Rabu, 12 Agustus 2009

BAGIAN KEDUA BAB V: PEMBANGUNAN DEMOKRASI



Demokrasi berasal dari kata demos-kratos, yang artinya kedaulatan rakyat. Demokrasi muncul sebagai penumbangan sistem kerajaan (Teokrasi) dimana kekuasaan (kedaulatan) ditangan raja dan akan diturunkan seterusnya pada keturunan (anak) atau ahli waris yang sah. Demokrasi muncul dan bangkit sebagai reaksi pengkhianatan para raja dan kalangan dekat kerajaan pada rakyat yang ditindas, dipajakin, membayar upeti, dirampas tanah bahkan hingga anak dan isteri. Raja memegang hak kekuasaan atas tanah, rakyat dan kekayaan seluruh kerajaan. Demokrasi, harus diakui sebagai sistem yang maha penting bagi pencercahan peradaban ummat manusia – yang dimulai di Eropa pada Abad 17, dengan tumbangnya teokrasi di Perancis (Revolusi Perancis), Italia ( , Jerman (tumbangnya Kekaisaran), Iran (Revolusi Iran). Kini teokrasi masih menyisakan di Inggeris, Belanda dan Monaco namun hanya sebatas simbol tradisi yang sudah dilepaskan kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat – yang kini dipegang Perdana Meneteri sebagai pemimpin Pemerintahan & Negara dan Parlemen.

Sejarah proses perjalanan peradaban demokrasi, membutuhkan waktu yang panjang dan melalui peperangan sipil antar rakyat dan perang rakyat dengan pasukan kerajaan, berlangsung hingga 200 tahun lebih dengan korban ratusan ribu jiwa. Sehingga, masyarakat Eropa bisa memahami , menyadari dan menerima arti perbedaan pendapat-aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kemudian demokrasi, sudah mulai menemui kematangan sebagai kedaulatan rakyat yang ditentukan melalui pilihan & kehendak mayoritas rakyat - melalui pemungutan suara, baik untuk memilih Pemimpin maupun memilih anggota Parlemen.

Kini kembali ke Indonesia, sejak kemerdekaan hingga kini demokrasi masih mengalami proses yang belum mencapai kematangan diri- pada hakiki bahwa kekuasaan-kedaulatan di tangan rakyat dan untuk kemajuan-kesejahteraan rakyat.. Apakah demokrasi kita langsungkan secara alamiah yang penuh paradoksial atau akan kita perlu melakukan usaha rasional berdasar kaidah tatanilai kebaikan untuk Demokrasi yang optimal bagi Indonesia ?. Belajar dari pengalaman sejarah masa Orde Lama hingga kini, dan resiko praktek demokrasi yang dapat berjalan secara paradoksial yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri dan bahkan membawa ancaman ketidak pastian-kehancuran rakyat & negara Indonesia kedepan, tiada kesalahan seseorang menyampaikan pemikiran rasional atas penyusunan visi demokrasi yang pada hakekatnya adalah :

a. Untuk mengembalikan kedaulatan kekuasaan negara ditangan rakyat dan dikontrol rakyat,
b. Untuk menciptakan kepastian kemajuan & kesejahteraan mayoritas rakyat masa depan,
c. Untuk menciptakan rasa aman dan kematangan proses kemajuan peradaban bangsa-negara.

Dasar pertimbangan yang perlu kita sadari adalah tercapainya hekekat demokrasi bagi kemajuan bangsa-negara dalam jangka panjang, sehingga penulis menetapkan prinsip optimal sebagai kaidah dalam pemikiran, daripada penempatan prinsip ideal namun pelaksanaannya berlawanan (pengingkaran).

V.A. Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Pemikiran untuk membangun demokrasi yang optimal, yang diharapkan mampu memenuhi 3 hakekat tujuan-sasaran demokrasi diatas, kedaulatan ditangan & dikontrol rakyat – mampu menciptakan kepastian kemajuan-kesejahteraan masa depan dan menciptakan rasa aman untuk kemajuan peradaban bangsa-negara, adalah didasarkan pada faktor-faktor dinamis berikut :

1.Kondisi sosial-ekonomi rakyat Indonesia terkini, miskin & terbelakang,
2.Demokrasi sosial-politik-ekonomi yang berjalan paradoksial dan pengingkaran elit kekuasaan,
3.Negara-bangsa yang terancam dalam jebakan & penguasaan global, modal, aliansi internasional negara-2 maju poros AS dan keunggulan persenjataan,

Kondisi sosial-ekonomi miskin-terbelakang yang melanda mayoritas rakyat Indonesia mudah dimobilisir – dikelabui – ditipu – dimanipulasi oleh berbagai faktor yang dilakukan dan diperanakan oleh elit dengan kekuatan modal serta eksploitasi pengaruh-simbol-2 nya. Tokoh karismatis, tokoh keturunan simbol Soekarno-Soeharto, simbol-2 agama kini dieksploitasi untuk menentukan pilihan dalam kaidah demokrasi-memilih langsung. Munculnya varian baru dengan tonggak kekuatan lama ini sangat mengejutkan dan membuat gentar pada kalangan reformis. Antitesa runtuhnya kekuatan-kekuasaan lama, diperbaharui hipotesa reformasi dan selanjutnya dikembalikan pada sistem demokrasi dengan dasar kedaulatan rakyat, justru membangkitkan berbagai kekuatan lama dengan muka baru yang lebih hebat.

Ditengah lautan rakyat mayoritas yang miskin, perluasan pengaruh dilakukan dengan parade kampanye berupa kunjungan ke kantong-kantong rakyat miskin (pedagang asongan, petani, buruh, nelayan dlsb) yang dilakukan oleh putra-putri mantan Preside terdahulu. Rakyat berduyun-duyun menghadiri figur putra-putri yang menghilangkan kesadaran rasional mereka: bagaiman sistem & platform figur tersebut membangun dan memajukan mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para tokoh-2 Agama kharismatis, yang senantiasa mempergunakan ayat-ayat suci dan prinsip syariah agama sebagai kewajiban pada santri-rakyat pengaruh. Mereka seolah terlepas rasionalitas apa yang menjadi faktor nyta kekuatan yang seharusnya menjadi dasar pengaruh dan pilihan atas dasar :

a.Platform Visi & Konsep membangun bangsa-negara,
b.Sistem & mekanisme Kepemimpinan dan Negarawan,
c.Sistem & mekanisme kontrol-pengawasan,

Kelemahan mendasar rakyat secara sosial-ekonomi yang melanda mayoritas ini memudahkan pengelabuan dan memudahkan rakyat memilih dan memberikan mandat kepercayaan dengan imbalan jangka pendek (uang recehan). Bahkan dengan jargon-2 yang sangat sederhana yang menyesatkan masa depan, seperti yang penting bisa makan & mudah memperoleh beras. Proses pembodohan-manipulasi yang hanya akan merendahkan dan menindas rakyat ini sudah harus kita akhiri dengan kabangkitan kesadaran kaum menengah yang menggalang dan mengoganisikan diri. Sebab, pada kaum menengah ini memiliki dasar-2 yang mencukupi, seperti intelektual, kesadaran, pemahaman, kemampuan organisasi yang sangat penting bagi fondasi kebangkitan kesadaran untuk membangun kedaulatan rakyat mayoritas. Namun demikian, muncul dan bangkitnya pengorganisasian kaum menengah juga membuka peluang pada penyusupan dan kolaborasi dengan kekuatan lama, sehingga peletakan & penerapan tata-nilai perjuangan atas dasar kebaikan dapat menjadi faktor penyaring (filter) mencegah pembelokan dan menjaga konsistensi dalam pelaksanaan kebangitan.

Menyikapi kondisi riial diatas dan kiprah pemain lama, bagaimanakah agenda pembangunan demokrasi yang optimal yang dapat kita jalankan ?

V.B. MEMBANGUN DEMOKRASI YANG OPTIMAL

Agenda demokrasi yang utama adalah Pemilu, yang diperankan oleh parpol-2 yang telah memperoleh pengesahan dari KPU meliputi 24 parpol. Berbagai kekuatan lama, Orla dan Orba muncul kembali. Generasi muda dan kekuatan baru juga muncul, yang diisi oleh orang-orang lama atau kekuatan lama dengan memasang orang / wajah-2 baru. Kiranya ada 3 alternatif langkah yang perlu perlu kita pertimbangkan dalam mengawal-membangun demokrasi dan menjaga-mengawasi kedaulatan rakyat yang kita percayakan sbb:

1. Apabila demokrasi yang merupakan proses dari sistem yang penuh paradoksial ini berjalan lancar, berarti telah terlahir anggota dewan dan lembaga perwakilan dari proses yang realitasnya bersumber dari pelaksanaan kaidah keburukan - meskipun secara formal hukum Pemilihan Umum telah Legitimate. Proses selanjutnya, agenda pemilihan Pemimpin Nasional tidak terlepas dari i sebuah proses paradoksial yang sarat dengan kerjasama aliansi antar parpol untuk pemenangan Presiden & Wakil. Keniscayaan yang muncul dalam prinsip aliansi ini adalah Bagaimana memenangkan pemilihan Presiden-Wakil secara langsung. Seandainya saja, jika kedua proses Pemilu anggota Legislaltif dan Presiden-Wakil ini berjalan lancar-meskipun reallitasnya dikotori oleh praktek yang bertentangan dengan kaidah luhur demokrasi, maka yang harus tetap dilakukan rakyat adalah :

• Penguatan peran kontrol & pengawasan rakyat secara aktif dan sistematis pada proses perjalanan Legislatif dan Pemimpin dalam Memimpin Pemerintah & Negara, Mengelola Negara dan Membangun kemajuan-kesejahteraan bangsa,

• Melakukan evaluasi atas kiprah peran dan kinerja serta pertanggung jawaban Pemerintahan sebelumnya: khususnya dalam hal penjualan asset negara dibawah BUMN – yang sarat dengan kepentingan kelompok dan idak melibatkan rakyat sebagai pemilik utama,

• Penyaringan & pembersihan unsur dan praktek yang mengotori / menodai kaidah luhur demokrasi sewaktu pemilihan, yang selanjutnya dapat menyaring para fungsionaris Parpol yang kotor, para wakil anggota DPR/D yang kotor, serta mendukung proses penyehatan & pembangunan parpol sebagai wadah aspirasi rakyat – sehingga memiliki martabat yang terhormat untuk lahirnya Negarawan yang sejati.

2. Dalam situasi apapun baik yang bersifat Darurat atau Transisi yang dapat terjadi akibat berbagai kemungkinan kegagalan dalam agenda Pemilu, maka penyelamatan bangsa-negara menjadi agenda yang maha penting untuk berlangsungnya peradaban bangsa-negara kedepan. Dalam situasi demikian, maka rakyat dan kaum menengah harus tetap gigih merumuskan platform aspirasi untuk memperjuangkan hakekat hak dan kepentingan mayoritas – khususnya dalam hal keadilan sosial-ekonomi dalam tujuan merubah-memperbaiki nasib keterbelakangan ekonomi-sosial – kearah keadilan & kemajuan yang menjadi hakiki tujuan dan sasaran pembangunan,

Kemungkinan dari kegagalan dari berbagai kemungkinan sebab: konflik horisontal, cacat demokrasi dan cacat hukum diatas, haruslah kita sikapi secara bijaksana demi untuk keselamatan peradaban, bangsa dan negara kita.

3.Mempertimbangkan Demokrasi yang kini berkembang & berjalan dipenuhi oleh praktek yang bertentangan (paradoksial):

(a) Tujuan mulia dan nilai luhur demokrasi memperoleh pengingkaran yang sarat pengotoran-konspirasi dan praktek uang,
(b) Amanat rakyat dari hasil demokrasi pada Wakil & Pimpinan (Negarawan) telah dijadikan lahan kepentingan elit dan golongan dengan KKN baru, sehingga Kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk memobilisir uang untuk memnangkan pertandingan demokrasi yang kotor dan mempertahankan kekuasaan berikutnya,

maka saatnya kita melakukan revaluasi dan koreksi atas Sistem Demokrasi yang optimal bagi Indonesia selanjutnya merumuskan dan membangun Sistem Demokrasi yang memiliki kehandalan dalam melahirkan negarawaran (Wakil dan Pimpinan) sejati untuk menyelamatkan peradaban dan kemajuan bangsa, rakyat dan negara Indonesia secara adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Revaluasi atas sistem demokrasi khususnya pada pokok-pokok sbb:

a.Redefinisi kata Demokrasi yang jelas dan tegas. Pengertian demokrasi sebagai kebebasan se-bebas-bebasnya - sehingga menimbulkan kekuatan massa, premanisme, adu kekuatan fisik atau pemaksaan kehendak - yang dapat mengintimidasi dan menekan supremasi Hukum.

b.Penciutan partai politik menjadi maksimal 5 parpol dengan senantiasa menaikkan Indeks Prestasi perolehan suara (Treshold) dari 3% naik secara bertahap hingga 20%. Sebab, apabila kita tidak melakukan konsolidasi, bangsa-negara kita akan senantiasa dilanda “ketidak kompakan” sebagai suatu bangsa yang bersaudara dan bersatu, yang memerlukan integritas dalam menapaki peradaban kedepan.

c.Dan didalam DPP parpol terbangun kepemimpinan Presidium yang mengetuai masing-masing faksi atau golongan ideologi atau pengikutnya, untuk membangun kematangan parpol dan menghindari penguasaan & pengingkaran oleh dominasi / kekuasaan tunggal oleh Ketua Umum dalam parpol. Dari parpol sendiri sudah harus mampu menunjukkan konsistensi demokrasi, kinerja & kematangan dalam membangun sistem kedaulatan anggota & golongannya. Baru kemudian bertanding secara sehat & bermartabat dalam demokrasi nasional yang lebih luas. Tantangannya: bagaimanakah mekanisme konsolidasi parpol ini dilakukan, dan haruskah ada perencanaan atau ada yang memimpin atau berjalan secara alamiah adalah masalah kita bersama. Kiranya sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia ketiga yang sudah menginjak maju seperti Malaysia, Muangthai, Cuba perlu kita pelajari untuk diambil hakekat hikmah atas kinerja dalam pencapaian tujuan yang sasaran akhirnya : meningkatkan kualitas bangsa-negara secara adil.

Memperhatikan dengan seksama kondisi sosiologis bangsa kita yang mayoritas terbelakang-miskin-heterogen, demokrasi yang paradoksial, dan KKN sistemik dalam Sistem Birokrasi Pemerintah yang berurat-berakar serta lahir dan perjalanan parpol yang sarat konspirasi dan kkn, kita membutuhkan Koreksi dan Perubahan Demokrasi secara sistematis dan percepatan yang pasti-terukur atau perubahan revolusioner sistemik. Dari manakah kita mulai mengingat benang kusut masalah tersebut sangat kronis ?. Kiranya sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia ketiga seperti Malaysia, Muangthai, Cuba perlu kita pelajari untuk diambil hakekat hikmah atas kinerja dalam pencapaian tujuan yang sasaran akhirnya : meningkatkan kualitas, kemajuan dan kesejahteraan bangsa-negara secara adil. Untuk menghindari polemik yang panjang, langkah mula yang perlu kita mulai sebagai penyatu adalah: Penggalangan Kebangkitan Kesadaran Baru Kaum Intelektual (Mahasiswa & Profesional) kelas Menengah Kedalam Kesatuan-Kebersamaan Nasional Untuk Keadilan Sosial-Ekonomi untuk Kepastian Masa Depan.

V.C. POSISI, PERAN & TEKAD TNI BAGI BANGSA & NEGARA
(Oleh Mayjen TNI-AD Saurip Kadi)

Kehancuran sejumlah negara di penghujung millenium ke-2 justru bukan karena perang. TNI yang proffesional harus bisa mengajak bangsanya untuk memperkecil kektidak pastian di seluruh bidang kehidupan masa depan.

Proses reformasi terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang berlanngsung merupakan suatu historical changes (perubahan sejarah). Para sejarawan menyatakan bahwa perubahan tersebut merupakan gerak sejarah. Sebagai sebuah perubahan sejarah dalam reformasi terjadi perubahan sosial yang sangat penting dari suatu struktur masyarakat, berupa akibat dan menifestasinya dalam norma-norma, nilai-nilai baru serta proses kebudayaan dan lambang-lambangnya. Perubahan sosia ini dapat disebut sebagai perubahan kebudayaan.

Sebagai sebuah proses sejarah reformasi mengandung suatu ethically oriented dimana moralitas (etika) menjadi parameter tatanan suatu bangsa utamanya dalam hal kepemimpinan bangsa-negara. Dengan demikian suatu bangsa harus senantiasa belajar sejarahnya, tentang kepemimpinan bangsa tersebut.

Sejarah pemerintah Orde Baru merupakan suatu bukti, manakala para pemimpinnya telah lupa tentang bagaimana sejarah kelaihiran Orde Baru. Tidak mengherankan jika setelah 32 tahun berkuasa (1966-1998) rezim otoriterian Orde Baru akhirnya runtuh, tepatnya tanggal 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari kekuasaaannya. Penguasa Orde Baru telah lupa bahwa Orde Baru mengklaim dirinya sebagai orde yang lahir dengan mengemban misi luhur yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan konsekwen. Pak Harto sebagai pemimpin Orde Baru lupa akan kritik-kritik tajam yang pernah dilontarkannya sendiri terhadap rezim Soekarno seperti yang pernah disampaikan pada 16 Agustus 1967 dihadapan sidang paripurnao DPR-GR sbb:

“…Orde Baru adalah tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.. Orde baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi total terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan pada masa orde yang berkuasa waktu itu, Orde Lama….”
“… Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan, hak-hak azasi manusia hampir-hampir lenyap, sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada. Sila kedaulatan rakyat menjadi kabur, yang ada hanya kedaulatan pemimpin. Sila keadilan sosial makin jauh, sebab kekayaan negara dipakai untuk proyek mercu suar yang merusak ekonomi rakyat dan negara. Sistem ekonomi terpimpin dalam praktek menjadi sistem lisesnsi yang menguntungkan orang yang dekat dengan penguasa. Penyelewengan serius terhadap UUD194 5 terjadi dengan memusatkan kekuasaan secara mutlak di satu tangan, yaitu kepala negara…”
“… Asas dan sendi sistem konstitusi dalam praktek berubah menjadi absolutisme. Kekuasaan negara tertinggi bukan lagi di tangan MPRS, melainkan ditangan Pemimpin Besar Revolusi. Presiden bukannya tunduk kepada MPRS , bahkan sebaliknya MPRS yang tunduk dibawah Presiden. Sungguh-sungguh tragedi bagi rakyat dan bangsa…”

Kritik tersebut ternyata telah diingkari sendiri oleh Soeharto, dan menjadi senjata makan tuan. Orde baru dalam perjalanannya telah berubah menjadi klaim ideologis elit bagi penguasanya. Artinya Orde Baru menjadi ideologi kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Orde Lama, sama dengan kritik yang disampaikan Soeharto pada Soekarno.!

Bukan hanya Soeharto seorang yang melupakan sejarah kelahiran Orde Baru, melainkan juga para Elit dan Sub pemimpin Orde Baru lainnya, termasuk Wakil Rakyat. Akibatnya penyalahduanaan kekuasaan (abuse of Power) yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru tidak dapat dicegah. Penyelahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ini terjadi karena terjadinya pemusatan kekuasaan (sentralisasi kekuasaan) di satu tangan (R.William Liddle dalam bukunya Leadership and Culture in Indonesia Politics menggambarkan dominasi kekuasaan Presiden Soeharto dalam pemerintahan Orde Baru sebagai piramida kekuasaan dengan Presiden sebagai pusat / pucuk kekuasaan.

Penyalahdunaan kekuasaan terjadi hampir disemua bidang kehidupan yang mengakibatkan terpuruknya tatanan sosial kehidupan berbangsa-bernegara. Penyalahdunaan kekuasaan dalam bidang politik dan hukum, misalnya berupa pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan golongan sendiri, menempatkan kekuasaan (politik) diatas hukum, hukum lebih mengabdi pada kepentingan ekonomi, uang, jabatan dan lain sebagainya.

Penyalahgunaan dalam bidang ekonomi berupa monopoli-oligopoli, korupsi-kolusi & nepotisme. Tentang korupsi di Indonesia, banyak lembaga internasional yang mempublikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi terburuk di dunia dan dengan tingkat daya saing yang rendah. Hal ini mengakibatkan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, tidak terwujudnya pemerataan ekonomi, dengan makin besarnya konlomerasi (menurut data PDBI, nilai asset 161 konglomerat sama dengan 76% PDB nasional pada tahun 1993).

Penyalahgunaan kekuasaan tersebut telah menumbuhkan kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sehat. Sentralisasi kekuasaan menjadikan demokrasi hanya sebagai assesoris (hiasa) dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Demokrasi hanya terlihat dalam struktur kelembagaan saja berupa adanya lembaga eksekutif, legislaltif dan yudikatif tetapi dalam pelaksanaannya jauh dari kehidupan demokrasi. Kultur demokrasi belum terbentuk dalam kehidupan bangsa sehingga proses demokrasi tidak bisa berjalan optimal. Budaya feodalistik paternalistik justru ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa dan berbnegara.

Masyarakat selama Pemerintahan Orde Baru dibuat tidak berdaya dan senantiasa bergantung kepada kekuasaan sehingga menciptakan-mengakibatkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi secara struktural.

Kesemuanya telah melahirkan krisis bangsa yagn multidimensional, yang diawali dengan krisis ekonomi. Daya tahan tatanan ekonomi Indonesia sangat rapuh. Terbukti dengan terpaan badai krisis yang melanda dunia telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia, yang sampai kini masih belum pulih. Krisi yang multidimensional ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru, yang bermura pada terjadinya proses reformasi.

Dengan demikian, proses reformasi ini dapat dikatakan sebagai proses koreksi terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dilanjutkan dengan proses penataan kembali dnegan falsafah negara dan konstitusi, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Proses koreksi ini adalah koreksi terhadap panyalahdunaan kekuasaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan segala implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara untuk dikembalikan pada mekanisme berbangsa dan bernegara secara benar.

Dalam proses reformasi ini, moralitas kebenaran merupakan pangkal utama, tolok ukur melakukan koreksi. Sehingga reformasi sebagai koreksi nilai tidak bisa dilihat dengan pendekatan kekuasaan semata, yaitu menang atau kalah. Tetapi reformasi harus ditempatkan sebagai sebuah perjuangan moralitas yang dilandaskan pada nilai-nilai kebenaran dengan tujuan demi kebaikan dan kepentingan Bangsa dan Negara, bukan kepentingan kelompok, klen, partisan, apalagi pribadi.

Dalam reformasi tidak ada pengelompokan sosial berdasarkan menang kalah sehingga ada yang merasa menang dan ada yagn merasa kalah. Yang ada adalah bahwa kemenangan reformasi merupakan kemanganan Bangsa Indonesia dan sekaligus bagian dari tuntutan perjalanan Bangsa yang tidak bisa dihindari.

Penyalahdunaan kekuasaaan oleh pemerintahan Orde Baaru dilakukan melalui perangkat kultur dan struktur berupa mekanisme korporatisme negara dimana warga Bangsa ditempatkan sebagai bagian dari Negara yang senantiasa dapat dikendalikan oleh negara dan dalam situasi ketidakberdayaan struktural. Korporatisme adalah sistem Penyingkiran sektor massa lewat pengawasan-pengawasan., dipolitisasi serta tekanan-tekanan lain yang memungkinkan terwujudnya stabilitas yagn diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Mekanisme pengawasan dan pencegahan dalam korporatisme negara diantaranya adalah represi terhadap pemimpin pemimpin massa yang muncul dari bawah, kooptasi terhadap mereka dengan cara menyaring kemampuan untuk membubarkan dan menekan organisasi-organisasi yang mudah dipengaruhi oleh para pemimpin pembangkang.

Perangkat yang mendukung mekanisme korporatisme adalah TNI (ABRI pada saat itu), birokrasi dan teknokrat. TNI telah menjadi alat penguasa untuk memberikan jaminan keamanan bagi negara karena monopolinya terhadap alat-alat pemaksa, menjadi organisasi pengawasan, sedangkan birokrasi menjadi pendukung kekuatan politik Pemerintah melalui loyalitas tunggual pegawai dan dukungan administratif demi kepentingan pengawasan oleh Negara. Sementara para teknokrat, manajemen, jasa keahlian teknologi dalam rangka pengendalian dan pengawasan proses sosial, sejalan mempertahankan laju perekonomian.

Kedudukanb TNI yang dominan sebagai alat penguasa Pemerintah Orde Baru merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri dan menjadi stigma yang tak terelakkan. Salah satu akibatnya adalah selama proses reformasi, posisi dan peran TNI kemudian digugat. Oleh karena itu, dengan peran TNI sebagai alat penguasa pada masa Pemerintah Orde Baru seharusnyalah TNI tidak melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap terpuruknya tatanan sosial berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain TNI tidak boleh tinggal gelandang colong playu, berlepas diri dengan apa yang sedang menimpa Bangsa ini. Berbagai upaya mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa bernegara yang normal, membawa Bangsa ini keluar dari krisis harus menjadi bagian tugas dan tanggung jawab TNI

IV.C.1. POLTIK TNI ADALAH POLTIK NEGARA

Sebagaimana dikemukakan di atas salah satu penyebab terpuruknya tatanan sosial berbangsa dan bernegara pada masa Orde Baru adalah posisi TNI (ABRI) yang telah dijadikan sebagai alat penguasa melalui keterlibatan langsung TNI (ABRI ) dalam kehidupan politik praktis, termasuk kebiajakn penugaskaryaan. Keterlibatan langsung dalam politik parktis berupa ikut campur dalam urusan partai politik dan organisasi masyarakat demi kepentingan penguasa, melakukan tindakan represif yang berlebihan, bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum dan Hak-hak Azasi Manusia (HAM).

Fungsi sosial (bukan fungsi politik) TNI yang diletakkan oleh Jenderal Nasutiona sebagai suatu model civic mission atau alat bakti seperti miiter di dunia Barat, dan model kerjasama dengan kekuatan komponen Bangsa yang lainnya dalam emmbangun Negara dan Bangsa melalui Seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung berubah mendominasi peran yang semestinya menjadi fungsi lembaga lain. Inilah awal TNI (ABRI) menjadi alat penguasa untuk menekan kekuatan masyarakat yang seharusnya menjadi mitranya.

Yang paling mencolok keberadaan TNI sebagai alat penguasa pada masa pemerintah Orde Baru adlaah keberpihakannya TNI pada salah satu kekuatan organisasi sosial politik. Ketika TNI menjalankan politik penguasa seperti itu sesungguhnya TNI telah mengingkari jati dirinya sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional yang mengharuskan dirinya menempatkan kepentingan Bangsa dan Negara di atas semua kelompok dan golongan masyarakat. Dalam rangka Reformasi Internal TNI, maka TNI harus kembali ke jati dirinya. Artinya, bahwa dengan jati diri TNI, maka TNI menjalankan politik Negara, bukan politik penguasa.

Makna TNI menjalankan politik negara yakni bahwa peran TNI sebagai Bhayangkara Negara adalah berperan melakukan pertahanan Negara dari setiap kemungkinan yang mengancam kelangsungan, eksistensi dan keutuhan Negara. Hal ini diwujudkan dalam bentuk :

1. TNI tidak terlibat politik praktis.

Proses demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dalam perubahan setiap negara. Hal ini disebabkan berakhirnya perang dingin yang diikuti berubahnya tatanan dunia dan berakhirnya era otoritarianisme. Rusia dan Negara-negara di Eropa TImur merupakan fenomena bagaimana sebuah Negara tengah mereformasi dirinya dari sistem otoritarian menuju demokrasi (transisi menuju demokrasi seperti halnya Indonesia).

Proses demokrasi adalah proses menuju terbangunnya suatu konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi atau demokrasi yang sudah mapan menurut Linz dan Stephen dalam Problems of Medocratic Transition and Consolidation memiliki lia arena, yaitu masyarakat sipil ( civil society) yang ditandai kebebasan berkomunikasi dan berserikat, masyarakat politik (political society) yang ditandai adanya Pemilu yang bebas dan terbuka, tatanan hukum (rule of law) yang menjunjung konstitusionalisme, perangkat negara yang didalamnya hidup norma-norma birokrasi yang legal rasional, masyarakat ekonomi yang dicirikan dengan dibangunnya lembaga pasar yang sehat.

Dalam rangka pembentukan konsolidasi demokrasi dimana masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya melalui penguatan partai politik, organisasi kemasyarakatan, maka TNI tidak harus terlibat politik praktis. Hal ini berati, pertama, TNI tidak boleh terlibat politik praktis, seperti kegiatan dukung-mendukung, dorong-mendorong, tolak-menolak, halang-menghalangi setiap aktifitas mobilitas politik. Kedua, tidak menjadi partisan terhadap atau berperan sebagaimana layaknyapartai poltik / kekuatan politik tertentu, dan mengambil jarak yang sama terhadap semua partai politik yang ada. Pengertian tidak terlibat dalam politik praktis, janganlah diartikan Prajurit TNI tabu terhadap politik. TNI sebagai alat negara justru mengharuskan setiap prajurit TNI terlebih para perwiranya haruslah memahami dan mampu mengikuti perkembangan dinamika politik. Dengan demikian TNI akan mampu menolak tarik-tarikan kepentingan politik / golongan lebih dari itu mampu bertindak proaktif dalam bentuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau peringatan terhadap uapaya-upaya yang mengancam kelangsungan hidup (eksistensi) keutuhan serta keselamatan Bangsa dan Negara.


2. TNI merupakan kekuatan pertahanan negara dari setiap ancaman terhadap kelangsungan keutuhan negara.


Myron Weiner, mengemukakan bahwa integrasi nasional meliputi lima cakupannya. Pertama, National Integration yaitu penyatuan berbagai suku bangsa menjadi bangsa yang satu. Kedua, Teritorial Integration yaitu menyatukan berbagai daerah yang luas dibawah satu Pemerintahan. Ketiga, Elitemass Integration yaitu menyatukan Pemerintah dengan rakyat. Keempat, Value Integration, yaitu nilai yang paling banyak disetujuinya cara-cara untuk menyelesaikan konflik. Kelima, Integrative Behaviour yaitu memadukan potensi & kemampuan rakyat hidup berorganisasi dalam mencapai tujuan.

Dalam proses reformasi yang berlangsung, eforia demokrasi telah memunculkan gejala dis-integrasi. Gejala ini muncul dalam bentuk upaya pemisahan diri suatu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, konflik etnik dengan segala permasalahannya seperti apa yang terjadi di Aceh, Papua (Irian Jaya), Riau dan Maluku. Negara-negara Uni Soviet dan Yugoslavia telah gagal mempertahanan keutuhan kesatuan teritorial & bangsanya karena separatisme. Demikian pula kerajaan Majapahit runtuh karena menyusutnya pengaruh kekuasaan pemerintahan pusat terhadap daerah.

Dalam konteks ini, Value Integration Bangsa tidak berfungsi secara utuh dan maksimal sehingga belum adanya persetujuan tentang cara-cara untuk menyelesaikan konflik atau masalah Nasional yang tengah terjadi. Walaupun sesungguhnya kalau dilihat dari kultur feodalistik, maka peran elite politik akan sangat membantu penyelesaian masalah.

Oleh karena itu dalam menjalankan politik Negara demi kelangsungan, eksistensi dan keutuhan negara, maka TNI tidak mungkin berpolitik praktis, tetapi politik TNI adalah politik Negara. Keterlibatan TNI dalam politik memang tidak boleh diwujudkan lagi sebagai partisan. Tapi TNI harus memiliki sikap politik. Disamping itu TNI haru bisa mempengaruhi terhadap setiap perkembangan dan kondisi yang dapat mengancam kelangsungan, eksistensi dan keutuhan bangsa. Sebagai contoh adalah ketika sistem politik yang demokratis sedang ditata dalam era reformasi ini setelah menjalani proses demokrasi yang cukup baik seperti Pemilu 1999. Sidang umum 1999 sehingga terbentuk Pemerintahan yang legitimate, maka TNI harus bersikap mendorong dan mempengaruhi agar etika dan mekanisme demokrasi berjalan secara optimal dalam menyelesaikan setiap permasalahan bangsa dan negara. Diantaranya bersikap mendukung terhadap upaya memperbesar peran partai politik dalam menyalurkan aspirasi baik koreksi maupun saran pada pemerintahan yang legitimate melalui mekanisme demokrasi yang dilandasi etika politik yang benar. Dengan demikian instrumen demokrasi segera dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

3. TNI tampil kedepan dalam pemberdayaan kelembagaan fungsional. Era reformasi adalah masa transisi untuk menata kembali kelembagaan yang ada baik eksekutif, legislaltif maupun yudikatif dan lembaga kemasyarakatan sesuai dengan perannya agar masing-masing kembali berfungsi secara optimal. Berkaitan dengan hal tersebut TNI dalam menjalankan politik Negara, seharusnya mendorong pemberdayaan kelembagaan fungsional. Ketidakterlibatan TNI dalam politik praktis merupakan wujud atau implementasi dari upaya pemberdyaaan kelembagaan fungsional itu sendiri.


4. Bahwa TNI merupakan bagian dari sistem nasional dan menjalankan setiap tugas kenegaraan atas kesepakatan bangsa (konstitusional).


TNI merupakan bagian dari sistem nasional dengan fungsi utamanya yaitu pertahanan negara. Sebagai bagian dari sistem nasional maka keberadaan, peran, fungsi dan tugas-tugas TNI didasarkan pada kesepakatan bangsa (konstitusional) melalui mekanisme peraturan perundangan yang berlaku baik ketetapan MPR, peraturan / perundangan yang ditetapkan DPR dan Pemerintah. Sebagai bagian dari sistem nasional pula TNI harus menjaga kelangsungan dan pelaksanaan setiap keputusan DPR/MPR.

IV.C.2. KEPEMIMPINAN NASIONAL

Dalam sebuah tatanan demokrasi, kepemimpinan nasional dianggap legitimate manakala dipilih melalui mekanisme demokrasi. Dalam sistem demokrasi di Indonesia penetapan kepemimpinan nasional dilakukan oleh MPR RI sebagai lembaga pemegang kedaulatan tertinggi (kedaulatan rakyat). Oleh karena itu, TNI sebagai Tentara Rakyat berarti secara konstitusional mentaati keputusan yang dihasilkan oleh DPR/ MPR.

DPR / MPR sekarang merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui demokrasi yaitu Pemilu 1999 yang relatif jujur dan adil. Salah satu keputusan MPR adalah penetapan kepemimpinan nasional periode 1999-2004. Menjadi tugas dan tanggung jawab TNI untuk menjaga kelangsungan kepemimpinan nasional yang legitimate siapapun orangnya dari setiap upaya inkonstitusional untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Sebab setiap tindakan inkonstitusional bertentangan dengan etika dan mekanisme demokrasi. Karena sistem demokrasi di Indonesia adlaah sistem perwakilan, maka setiap keputusan yang sah (konstitusional) adalah keputusan DPR / MPR.

Tugas dan tanggungjawab TNI ini sekaligus menjaga kelangsungan tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh seluruh rakyat Indonesia melalui pentahapan Pemilu. Sidang umum yang dilaksanakan dengan biaya, waktu dan pengorbanan serta harapan besar. Kegagalan dalam mempertahankan kepemimpinan nasional yang legitimate bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada mekanisme demokrasi. Karena bisa memunculkan anggapan masyarakat bahwa ketika tahapan Pemilu yang Jurdil. Sidang umum yang demokratis yang memilih kepemimpinan nasional telah dilalui, ternyata tidak ada jaminan bahwa sistem berjalan secara konstitusional. Padahal ini sangat penting dalam upaya bangsa untuk keluar dari krisis berkepanjangan.

Dengan demikian dukungan TNI terhadap kepemimpinan nasional (siapapun Presidennya) semata-mata dalam rangka mengamankan ketetapan DPR / MPR, dan menjaga kelangsungan tatanan kehidupan yang demokratis, bukan sebagai alat penguasa seperti pada masa Orde Baru. Artinya TNI melakukan dukungan selama kepimimpinan nasional sesuai dengan Pancasila dan UUD’45 dan menjalankan ketetapan DPR / MPR. Bahwa kritik, koreksi saran terhadap pada kepemimpinan nasional yang disalurkan melalui mekanisme konstitusional, maka TNI menempatkan hal tersebut sebagai budaya yang memang harus dibangun bersama.

Kesadaan akan pentingnya menjalankan mekanisme demokrasi tanpa terjebak pada eforia demokrasi yang bisa kontraproduktif terhadap pelaksanaan demokrasi sendiri perlu dikembangkan di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Usaha / Program ini merupakan upaya pencercahan politik warga negara yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia dalam menjalankan tatanan kehidupan yang demokratis melalui mekanisme demokrasi yang benar, termasuk pemahaman tentang kepemimpinan nasional yang legitimate.
Kepedulian TNI tentang civic education sebagai bagian dari tanggungjawab bisa dilakukan melalui Kepemimpinan dan Komunikasi Sosial (KKS) TNI.


IV.C.3. REFORMASI INTERNAL


Yang tidak kalah penting dalam upaya TNI menjalani tugas dan tanggungjawabnya ikut memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, sekaligus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan peran TNI yang sesuai dengan tuntutan masa depan adalah melakukan reformasi internal TNI. Reformasi internal ini merupakan proses perubahan struktur dan kultur TNI (transformasi struktural dan kultural) agar TNI sesuai dengan jati dirinya. Proses ini merupakan keharusan sejarah setelah selama ini TNI menjadi alat penguasa Orde Baru. Reformasi internal berarti mengembalikan TNI pada khittahnya sebagai Tentara Rakyat. Tentara Pejuang dan Tentara Nasional.

Karena menyangkut perubahan struktural dan kultural, maka proses reformasi membutuhkan waktu yang lama. Untuk mengoptimalkan reformasi internal TNI perlu direspon oleh segenap prajurit TNI sebagai suatu kebutuhan bersama. Tidak mungkin menjalankan reformasi internal hanya dilakukan oleh puncak Pimpinan TNI salah satu Angkatan saja. Keterlibatan para pimpinan TNI harus bisa berupa pernyataan sikap dan disertai dengan tindakan nyata yang merubah kearah perbaikan, yang intinya menunjukkan bahwa TNI tidak seperti dibawah pemerintahan Orde Baru, sangat penting. Hal ini merupakan perwujudan dari pikiran kehendak (niat) dan tekad melakukan reformasi secara sungguh-sungguh.

Walaupun tentu saja reformasi TNI juga bukan hanya tangung jawab TNI, melainkan seluruh komponen bangsa. Berbagai upaya reformasi TNI hanya bisa dilakukan jika didukung oleh komponen bangsa lainnya. Namun sumber kekuatan untuk mempercepat reformasi internal TNI terpulang pada segenap prajurit TNI sendiri.

IV.C.4. SIKAP TNI Terhadap NEGARA dan BENTUK dan DASAR NEGARA


Secara demografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kebhinekaannya. Bhineka dalam budaya, suku, agama dan lain-lainnya. Potensi ini bisa menjadi kekuatan penyatu bangsa, memperkokoh ketahanan bangsa dan bisa pula sebaliknya menjadi potensi di-integrasi bangsa dan melemahkan kekuatan bangsa. Proses reformasi yang dibarengi eforia demokrasi bisa menjadikan kebhinekaan bangsa sebagai potensi dis-integrasi bangsa, apalagi dibarengi ketidakadilan sosial, ketimpangan sosial, kepentingan internasional yang tidak menguntungkan. Ancaman perpecahan bangsa muncul dalam bentuk konflik ideologis karena keragaman ideologis yang saling bergesekan, egoisme kultural, pemisahan diri daerah dari pemerintah pusat, konflik vertikal dan horisontal baik kerna faktor etnik maupun agama.

Proses reformasi sebagai wahana transformasi untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik serta lebih demokratis justru mengandung ancaman terhadap eksistensi negara bangsa, kelangsungan negara dan keutuhan bangsa. Hal ini terjadi karena didalamnya terbentang masa transisi yang sangat rawan. Nilai-nilai lama oleh sebagian warga bangsa dianggap tidak cocok lagi, sementara nilai-nilai baru belum lahir. Dalam saat yang sama sebagian warga bangsa yang lain mencoba mempertahankan nilai-nilai lama dan cenderung menolak perubahan nilai.
Oleh karena itu TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional sekaligus sebagai tanggung jawab terhadap keterpurukan yang melanda Bangsa, maka setiap prajurit TNI seharusnyalah memiliki :

1. Keyakinan sesuai dengan Sapta Marga tentang membela dasar negara Pancasila dan eksistensi kelangsungan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2. Komitmen yang kuat untuk menjaga menjaga keutuhan bangsa dan negara,
3. Tekad yang kuat untuk memanifestasikan sikap tersebut.

Dengan demikian TNI senantiasa peduli terhadap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara menjaga jangan sampai eksistensi negara bangsa, kelangsungan negara dan keutuhan bangsa terganggu.


IV.C.5. SIKAP TNI TENTANG KEHIDUPAN BERBANGSA dan BERNEGARA DIPERCAYAKAN kepada PIMPINAN


TNI adalah alat Megara. Sebagai alat Negara tidak mungkin TNI tidak dilibatkan dalam proses politik utamanya dalam pengambilan keputusan tingkat Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam menangani masalah Pertahanan Negara itu sendiri sesungguhnya adalah kegiatan politik. Dengan kata lain, TNI sesungguhnya adalah instrumen politik negara, namun politik TNI adalah politik negara. Dengan politik negara menempatkan TNI untuk memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan kehidupan berbagngsa, bernegara melalui fungsi utamanya yaitu pertahanan negara. Pertahanan negara dapat dikatakan juga sebagai sebuah pendekatan seperti halnya pendekatan kesejahteraan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanggungjawab itu diwujudkan dalam sikap TNI terhadap setiap permasalahan
dalam proses berbangsa dan bernegara, terutama permasalahan yang didalamnya perlu pendekatan pertahanan negara. Sikap ini diwujudkan dalam bentuk mempengaruhi langkah dan gerak TNI dalam bersikap dan bertindak permasalahan bangsa yang menyangkut pertahanan, diserahkan atau dipercayakan kepada Pimpinan TNI. Sikap TNI sangat penting terhadap penataan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, khususnya menyangkut TNI dan fungsi TNI sebagai lembaga pertahanan negara.

IV.C.6. ETIKA POLITIK dan MEKANISME DEMOKRASI

Penataan kehidupan berbangsa bernegara yang lebih demokratis hanya akan dapat berlangsung secara tertib manakala setiap komponen bangsa menggunakan etika dalam berpolitik dan secara konsisten mentaati mekanisme demokrasi.
Demokrasi memang menuntut adanya tingkat tanggungjawab pribadi yang tinggi, karena keterbukaan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Demokrasi hanya bisa terjadi jika kita mampu meninggalkan sikap menang sendiri. Demokrasi menuntut sikap secara tulus untuk menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan hanya diterimanya dan dilaksanakannya sebagian dari keinginan dan pikiran kita. Perfeksionisme dan absolutisme adalah pandangan-pandangan yang berlawanan dengan ide demokrasi dan demokratisasi. Dalam demokrasi harus selalu ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi, sebagaimana TV.Smith dan Eduard C.Lindeman menyatakan:

“Orang-orang yang berdedikasi pada pandangan hidup demokratis mampu bergerak kearah tujuan itu jika mereka bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang terlaksananya sebagian dari ide-ide. Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang saling tidak cocok.”

Disamping itu kedewasaan demokrasi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan khidupan demokrasi, baik karena kultur demokrasi dalam masyarakat, tingkat pendidikan maupun pengalaman berdemokrasi. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam era reformasi ini, demokrasi yang kita bangun memiliki beberapa tantangan:

• pertama, eforia demokrasi yang mengarah pada anarkhisme dan premanisme,
• kedua, kurangnya budaya demokrasi dalam masyarakat kita karena selama ini dibangun budaya feodalistik-paternalistik,
• ketiga, tidak ada pengalaman berdemokrasi karena selama tiga pulu dua tahun hidup dalam tatanan otoriterianisme,
• keempat, adanya kecenderungan berpikir inkonstusional dalam perubahan, diantaranya penggunaan kekuatan massa atau aksi ekstra parlementer.

Oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa untuk menjalankan demokrasi mendasarkan pada kesadaran hati nurani dan kemanusiaan universal dengan cara menggunakan etika dalam berpolitik dan mentaati mekanisme demokrasi.

IV.C.7. PERHATIAN TNI TERHADAP KONDISI YANG BERKEMBANG

TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional sekligus merupakan instrumen politik negara memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan, kelangsungan dan keutuhan Bangsa dan Negara serta Integritas berbangsa dan bernegara. Bentuk tanggung jawab TNI terhadap bangsa dan negara adalah dengan cara senantiasa peduli dan mengikuti perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepedulian itu bisa dilakukan melalui ide / gagasan, sumbang pemikiran, tindakan riil dilapangan yang bisa meringankan beban kehidupan masyarakat atau masalah, seperti bakti TNI pada masyarakat yang membutuhkan.


IV.C.8. LEGITIMASI TNI DIUSAHAKAN OLEH TNI SENDIRI

Akibat peran dan segala tindakannya, TNI pada massa Orde Baru yang lebih sebagai alat penguasa, maka muncul berbagai tuntutan dan hujatan ditujukan pada TNI diantaranya penghapusan dwfungsi TNI, pengadilan terhadap oknum TNI yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Hal-hal tersebut seharusnya direspond secara proposional, bila tidak kepercayaan rakyat akan terus menurun dan pada kondisi tertentu akan sulit untuk recovery. Hal ini sangat merugikan dan membahayakan kedudukan TNI sebagai kekuatan pertahanan negara. Tidak mungkin TNI mampu menjalankan fungsinya manakala tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya. Disinilah arti strategis keputusan TNI yang telah menjadikan upaya pengembalian citra dan Legitimasi TNI sebagai tugas pokok TNI pada tahun 2000 khususnya yang telah dilakukan oleh TNI-AD dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Tyasno Sudarto. Namun demikian, pengembalian legitimasi TNI hanya bisa dilakukan oleh TNI sendiri, bukan oleh komponen bangsa lainnya. Legitimasi TNI adalah upaya mengembalikan citra TNI sebagai lembaga pertahanan negara. Untuk itu maka dilakukan proses reformasi internal Tni untuk mengembalikan TNI ke jati dirinya, penataan sikap dan penampilan serta konsistensi komitmen TNI terhadap rakyat, bangsa dan negara dalam penyelesaian berbagai kasus yang melinatkan TNI. Dengan reformasi internal TNI, diharapkan TNI segera menjadi menata diri menjadi tentara yang profesional yang mampu menjaga integritas, keutuhan dan kelangsungan hidup Bangsa dan Negara.


IV.9. PROFESSIONALISME TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

Perkembangan global dan peradaban manusia saat ini, bangsa manapun di dunia berupaya menghindari terjadinya perang. Namun demikian, bukan berarti TNI tidak mempersiapkan diri menghadapi perang. Dalam era global dimana ilmu pengetahuan terus berkembang pesat, bentuk perang tidak mungkin lagi hanya berupa adu kekuatan / senjata belaka. Kehancuran sejumlah negara di penghujung millenium ke-2 justru bukan karena perang. Disintegrasi bangsa dan negara seperti terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia lebih bersumber pada masalah-masalah sosial dalam negerinya.

TNI (ABRI) sesuai dengan amanat yang diemban sejak kelahirannya untuk menjaga kadaulatan bangsa dan negara perlu membekali diri sesuai dengan hakekat ancaman yang akan dihadapinya. Oleh karena itu, pengertian professionalisme TNI bukan semata-mata dalam olah keprajuritas, lebih dari itu TNI harus bisa mengajak bangsanya untuk memperkecil kektidak pastian di seluruh bidang kehidupan masa depan. Untuk itu, kemampuan TNI dalam mengembangkan konsep pemikiran atas hal-hal yang dihadapi bangsa dan negara menjadi sangat mendasar. Dimasa mendatang ketidakpastian justru sebagai hakekat ancaman potensial yang dapat menghancurkan kedaulatan negara.
Oleh karena itu TNI harus tetap tegar dan bersikukuh pada jati dirinya, agar konsep-konsep pemikiran, penampilan dan kebijakan yang diambilnya mampu memperkecil kadar ketidakpastian itu sendiri. Sesuai dengan hakekat ancaman yang akan dihadapi, maka penggunaan senjata / kekerasan menjadi tidak polpuler dan justru kontra produktif. Oleh karena itu hal yang mendesak bagi TNI adalah masalah penghayatan dan pengamalan HAM, terlebih dalam pelibatan urusan-urusan yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Disinilah pentingnya kesadaran TNI untuk tidak terjebak dalam kondisi yang kontradiktif dengan hekekat dan jatidirnya. Penanganan masalah-masalah apapun yang berkaitan dengan rakyat harus diletakkan pada landasan hukum yang berlaku.

Masalah keamanan dalam negeri yang berkaitan dengan tatanan negara demokrasi memang menjadi urusan polisi. Oleh karenanya, POLRI tidak hanya profesional dalam fungsinya sebagai bagian law and justice system, tetapi juga mampu menangani gejolak sosial, baik yang bersifat damapi sampai yang menggunakan kekesaran / senjata. Namun dalam kondisi dimana kedaulatan negara terancam, TNI diminta atau tidak akan tampil melaksanakan tugas pokok, agar kedaulatan negara kembali tegak, bangsa dan negara tetap utuh lestari.


IV.C.10. HUBUNGAN TNI dan PRESIDEN

Reformasi internal TNI yang dimaksudkan dalam uraian diatas, baru bermakna manakala hubungan TNI dan Pemerintah dibakukan. Pijakan tata hubungan tersebut adalah pasal 10 UUD 45 yang mengamanatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI-AD, TNI-AL, TNI-Au. Dalam penjelasan pasal tersebut, posisi Presiden yang dimaksud adalah kapasitas sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan.

Dimasa lalu pada saat bangsa kita sedang berkonfrontasi dengan Belanda dalam merebut kembali Irian Jaya, Presiden dipossisikan sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Dimasa mendatang predikat tersebut perlu diluruskan. Posisi Presiden sebagai Panglima Tertinggi dipergunakan bila saja kita sedang perang dengan negara lain. Pososo Presiden sebagai Pangti TNI harus dihentikan untuk urusan-urusan politik dan masalah sosial lainnya, serta urusan manajemen internal TNI.

Berdsarkan konsepk Angkatan Bersenjata yang bukan bentukan pemerintah, TNI mempunyai otonomi dan otoritas yang besar dan tidak boleh dicampuri oleh Pemerintah sekalipun. Pemerintah memang berhak menggunakan TNI untuk menghadapi musuh negara, namun manajemen internal termasuk manajemen perang menjadi otonomi TNI. Disinilah beda antara tentara Pemerintah yang menempatkan Presiden tidak hanya berwenang mengerahkan tentara, tetapi juga menentukan manajemen perang sekligus. Tanpa pembatasan yang jelas dan tegas hubungan antara TNI dan Presiden, meskpiun TNI dimasukkan dalam barak, niscaya akan kembali digunakan sebagai alat politik pemerintah seperti yang terjadi selama Orde Baru. Dengan kata lain yang harus direformasi adalah sistem politik nasional, agar kembali mendudukkan ABRI sebagai alat negara negara. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya penjabaran pasal 10 UUD’45 yang membatasi campur tangan pemerintah terhadap ABRI dalam urusan politik praktis dan agar pemerintah tidak mencampuri manajemen internal ABRI.

V.D. MENJAGA AMANAT dan KONTROL KEDAULATAN RAKYAT


Kini tantangan berikutnya adalah melaksanakan hakekat peradaban bangsa-negara, yakni membangun sistem kedaulatan rakyat yang efektif dan dapat mengantarkan kemajuan yang semaksimal bagi mayoritas rakyat Indonesia. Membangun sistem kedaulatan yang kini diperankan oleh sistem Perwakilan (DPR/D) nampak hanyalah kesemuan (kepalsuan) dalam sistem kenegaraan yang secara mendasar tidak memperjuangkan kepentingan rakyat mayoritas, karena kiprah para elit wakil lebih mementingkan pribadi dan golongan. Alternatif sistem kadulatan rakyat yang harus kita bangun dan perjuangkan adalah penguatan sistematis kepentingan rakyat dalam berbagai golongan dan pekerjaan yang besar, kuat dan berkualitas (tangguh) dalam membela kepentingan rakyat. Jebakan sistem perwakilan yan*g ternyata justru melakukan pengingkaran / konspirasi, perlu kita imbangi dengan alternatif sistem berikut:

• Perimbangan peran Perwakilan dengan mitra-mitra Institusi Strategis,
• Penguatan Lembaga Kajian Strategis yang Berkualitas dan Kuat,
• Kontrol yang efektif dan meluas dengan jaringan Pers, Antar Universitas, Antar Institusi,
• Perlawanan dengan serangkaian agenda Boikot secara meluas ~ sebagaimana yang dilakukan oleh para Guru-Murid di Kabupaten Kampar, Riau pada Maret 2004, atau kita contoh agenda Boikot petani Anggur di Perancis secara nasional.

Memperhatikan ketertindasan rakyat yang terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan, maka penguatan kedaulatan rakyat haruslah kita mulai degan pembangunan sistem kesadaran, kepandaian dan keberanian rakyat dalam membela hak & kepentingan untuk maju dan sejahtera. Untuk menghindari intervensi asing, pembelokan arah tujuan-sasaran, maka kemandirian juga harus kita bangun. Aspek yang penting dalam kemandirian adalah kemandirian finansial, yang sumber-sumbernya dapat digalang dari sumbangan masyarakat secara sukarela melalui Sumbangan Terbuka Dalam Rekening Khusus melalui media massa-untuk membiayai kiprah dan peran membela kedaulatan itu sendiri. Perjuangan kontrol ini dengan penguatan secara mandiri harus kita bangun dan budayakan untuk menjaga hak-hak – yagn pada akhirnya realisasi dan perwujudan demikian adalah wujud hakiki bahwa kita memiliki harga diri dan memiliki martabat dalam peradaban. Kepercayaan rakyat yang diberikan sebagai amanat dan kemudian diingkari elit kekuasaaan, adalah bentuk kelemahan, kenestapaan, dan hina dari suatu bangsa.

Kesabaran, ketulusan dan kebegeon kita selama ini harus kita akhiri – dengan tidak saja mempercayai sistem perwakilan legislatif sebagai penjaga amanat rakyat. Kondisi kronis bangsa-negara kita yang kini dalam situasi paradoksial, haruslah kita jaga dan perjuangakan dengan langkah kongkrit. Kelemahan mendasar dengan sistem Perwakilan yang dinaungi oleh Parpol-manakala anggota DPR/D melakukan penyimpangan, pengkhianatan senantiasa terlindungi oleh wadah Parpol yang cenderung melindungi wakil yang menyimpang adalah juga merupakan kekonyolan dan kebodohan kita.

160 Juta Rakyat
TERBELENGGU LINGKARAN SETAN KEMISKINAN & PENGUASAAN

Rakyat yang miskin-terbelakang senantiasa terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan-keterbelakangan, seolah tiada ujung yang mengakhiri kemiskinan tersebut. Mereka adalah kaum petani, nelayan, buruh, pedagang kecil / informal / asongan dlsb dengan penghasilan yang rendah yang hanya dicukup-cukupkan untuk mempertahan hidup. Dengan penghasilan rendah, kaum miskin sangat sulit menyisakan untuk ditabung, kalaupun ada hanyalah untuk berjaga-jaga untuk kebutuhan yang bersifat darurat. Karena tiada sisa yang ditabung, rakyat miskin tidak memiliki kemampuan tambahan untuk menambah modal atau investasi. Dengan demikian skala usaha mereka relatif tetap tidak berubah: penghasilan mereka tetap rendah dan seterusnya. Didalam keadaan miskin, mereka juga terbelakang: tidak memiliki pembukuan (administrasi), tidak pernah menyimpan di Bank, dan buta akses informasi tentang permodalan. Akibatnya, dalam perjalanan dari waktu ke waktu, mereka tetap berada dalam lingkaran (siklus) yang tiada awal dan tiada ujung, untuk mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan mereka. Siklus yang melingkari rakyat miskin inilah yang membelenggu mereka dalam keterbelakangan, sehingga tetap dalam kemiskinan – disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan (vicous circle of poverty). Keadaan kemiskinan rakyat Indonesia, juga terbelenggu penguasaan keluar: pasar Internasional, jebakan hutang, berbagai hambatan non tarrif dan penguasaan teknologi.
.
Kemiskinan mayoritas rakyat kita, masih dilingkari dan dijerat oleh penguasaan yang membelenggu sehingga mereka tetap berada dalam keterbelakangan, yang mencakup hal-hal berikut:

1. Dalam proses usaha, sebagian besar petani & nelayan membutuhkan modal awal untuk mengolah sawah, membeli bibit-pupuk & obat serta bertanam. Sedang nelayan membutuhkan bahan bakar, beras, jaring, dan kebutuhan rumah tangga – yang biasanya meminjam dari pemodal atau warung dengan bunga yang tinggi berkisar 5%. Untuk kaum pedagang, pinjaman modal dikenakan bunga antara 5% hingga 10% per bulan. Selanjutnya, dalam menunggu panen, petani sering menjual sebelum waktu panen dalam keadaan daun & padi masih hijau (mengijon) pada tengkulak, yang menurunkan harga jual secara signifikan. Dua keadaan ini, kebutuhan modal & meng-ijon sebelum panen – sudah mengurangi penghasilan secara drastis.

2. Pada saat panen, baik petani atau nelayan yang senantiasa dilakukan secara serentak, karena musim ikan atau musim tanam masing-masing memiliki kesamaan waktu, harga jual sering jatuh. Hal ini akibat konsekuensi hukum ekonomi Permintaan-Penawaran, apabila barang yang ditawarkan melimpah, mendorong harga turun dan sebaliknya. Untuk panen ikan, kejatuhan harga sering terjadi lebih parah. Harga ikan tongkol-tuna dalam keadaan melimpah hanya terjual Rp.600 per kg – akibat tiadanya prasarana pengawetan (pendingin). Kini kondisi yang melingkupi petani lebih parah, akibat perubahan sikap Pemerintah yakni: mengurangi subsidi pupuk, mengurangi pembelian padi / gabah dari petani dan liberalisasi perdagangan dengan impor beras murah dari luar negeri.

3. Dampak negatif dalam kemiskinan – keterbelakangan adalah mereka kurang rasional, mudah percaya & dikendalikan mystik dan mudah dikendalikan hal-hal yang supranatural, sehingga mereka mudah dipengaruhi dan dikendalikan oleh tokoh karismatik / tradisional / paternalistik. Peran dan kiprahnya lebih banyak dalam mengobati kesedihan hati-nurani, dan sebagai

kepanjangan Elit / Kekuasaaan pada saat Kepentingan / Kampanye / Pemilu, tetapi tidak memiliki kemampuan / tidak memperjuangkan hakiki tantangan kehidupan yang miskin.

Keterbelakangan dan kemiskinan pada masa Orde Baru, khususnya petani sudah berusaha diperjuangkan oleh Pemerintah melalui perkebunan Inti rakyat (PIR) untuk kebun sawit dan karet, yang cukup berhasil di Sumatera & Kalimantan, PIR tambak udang di NTB dan Lampung serta Papua. Namun baru menjangkau maksimal 5 juta jiwa. Untuk petani padi di Jawa melalui Intensifikasi pertanian, Irigasi, subsidi pupuk, operasi pasar stabilisasi harga hingga Kredit Usaha Tani. Dalam masa Habibie, Menkop UKM – Adi Sasono mencoba memutus tali lingkaran pembelenggu kemiskinan dengan penyediaan 17 skim kredit bagi petani, nelayan dan pedagang, memperoleh berbagai kritikan, cercaan dan bahkan fitnah & hadangan.

Kini, kemiskinan-keterbelakangan rakyat tidak terlindungi lagi: Tiada skim kredit Program Pemerintah yang memadai, Bank-bank enggan memberi KUT, Subsidi dihapuskan, Pasar persaingan beras, gula, gandum dibebaskan. Sialnya, untuk nelayan, Pemerintah lemah dalam perencanaan sistemik dalam pengolahan pasca panen / penangkapan ikan. Bahkan Fungsi Pemerintah yang diperankan BULOG justru menjadi kebocoran / korupsi dana Negara. Dalam skala nasional, kondisi keterbelakangan masih dibelenggu oleh kekuatan Internasional: Pasar, Modal, Teknologi dan Hambatan Non Tarrif. Jumlah pengangur 42 juta jiwa saja tidak memperoleh penanganan dan solusi bahkan usaha rakyat petani-nelayan-pedagang yang dapat menghidupi 160 juta jiwa saja dibiarkan terbengkalai dan dikhianati. Rakyat kita sudah terjebak bukan saja lingkaran setan, tetapi dalam Lubang Hitam Setan Kemiskinan ( Vicious Black Hole of Poverty) !!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar