evolusi bermutasi ke Neo Imperialisme melibatkan negara-2 Kapitalis poros AS secara Global. Kini, pengaruh & penjajahan melalui penguasaan Hiburan, Modal, Pasar, Teknologi, Faham dan Penguasaan Ketergantungan Narkotika dan Obat-obatan.. Hancurnya Rusia dan berakhirnya era perang dingin yang dimenangkan oleh poros AS, dilakukan dengan intervensi penguasaan Hiburan kedalam manusia & rakyat Rusia dan Blok Timur. Menyadari penaklukan fisik menghadapi pertempuran hebat dan akan memakan korban yang dahsyat (apalagi dengan Nuklir), AS mengirim Video Hiburan Elvis Presley dll serta Video Porno melalui balon udara ke Rusia, Jerman Timur dan Blok Timur. Intervensi kedalam individu hiburan mampu mencuci otak & sikap fanatisme rakyat Rusia pada faham Sosialisme-Komunisme. Kemudian intervensi saluran penyiaran (TV & Radio) yang sebebasnya menghancurkan secara dahsyat militanisme sosialisme rakyat Rusia. Hapusnya “master mind sosialisme” dari otak memudahkan Intervensi lebih lanjut melalui : Freedom, dan dilanjutkan ke Keterbukaan dan Pembaruan (Glasnost dan Perestroika)dan kini Demokrasi. Dampak dan akibat selanjutnya sangat hebat:
 8 (delapan) wilayah propinsi Rusia memerdekakan diri Negara (Georgia, Uzbekistas, Kazastan, Terkezstan, Ukraina, Chechnya, Afganistan),
 Negara-2 blok Timur melakukan revolusi sosial-politik dari Sosialisme (Rumania, Polandia) ke Demokrasi, sehingga memperlemah Blok Aliansi Pertahanan Pakta Warsawa,
 Dengan transisi dan kerapuhan Ekonomi dalam negeri, masuk kekuatan kapitalis AS dan blok Barat kedalam berbagai Industri Strategis & Peralatan Militer Rusia, Ukraina dll.
 Kini, mengalir deras pasokan Narkotika dan obat-obat kertergantungan kedalam masyarakat Rusia dan dekandensi moral (Pelacuran),

Sosialis yang menjadi target pertama penghancuran Kapitalis (Imperalis) telah tercapai, meskipun belum hancur total. Kini, sasaran berikut adalah negara-negara dengan paham Islam. Indonesia, menjadi sasaran hebat dan menempati prioritas karena program modernisasi Barat sangat minim membawa hasil. Ada 3 aspek-agenda utama yakni:
 Penekanan paham Demokrasi & Kebebasan, baik dalam sosial, politik dan ekonomi,
 Penghancuran keyaninan agama (faith), moral-akhlaq rakyat dengan Kebebasan Pers-Media dengan Hiburan (musik, Film Porno, Issue, Fitnah dan Pemikiran),
 Mengalir pasokan Narkoba dalam masyarakat yang dikendalikan oleh jaringan sistematis asing dan berkolaborasi dengan elemen dalam negeri (pengkhianat),

Pelemahan mental-moral dengan film-music yang kian Vulgar (nge-Sex) kian hebat dan sudah ditayangkan tanpa batasan waktu, pagi-siang-sore hingga malam. Anak-anak bisa menyaksikan. Sedang Narkoba kian banyak pemakai dan mengalami perlawanan, baik dari masyarakat yang masih teguh dan oleh pasang-surut sikap Pemerintah.

Narkoba berupa Putaw, Ecstasy dan sejenisnya, memiliki dampak perusakan pada syaraf jauh lebih hebat dibanding Ganja (Nyimeng). Produsen narkoba – khususnya Psikotrapika merupakan poros AS - Belanda yang memiliki jaringan terselubung di berbagai elemen dalam luar negeri sasaran, dan dijadikan alat untuk meperlemah rakyat. Sialnya, terjadi pembajakan produk massal oleh mafia-jaringan gelap di Amerika Latin dan negara-2 Laos, Vietnam, Hongkong, Kambodja dll, sehingga peredarannya berlipat ganda dan ke segala arah. Selain ketergantungan (addict), pemakai memiliki resiko besar tertular penyakit HIV dan AIDS. Narkoba, memperlemah bangsa dalam 2 segi:

1. Ketergantungan dan terus mengkonsumsi yang berarti mengeluarkan uang untuk membeli. Apabila tertangkap Polisi, agar menahan BAP tidak dilimpahkan ke Pengadilan, diperlukan dana besar untuk mengeluarkan dari penahanan sementara.. Renungkan: Fisik-Mental diperlemah, UANG disedot jaringan Asing dan Mafia,
2. Memperlemah fisik, mental, otak dan resiko penularan HIV dan AIDS dan pada akhirnya penghancuran moral-akhlaq masyarakat dan bangsa.

Tiada kata terlambat. Perlawanan sistematis harus kita galang dengan :

1. Dukung & awasi Pemerintah untuk penegakan Hukum dengan SANKSI yang sangat berat. Di Malaysia, sesorang membawa lebih 50 gram dikenakan hukuman mati,
2. Tangkal dan penerapan sanksi dalam lingkungan warga dan masyarakat, mari campaign Narkoba sebagai pengkhianat bangsa. Narkoba membuat miskin,
3. Pertebal keyakinan beragama, galang CINTA lingkungan hidup dan sosial untuk kecintaan negeri dan kejayaan bangsa.

Tuhan sangat membenci dan murka pada Pengkhianat dan Pengecut.

Pengantar



Kata Pengantar

MARI SELAMATKAN INDONESIA DARI KEHANCURAN


Untuk memahami sebuah dinamika porses peradaban Bangsa dan Negara Indonesia, apalagi dalam perjalanan dari waktu ke waktu dan antar generasi sejak Penjajahan Belanda hingga kini, memerlukan usaha yang serius. Apalagi permasalahan yang kita pelajari dan kita bahas, mencakup persoalan & aspek yang cukup luas dan dinamis, yaitu Paradoks Demokrasi-Politik Indonesia. Kajian tersebut menyangkut sebuah proses interaksi dan gejolak ditengah peradaban bangsa kita untuk bertahan dan menggapai kemajuan. Hal yang lebih sulit lagi, menyangkut realitas yang terjadi berlawanan (paradoksial) dengan nilai-nilai ideal dan nilai-nilai luhur dari cita-cita atau tujuan. Tantangan pertama yang muncul adalah, bagaimana kita memahami proses Antitesa dan pembentukan Hipotesa perjalanan dari kurun waktu Pemerintahan (Rezim) ke peradaban Pemerintahan (Rezim) berikutnya. Hipotesa baru seolah memberikan solusi dan jawaban untuk bangsa, namun pada akhirnya menjadi bom waktu masalah pada masa-masa akhir suatu Rezim. Sehingga, penulis~Mursyid Kambuaya Syamsudin mengambarkan tiadanya kepastian masa depan pada bangsa-negara kita Indonesia- yang diamati dan disampaikan oleh intelektual independen.


Saudara Mursyid Kambuaya berangkat dengan penulisan berdasarkan fakta-empiris perjalanan bangsa-negara, kemudian menarik kesimpulan dan merumuskan tesis tentang kondisi-nasib yang melanda rakyat mayoritas Indonesia oleh sistem kekuasaan. Selanjutnya, penulis berjalan dari waktu ke waktu menguraikan empiris Kebijakan-Sikap Pemerintahan dan para Elit yang memegang kekuasaan, dan menarik hipotesa dalam kegagalan mencapai kemajuan. Penulis telah memiliki prinsip-dasar dalam menguraikan yang mudah dicerna dan sikap yang tegas pada tata nilai kebenaran-keburukan sebagai dasar untuk penegakan keadilan. Tata nilai tersebut untuk dalam membangun kemajuan bangsa dan negara yang menghadapi gempuran kepentingan global dan internasional. Dengan demikian, tulisan & kajian dianalisa dengan dasar pemikiran & sistem nilai.


Kajian penulis dalam perjalanan panjang peradaban (sejak Penjajahan hingga kini) dalam demokrasi-politik-ekonomi yang paradoksial, diuraikan secara jelas dalam garis besar pada masalah pokok peradaban. Yaitu sistem pemerintahan – kekuasaan dalam perannya memegang amanat rakyat dan kewajibannya membangun kemajuan rakyat serta ancaman-jebakan penguasaan kekayaan & negara oleh asing akibat kekuatan modal dan jebakan hutang. Dengan demikian, telaah kritis atas kebaikan/keunggulan secara seimbang disampaikan dengan telaah kritis atas kelemahan / kesalahan mendasar yang harus dikoreksi, yang disertai pandangan solusi kedepan. Berbagai kesalahan, pengingkaran, tindak korupsi dan yang mendasar: kesalahan pemikiran-strategi pembangunan dikritisi dengan dasar perbandingan Malaysia sebagai rujukan penulis. Bahkan sdr. Mursyid K yang belajar di fakultas ekonomi UI menyampaikan gugatan atas kesalahan pemikiran yang diletakkan para seniornya dan menjadi dasar strategi pembangunan ekonomi Indonesia selama 37 tahun: kelemahan mendasar dalam pengabaian faktor manusia dan rakyat dalam penetapan dasar perencanaan dan pelaku-pengusaha pejabat Pemerintah beserta kroni sebagai faktor penyimpangan besar yang tidak diperhitungkan dalam perumusan dan strategi.


Menyikapi nasib bangsa yang miskin mencapai 160 juta jiwa, yang meliputi petani & nelayan (120 jiwa), penganggur terbuka 42 juta jiwa, dan rakyat miskin di perkotaan melebihi 20 juta, buku ini pada akhirnya, menyampaikan hipotesa solusi berupa Penyelamatan Peradaban Bangsa-Negara Indonesia kedepan dengan rumusan yang jelas, ringkas dan mudah dipahami.


Solusi yang dipikirkan penulis adalah penetapan tata-nilai atas dasar kebaikan-keburukan yang harus diterapkan dalam pengelolaan negara, pemerintah untuk kepentingan & kemajuan rakyat yang diikuti oleh perubahan Paradigma pembangunan yang berkeadilan. Tata nilai tersebut menjadi dasar penerapan, baik dalam Pelaksanaan Demokrasi dan Penetapan & Pemilihan Pemimpin serta kualifikasi yang memiliki kualifikasi memimpin dan membawa kemajuan bangsa. Kemudian berdasarkan pengalaman sejarah, bahwa rakyat senantiasa lepas dari amanat dan kekuasaan yang diberikan pada Elit, penulis memberikan semangat pada rakyat-khususnya generasi muda melakukan peran-partisipasi dalam membela hak-haknya dan dalam kiprah pembangunan secara nyata.


Gejolak politik, dinamika demokrasi dan penyimpangan kekuasaan yang hingga kini makin mengarah pada kehancuran bangsa-negara Indonesia, sudah saatnya kita sikapi secara nyata: partisipasi kita sebagai bagian bangsa dalam mengawal dan menjaga serta menyelamatkan Indonesia. Demokrasi yang hakikinya adalah kedaulatan ditangan Rakyat haruslah dipegang sebagai amanat baik dalam organisasi masyarakat itu (parpol) dengan konsistensi dan peran contoh yang sesuai dengan kaidah luhur demokrasi itu sendiri. Kemudian, amanat rakyat pada Elit dan Pemimpin sebagai kepercayaan untuk memimpin-mengontorl-mengawasi untuk kepentingan kemajuan dan kesejahteraan rakyat harus benar-benar dilaksanakan, bukan malah diingkari dan dikhianati yang akan menyengsarakan rakyat dan mengancam kehancuran bangsa-negara kita. Fakta yang disampaikan penulis menjadi bahasan yang jelas seusai dengan apa yang dilihat-dipahami dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia, dan menjadi jelas bagaimana duduk masalahnya – khususnya bagaimana rakyat – negara kita kedepan.


Kini, dengan cakrawala buku tersebut, kita sebagai bagian rakyat, khususnya generasi muda seyogyanya memahami untuk bangkit dan mengambil sikap-posisi dan peran nyata, apa yang harus diperbuat dalam perjalanan demokrasi-politik kita dalam berbagai kondisi yang mampu menyelematkan peradaban dari kehancuran dan kita jelang kejayaan masa depan Ibu pertiwi kita Indonesia.


Jakarta, 4 Agustus 2009


Peter Sumaryoto & Gatot Permadi Joewono



Pengantar:

PARADOKS DEMOKRASI INDONESIA

PENCARIAN FATAMORGANA MENUJU KETIDAK PASTIAN


Gejolak politik dan paradoks demokrasi Indonesia, sulit memberikan masa depan Indonesia secara pasti dalam jangka panjang. Peradaban kita, memerlukan Pemimpin yang memiliki Leadership yang kuat dan yang mampu membina sistem demokrasi yang optimal dan sesuai bagi jalannya proses kemajuan perdaban itu sendiri dalam jangka panjang. Hal itu didasarkan paradoks demokrasi-politik dan atas kondisi sosial-fisik bangsa yang heterogen tanah air ~ untuk mengkoordinasikan secara konsisten – adil dan amanah bagi rakyat.


Ringkasan tesis diatas didasarkan pada pengalaman sejak masa penjajahan Belanda-Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan pada masa Orde Reformasi hingga kini ~ yang belum juga menemukan jati diri kematangan sebagai bangsa yang bermartabat. Pengalaman sejarah haruslah kita ambil sebagai soko guru dalam menempatkan faktor-faktor dasar kondisi bangsa, perumusan sistem / pola demokrasi dan penetapan strategi-program & sasaran dalam setiap fase perencanaan peradaban bangsa. Selanjutnya, kita harus mampu melakukan identifikasi kelemahan-tantangan dan penghambat dari dalam bangsa kita, sebab: Indonesia sebagai negara yang besar & kaya menjadi rebutan kepentingan (penguasaan) bagi negara-negara maju yang akan terus berusaha memperbodoh, memperlemah dan menguasai kita.


Kajian masa lalu, pada dasarnya untuk menemukan berbagai kesalahan strategi & langkah, faktor-faktor kelemahan kita, kenapa kita bisa dikuasai, dan pada akhirnya apa yang menyebabkan kegagalan perjalanan pada suatu masa dibawah suatu Rezim. Pengungkapan secara terbuka haruslah kita lakukan sebagai pembelajaran untuk kesadaran yang luas bagi rakyat - untuk tidak diulangi atas kesalahan yang telah menimbulkan kerugian / dampak buruk yang sangat besar, dan selanjutnya melakukan koreksi dan perbaikan.


Kajian ringkas - umum kisah perjalanan bangsa Indonesia hingga kini, pada hakekatnya untuk memahami tentang demokrasi dan sistem politik beserta kelemahan mendasar. Selanjutnya diharapkan bangkitnya kesadaran kolektif bangsa ~ khususnya generasi muda bersama rakyat ~ dalam menggalang & membangun sistem kontrol politik dan sosial yang berdaya guna, baik pada perjalanan demokrasi, politik maupun pembangunan. Proses kontrol yang didasarkan pada tata-nilai kebaikan dan keburukan (kejahatan). Apakah perbaikan sistem demokrasi hanya mengandalkan proses alamiah jalananya demokrasi berdasar kedaulatan rakyat melalui partai yang sebebasnya ataukah diperlukan koreksi yang dikoordinir oleh Pemimpin dengan kepemimpinan yang kuat ?.


Demokrasi adalah kebebasan berserikat, berkumpul, berjuang untuk hak-haknya, mengeluarkan pendapat dan berkreasi dalam bermasyarakat dan bernegara. Demokrasi dalam bernegara dilakukan melalui kepartaian, pada hakekatnya adalah merengkuh kekuasaan melalui persaingan pengaruh massa dan pemenangan pemerolehan suara lewat Pemilihan Umum. Kemenangan adalah tujuan utama. Dalam kondisi-situasi peradaban bangsa penuh penyimpangan, demokrasi bermutasi yang bentuk kiprahnya sudah berwujud menghalalkan segala cara. Demokrasi yang dilakukan kini lebih banyak ditentukan modal (uang), pengaruh dan kekuatan-premanisme massa. Mampukan demokrasi Pemilu 2004 menghasilkan Wakil dan Sistem Legislatif dan Pemimpin yang berpihak pada rakyat?. Apakah demokrasi semacam itu dapat menghasilkan Pemimpin yang yang mampu memimpin dan membangun peradaban maju bagi rakyat banyak ?.


Tuhan menyenangi orang Pemberani – yang membela & menegakkan kebenaran, memperjuangkan kebaikan dan melawan kejahatan, untuk bangsa, negara dan rakyat. Ungkapan ini harus kita galang bersama dalam rangka pembangkitan dan kebangkitan secara bersama ~ khususnya generasi muda ~ dalam memandang hidup menjalani hidup dan dalam berkiprah untuk kemajuan bangsa. Semangat yang terbangun, harus kita usahakan untuk gerilya & membangun kekuatan sistemik yang sepadan dalam memperjuangkan kemajuan peradaban, perjalanan demokrasi yang sehat- bermoral dan berakhlaq. Perjalanan perjuangan generasi muda dalam politik, khususnya dari kalangan mahasiswa, pakar, profesional selama ini lebih banyak : terjun manakala Negeri sedang Krisis, melalui Demonstrasi. Sehingga Platform pergerakan yang terbangun hanyalah Tuntutan atas Susunan kata-kata umum pada DPR-MPR. Setelah pergerakan, demo dan tuntutan dapat mencapai hasil, mereka kembali ke Kampus dan tidak mengawal perjalanan Kepemerintahan, sistem politik dan program pembangunan. Mereka terlepas (missing link) dari proses politik-demokrasi dan Pemerintahan yang bergelimang pengingkaran. Mereka tidak memikirkan bagaimana sistem-koridor melakukan Kontrol Sistemik, melalui kekuatan Ekstra Parlementer, Ekstra Pemerintah, Ekstra Peradilan, yang memiliki keterlibatan dan kekuatan dalam proses kontrol Sosial-Ekonomi dan Politik bangsa.


Bahkan, menyadari kondisi sebagian besar rakyat – termasuk generasi muda selalu tertindas, dikhianati, dipinggirkan, oleh kekuatan elit penguasa dan kroni-kroni pengusaha, kini saatnya generasi muda harus bangun dan bangkit, untuk mengadakan perubahan menyeluruh, serentak, menyongsong regenerasi secara sistemik dalam jiwa yang bergelora untuk kepastian perubahan dan kepastian masa depan. Sebab, Reformasi hanyalah perubahan pragmatisme bagaikan pencarian fatamorgana. Bahkan, kini reformasi menjadi komplikasi sistemik kebusukan yang lebih parah yang dapat membawa kehancuran masa depan.

Jakarta, 4 Agustus 2009

Penulis

Sunan Mursyid



Daftar Isi:

PARADOKS DEMOKRASI INDONESIA

PENCARIAN FATAMORGANA MENUJU KETIDAK PASTIAN

Daftar Isi

Pengantar

BAGIAN KESATU: PARADOKS DEMOKRASI-POLITIK INDONESIA


Bab I. Indonesia Sebagai Ajang Perebutan Penguasaan

I.A. Kilas Balik Penguasaan Fisik Indonesia oleh Penjajah

I.B. Penguasaan oleh Kekuatan Uang & Kekuatan Global

I.C. Pengedukan sumber-sumber Asset Negara dan BLBI

I.D. Utang Luar Negeri: Jebakan Masa Depan

I.E. Dogma dan Falsafah Bangsa: Peneguhan Kekuasaan Raja.

I.F. Jebakan Kapitalisme dan Globalisasi

I.G. Penguatan Sistem Birokrasi KKN : Korupsi Sistemik


Bab II. Demokrasi 1998-2009: Hukum Rimba Mengejar Fatamorgana

II.A. Demokrasi Kini : Homo-homini Lupus Hukum Rimba

II.B. Ideologi dalam Kelompok / Elemen Bangsa

II.C. Paradoks Demokrasi dan Komplikasi Penyakit Politik Reformasi

II.D. Paradoks Demokrasi dan Keterikatan Modal (Uang)
II.E. Paradoks Demokrasi, Kemiskinan dan Kekuatan Modal +Media TV

II.F. Paradoks Demokrasi dan Pengingkaran 20 juta Suara HAM Rakyat


Bab III. Kebusukan Sistematis & Krisis Moral

III.A Kebusukan : Pengkhianatan atas amanat rakyat

III.B. Sistem Birokrasi Produk Orba: Kebusukan dan KKN Sistemik

III.C. Ketidak pastian masa depan dan Paradoks demokrasi ?

III.D. Krisis Moral dan Keserakahan


BAGIAN KEDUA: PENYELAMATAN PERADABAN


BAB IV. Pembangunan Moral Bangsa

IV.A. Pembangunan Moral Dalam Sistem Pemerintahan

IV.B. Paradigma Ekonomi Yang Berkeadilan

IV.C. Penerapan Sistem Bagi Hasil (Syariah) dalam Permodalan (Aries Muftie)


Bab V. Pembangunan Demokrasi

V.A. Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

V.B. Pencarian Demokrasi Optimal

V.C. Posisi, Peran dan Tekad TNI Bagi Bangsa& Negara (Mayjen TNI-AD Saurip Kadi)

V.D. Menjaga Amanat dan Kontrol Kedaulatan Rakyat


Bab V. Pemimpin dan Amanat Bangsa

VI.A. Kebangkitan Kesadaran dan Tantangan Kedepan

VI.B. Tantangan Kepemimpinan Nasional Pembaharu (Sayuti Asyathri)

VI.C. Kualifikasi Pemimpin Masa Depan Indonesia

VI.E. Partisipasi & Kontrol Atas Kepemimpinan


Lampiran & Box:

1. Pelemahan & Pembodohan Sistematis Dengan Miras, Hiburan & Narkoba

2. KelembutanTradisi Jawa, KASUS: Industri Kerajianan BATIK & KAYU di Jawa.

3. Kiat-Strategi Malaysia Membangun Keadilan, Kita Belajar

4. Demokrasi di Maluku: Dari Gejolak Konflik Menuju Kemandirian

5. Linngkaran Setan Kemiskinan dan Penguasaan

6. Penerapan Sistem Bagi Hasil Dalam Ekonomi Permodalan