Kamis, 13 Agustus 2009

BAGIAN KEDUA BAB VI : KEPEMIMPINAN NASIONAL


BAB VI
KEPEMIMPINAN NASIONAL
Pemimpin Nasional adalah Pemimpin Negara & Bangsa
yang Berjiwa Negarawan & Patriotik untuk Kemajuan Rakyatnya.

Bangsa Indonesia berangkat dari bangsa yang dijajah selama 350 tahun. Setelah merdeka, bangsa ini seolah masih terus berjuang melawan penindasan. Penjajahan telah berubah bentuk kedalam pemerasan pajak, penindasan dan pengingkaran yang diperankan oleh Elit Kekuasaan-Penguasaan (sebagai ganti Kolonial Belanda & Jepang). Sejarah perjalanan peradaban bangsa Indonesia menujukkan paradoksial: kita membutuhkan sistem peradaban untuk menghasilkan Wakil dan Pemimpin untuk membawa kemajuan rakyat, namun Wakil dan Pemimpin larut dalam arus deras penjajahan baru. Keadaan demikian menjadikan tanda tanya besar: kenapa kita seolah tidak mampu merubah keadaan diri kita yang terjajah. Mengapa wakil rakyat dan pemimpin rakyat berkecenderungan bertindak sebagai kepala penindasan atas bangsa sendiri. Mengingat korban penindasan melanda ratusan jutaan ummat manusia, apakah Tuhan YME menaruh perhatian dan ikut campur (concern) atas ummat ciptaanNya, padahal mayoritas kita adalah rakyat yang berAgama / ber Tuhan.

Mendasarkan pengalaman sejaarah masa lampau dari uraian Bab demi bab sebelumnya, sampailah kita pada kesimpulan: betapa maha penting nya kita membutuhkan Pemimpin yang berkualitas bagi terciptanya bangsa yang sejahtera, bermartabat dalam negara yang memiliki berperadaban maju. Namun demikian, untuk menemukan sosok Pemimpin yang berkualitas kita juga harus berkemampuan dalam menyeleksi dan memilih pemimpin tersebut. Dengan demikian tantangan yang kita hadapi adalah serangkaian kiprah nyata dari perumusan kualifikasi pemimpin kedepan didasarkan atas situasi-kondisi & tantangan, sistem koridor peran-kiprah pemimpin bagi bangsa-negara dan kebangkitan kesadaran dalam masyarakat untuk ikut menyeleksi dan memilih pemimpin yang memnuhi kriteria tersebut.

VI. A. KEBANGKITAN KESADARAN & TANTANGAN KEDEPAN

Hakekat rakyat yang terjajah yang menjadikan 160 juta ummat manusia Indonesia hidup dalam kondisi terbelakang-miskin, haruslah menimbulkan hasrat dan kebangkitan dengan tingkat kesadaran yang setinggi-tingginya untuk manata-membenahi sikap & peran dalam kehidupan bernegara dan berpolitik. Kesadaran tersebut khususnya dalam keterlibatan demokrasi dan pemilihan Pemimpin – untuk kepastian masa depan kita sendiri. Kebangkitan kesadaran nyata ini sangatlah penting mengingat pesan salah satu ayat suci Al-Qur’an: Tidaklah Tuhan akan mengubah nasib suatu kaum (ummat), kecuali kaum (ummat) itu sendiri yang hendak merubahnya. Ketentuan hukum Tuhan Sang Pencipta kita ini jelas menjadi semacam kaidah alamiah atas nasib rakyat: bahwa nasib bangsa atau rakyat akan berubah kearah perbaikan, kalau ada usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk memperjuangkan kearah perbaikan. Dengan demikian, usaha-usaha rakyat itulah yang memberi perubahan dan kepastian bagi kemajuan-kesejahteraan masa depan. Kesadaran demikian juga sangat menentukan dalam menyeleksi-memilih Pemimpin bagi masa depan, apakah dari hasil yang dapat dikelabui ataukah dari hasil kesadaran rasional dalam menentukan / memilih pemimpin yang berkualitas.

Mempelajari fluktuasi peradaban bangsa-negara Indonesia sejak jaman Orde Lama hingga kini, yang sangat ditentukan oleh kualitas Pemimpin dan kepemimpinan, kiranya bangsa ini memerlukan sistem koridor atau parameter yang disesuaikan atas situasi-kondisi dan tantangan kedepan dalam membangun ketangguhan sistem untuk meningkatkan kualitas peradaban kedepan. Mencermati akibat paradoks demokrasi kita telah menjadikan bangsa kita terkotak-kotak, wakil dan pemimpin lebih berperan/ berpihak pada golongannya, dan nasib besar rakyat diingkari yang hidup dalam kantong-kantong kemiskinan, maka sistem koridor yang utama bagi Pemimpin kedepan adalah sosok figur negarawan sejati yang kiprah-perannya adalah untuk negara dan segenap rakyat dengan koridor berikut:

KORIDOR MENDASAR:

SEORANG FIGUR PEMBAHARU UNTUK MENGATASI MASALAH dan TANTANGAN MENDASAR BANGSA, BERJIWA PEJUANG-PEMBELA BAGI KEPENTINGAN, ASPIRASI-KEPENTINGAN BANGSA dan NEGARA

Koridor mendasar, adalah pencarian, penseleksian dan pemilihan pada sesorang yang memiliki kualifikasi mendasar tersebut, yang memiliki implikasi berjiwa patriotik kepada Bangsa & Negara, memiliki kepemimpinan & kharisma yang kuat, berwatak (jujur, bersih, bijaksana & tegas), dan memiliki ketangguhan-ketahanan mental-fisik yang teruji.


KORIDOR SISTEMIK:

1. Pemimpin masa depan harus mampu memerankan diri dalam sistem kepemimpinan nasional dan negara yang tangguh sehingga Pemimpin berperan sebagai Negarawan tulen, bukan partisan atau mewakili suatu partai / golongan,
2. Bersama dan menyatukan rakyat sebagai satu bangsa yang menyeluruh untuk kemajuan, dengan segala kelebihan dan kelemahan,
3. Berkemampuan mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan manajemen Pemerintah dalam menjaga & mewujudkan amanah rakyat untuk kemajuan & kesejahteraan seluruh bangsa,
4. Merealisasikan keadilan sosial-ekonomi sebagai dasar fondasi yg kokoh dalam menapaki peradaban berikutnya secara berkelanjutan,
5. Mampu membangun dan menciptakan rasa keamanan serta kesejukan dalam bermasyarakat & bernegara, untuk tumbuh-berkembangnya kreatifitas-produktifitas rakyat.


Dua koridor diatas, yang mendasar adalah bersifat kepribadian figur dan yang kedua adalah koridor sistemik atas masalah & tantangan riil bangsa. Kedua koridor tersebut dapat kita telaah dan evaluasi kedalam sistem standar penilaian yang terukur – sehingga selanjutnya kita dapat merumuskan parameter-parameter dalam penseleksian guna pemilihan pemimpin. Desar pegangan utama dalam penetapan standar penilaian didasarkan pada sistem nilai kebaikan dengan tujuan pokok: mengemban amanat dan merealisasikan kemajuan & kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam menghadapi pesta demokrasi Pemilu yang dipenuhi paradoksial, kini muncul hasrat figur yang berkeinginan menjadi Pemimpin bangsa-negara Indonesia. Figur baru yang kini menonjol adalah kemunculan putra-putri para Pemimpin lama, yang sejatinya menampakkan terjadinya nepotisme baru untuk perebutan-pertarungan kekuasaan dalam kepemimpinan nasional. Kecenderungan perebutan kekuasaan demikian telah menjadi pentauan-pemusatan antara kelompok kepentingan yang memiliki dana besar, pengaruh pada rakyat dari orang tua masa lalu dan bahkan bagian kekuasaan dalam Birokrasi Pemerintah. sehingga kini berkecenderungan memunculkan polarisasi 3 kekuatan, yakni figur Soekarnoisme (diperankan Megawaty), figur Soehartoisme (diperankan Siti Hardijanti Rukmana) dan figur dari kelompok pembaharu atau reformis.

Sialnya, bagian terbesar rakyat kita mudah dikelabui oleh kekuatan figur tersebut yang mengusung pengaruh figur Bapaknya, dengan diperlicin politik uang – seolah sebagai solusi masa depan rakyat. Keadaan demikian haruslah kita imbangi dengan penyadaran yang serasional-rasionalnya: Bahwa Indonesia membutuhkan sistem koridor yang sistemik dalam memilih dan menentukan Pemimpin atas dasar Platform Perjuangan Kepemimpinan yang jelas, terukur dan berkemampuan dalam memajukan rakyat Indonesia secara adil dan sejahtera. Jangan sampai rakyat dikelabui seolah menemukan figur yang berbulu domba, tetapi berjiwa serigala-beruang-buaya yang menjadi pemusatan kelompok kepentingan penguasaan Indonesia yang hendak menyengsarakan rakyat Indonesia. Namun demikian, kalangan pembaharu (reformis) juga menghadapi masalah-tantangan dalam kiprahnya, yang pada hakikinya adalah rasa enak -nikmat dan keenakan setelah menduduki posisi elit kekuasaan, sehingga perjuangan reformasi (pembaharuan) seolah menunggu (penantian) sebentar untuk penikmatan rasa kepuasan para elit baru yang sedang menikmati zaman demokrasi yang paradoksial.

VI.B. TANTANGAN KEPIMPINAN NASIONAL PEMBAHARU

Kalangan kelompok reformis sangat berharap kiranya pemilu tahun 2004 dapat menjadi momentum perubahan kepemimpinan nasional, namun berbagai perkembangan nasional mengindikasikan bahwa terjadi penguatan kelompok status quo. Kecenderungan tersebut semakin kurang memiliki alasan yang kuat untuk memperkuat barisan mereka. Pertanyaanya, adalah bagaimana strategi untuk mengantisipasi perkembangan tersebut yakni antara lain dengan mendorong terbentuknya sebuah koalisi diantara kelompok reformis.

Terdapat sedikitnya dua masalah mendasar bagi siapa saja yang berniat menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, bagaimana menemukan sebuah resep yang ampuh untuk mendorong perwujudan koalisi tersebut, dan kedua adalah sejauhmana resep tersebut berhasil dilaksanakan dilapangan politik nasional kita yang semakin kompleks ini.

Meskipun asumsi yang dikemukakan tentang pertanyaan diatas perlu diuji kebenarannya melalui sebuah penelitian yang teruji, namun secara umum kita memang dihadapkan pada sejumlah gejala politik yang mendukung asumsi tersebut. Bila saja kita meradukan besarnya dukungan kepada kelompok status quo atau meningkatnya kerinduan masyarakat pada pola-pola lama, setidaknmya kita bisa memastikan bahwa memang reformasi kita menghadapi tantangan-2 yang sangat berat dan secara bersamaan terjadi pelemahan dalam barisan pendukung reformasi, baik secara aktual maupun potensial. Tentu saja gejala yang terakhir itu sangat mempengaruhi prospek perwujudan kepemimpinan nasional yang reformis.

IV.B.1. Permasalahan dan Tantangan

Kecenderungan kondisi diatas yakni menguatnya kekuatan status quo lebih disebabkan oleh lemahnya kekuatan reformasi. Tentu saja tersedia cukup banyak alasan apologetik bagi kaum reformis untuk membela diri atas kegagalan tersebut. Diantara alasan-alasan apologetik tersebut adalah reformasi yang dijalankan dalam suatu situasi dominan dekonstruktif meniscayakan banyak kelemahan-2 tarnsisional. Disamping itu, kita juga akan dapatkan kenyataan bahwa reformasi semakin berjarak dari momentum fitrahnya sebagai sebuah gerakan yang berbasiskan society dengan dukungan orisinal dari para pencetusnya.

Sebenanrnya secara umum gejala tersebut bisa dipahami dari sudut keniscayaan transformasi reformasi dari nilai-nilai menjadi agenda yang sistemik. Masalahnya mungkin menjadi sangat parah karena para pejuang reformasi menderita gejala arrived mentality yakni merasa sudah selesai dan berhasil pada tataran konsepsi dan konsolidasi reformasi sehingga bergegas menceburkan diri dalam sistem formal untuk membuat desain-desain struktural yang aplikatif. Ketergesaan tersebut membuat mereka lupa merawat hubungannya dengan sumber-sumber reformasi yang berbasiskan society. Padahal hanya dari sumber-2 tersebutlah nilai-nilai dan aspirasi reformasi memancar dalam jati dirinya yang fitrah. Dari sumber itulah reformasi telah menghadiahkan mereka enerji kemenangan atas kekuatan status quo.

Agenda-2 reformasi yang telah structure heavy tersebut ditampilkan kembali dalam kemasan parta-partai yang sarat dengan muatan-2 partisanship dan klen. Agenda reformasi tidak lagi hadir sebagai suatu kekuatan kekuatan reformasi, tetai sebaliknya justru hadir adalah kekuatan-2 reformasi yang berpencar dengan agenda reformasinya sendiri-sendiri. Gejala tersebut terlihat antara laindalam sikap mereka mengadapi issue kepemimpinan nasional dalam even pemilu 2004. Hampir semua partai untuk tidak mengatakan seluruhnya, menempatkan masalah kepemimpinan nasional sebagai agenda paska pemilu legislatif. Artinya mereka lebih melihatnya sebagai masalah power sharing diantara parpol ketimbang msalah prospek perwujudan sebuah kepemimpinan nasional yang reformis, Agenda reformasi menyangkut kepemimpinan dengan demikian telah disandera oleh ego perlombaan kekuasaan dalam kemasan partai-partai.

Sikap seperti itulah yang telah memberi celah bagi bangkitnya kekuatan status quo untuk mensiasati pemilu legislaltif berada dalam domain irama persengkokolan mereka sebagai persiapan dan pijakan efektif untuk mendeterminasi keunggulan mereka dalam pemilu presiden dan wakil presiden. Pergeseran gravitasi pemilu legislatif kedalam playing field kelompok status quo itulah yang kemudian memberi sinyal kuat, yang antara lain ditangkap oleh kelompok reformis di parpol tertentu, bahwa terjadi penguatan potensi arus balik kemenangan bagi kelompok status quo dalam pembentukan kepemimpinan nasional nanti. Kemmapuan kelompok status quo tersebut tentu saja sangat ditunjang oleh mainstream aspirasi masyarakat yang bersifat elementer yang selama ini nampaknya gagal dipenuhi oleh kekuatan reformasi.

Situasi nasional yang deconstructive heavy sebagai hasil dari implikasi reformasi, memberi ruang bagi berkembangnya antusiasme masyarakat luas untuk memiliki peluang partisipasi sebesar-besarnya. Partai-partai reformis nampaknya kurang memberikan sinyal kuat yang meyakinkan bahwa gagasan-gagasan cerdas reformis yang mereka usung memberi tempat untuk suatu bentuk partisipasi yang pluralistik. Inklusivesime yang mereka kembangkan masih dilihat bersifat simbolik politik sehingga terasa kurang orisinal. Secara lebih spesifik mungkin bisa dikatakan bahwa watak inklusivisme mereka, khsuusnya parpol yang berlatar belakang dari sistem agama mereka. Kelompok reformis yang berlatar belakang keagamaan dianggap masih mencampur-adukkan secara acak agenda-agenda keagamaan yang ekslusif dan subyektif dengan agenda-agenda reformasi yang inklusif dan obyektif yang menjadi kebutuhan bangsa ini secara menyeluruh. Padahal keberhasilan kepemimpinan nasional yang reformis bukan hanya bertumpu pada kecerdasan perumusan agenda reformasi tetapi pada jaminan perluasan partisipasi dalam suatu bentuk kepemimpinan yang berbasiskan inklusifisme dan memberikan solusi atas masalah-masalah riil yang dihadapi bangsa ini.

Tumpang tindihnya agenda reformasi tersebut mungkin bisa menjelaskan gejala melemahnya dukungan publik yang bersifat massal kepada kelompok reformis. Kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan status quo untuk mendorong penerimaan mereka oleh publik sehingga memberi kesan kuat atas kebrhasilan kebangkitan mereka.

IV.B.2. LANGKAH-LANGKAH KEDEPAN

Tentu saja sangat terlambat untuk membicarakan kemungkinan lahirnya sebuah koalisi yang efektif dengan memanfaatkan momentum pemilu legislatif . Setiap formula yang mungkin berhasil dirumuskan pasti sarat dengan penyederhanaan masalah yang relatif terhadap kompleksitas politik yang dihadapi bangsa kini.

Kekuatan reformis harus menggunakan waktu sisa yang tersedia untuk secara berhasil menggeser gravitasi pemilu legislaltif berada dalam playing fioeld reformasi. Mengingat bahwa kelemahan pendekatan pengusungan agenda reformasi selama ini adalah karena pengotak-kotakannya dalam kemasan partai maka kepemimpinan partai perlu membuat pendekatan dianatar sesamanya sebagai kekuatan society, dimana partai hanyalah sebagai implikasi formal dari proses demokratisasi. Dengan penampilan yang memberi tekanan pada substansi tersebut, mereka bisa menghadirkan agenda-agenda reformasi dalam keadaanya yang generic. Agenda reformasi yang generic tersebut bisa menjadi platform bersama mereka untuk membangun sebuah koalisi generic yang dapat berperan menggeser pemilu legislaltif 2009 kedalam playing field mereka. Koalisi generic diharapkan mampu meyakinkan public nasional bahwa mereka adalah kekuatan moral nasinal yang inklusif dan sangat reliable dalam mengusung reformasi nasional secara berhasil. Agenda-agenda reformasi yang mereka usung adalah yang kompatibel dengan kebutuhan riil-obyektif yang dihadapi bangsa ini.

Sangat mungkin untuk mempertimbangkan agenda-agenda tersebut harus fokus pada tiga masalah mendasar, yakni : Moral, Ekonomi dan Sosial. Di bidang moral mereka harus memperjelas visi mereka atas pengembangan budaya nasional yang menjamin sistem keyainan dalam ruang public yang pluralistik, baik dalam pengertian universal maupun particular. Juga mereka harus menyepakati suatu model pendekatan pemberantasan KKN dan lain-lain. Di bidang ekonomi mereka harus memiliki sikap yang jelas terhadap iklim usaha nasional, terutama juga pembelaan terhadap pelaku ekonomi nasional. Sementara di bidang sosial mereka harus memberikan sinyal yang kuat akan perhatian mereka terhadap masalah penangguran dan kemerosotan kualitas sdm nasional. Juga bagaimana bentuk affirmatif action yang dapat menyelematkan kelompok mustadhafin.

Keberhasilan tersebut tentu saja akan memberi sinyal kuat bagi masyarakat pemilih di tanah air untuk memberikan pilihan suara lebih banyak pada kelompok mereka. Diharapkan, dengan demikian kekuatan reformasi berhasil mendeterminasi keunggulan mereka dalam perwujudan kepemimpinan nasional yang reformis. Insya Allah. Amien.

VI.C. KUALIFIKASI PEMIMPIN MASA DEPAN

Tantangan peradaban Indonesia dalam proses demokrasi kini, adalah pencarian dan pemilihan Pemimpin nasional bagi bangsa dan negara yang mampu memberikan solusi atas masalah-tantangan dan selanjutnya membawa kemajuan Indonesia kedepan. Terpilihnya Pemimpin yang ideal inilah yang perlu kita perjuangkan dengan kesadaran penuh secara bersama-sama, kalau kita menghendaki perubahan yang pasti menuju perbaikan seluruh rakyat. Menjelang dan memasuki fase pemilihan Pemimpin (Presiden) saat ini yang melalui proses demokrasi yang paradoksial, kita dihadapkan tantangan berupa persaingan dan pertarungan calon-calon pemimpin yang berkeinginan untuk menjadi presiden. Persaingan – pertarungan pucuk elit pemimpin bagi Indonesia dalam situasi transisi kini, pastilah mumunculkan polarisasi berupa pengerucutan aliansi-koalisi berbagai kekuatan, baik dari dalam maupun luar negeri yang memiliki kepentingan – penguasaan terhadap Indonesia. Adanya polarisasi demikian, menjadikan masalah dan tantangan kita dalam menyeleksi dan memilih pemimpin semakin besar, kompleks dan rumit.

Untuk dapat memperoleh standard kualifikasi yang ideal sebagai pegangan dalam memilih Pemimpin Indonesia kedepan, kiranya perlu kita kaji tipologi tantang trend polarisasi kekuatan-kepentingan yang menjadi basis kekuatan untuk mencalonkan figur yang berkeinginan menduduki tampuk Pemimpin nasional dalam uraian berikut:

1. Kubu (blok) kekuatan para elemen rakyat dan bangsa yang mendasarkan pilhan Pemimpin pada platform visi yang ideal dan jelas dalam memimpin dan membangun Indonesia, untuk sebesar-besarnya keadilan, kemakmuran dan kemajuan rakyat dan negara Indonesia. (disebut blok Pembaharu & ideologis). Dalam blok pembaharu, menghadapi maslaah-tantangan internal sebagaimana dijelaskan dalam sub Bab VI.B., yang kini terpecah-pecah, dan sangat mungkin diperlemah dan membelot kedalam blok pragmatis-kepentingan.

2. Kubu (blok) kekuatan para elemen rakyat dan bangsa yang mendasarkan pilhan Pemimpin pada platform visi dengan mengandalkan pengaruh-kekuatan dari para pemimpin sebelumnya. Platform tujuan dalam memimpin dan membangun Indonesia, tidak memberikan gambaran yang tegas dan jelas arah kedepan, dengan jargon-sasaran yang bersifat pemenuhan keinginan-aspirasi rakyat miskin-terbelakang untuk kebutuhan dasar (basic needs) seperti kecukupan pangan, rasa aman dan papan.(blok pragmatis kekuasaan). Dalam blok ini, terjadi dua kubu kekuatan putri mantan presiden Soekarno dan putri mantan presiden Soeharto. Kekuatan ideologis dalam blok pragmatis kekuasaan ini sudah hilang. Penggunaan lambang presiden terdahulu hanyalah eksploitasi simbol-simbol untuk menarik pengaruh para pengikutnya. Dalam Blok ini menjadi tumpuan bergaia kepentingan khususnya yang pernah memperoleh dukungan riil dalam usaha, dan mantan para pejabat bahkan berbagai pihak yang pernah menikmati KKN.

3. Blok kekuatan yang memiliki basis massa tradisional dengan pemimpin karismatis dan aliansi dengan figur dari golongan menengah, yang mendasarkan pada platform visi-tujuan yang tidak memberikan gambaran yang tegas arah Indonesia kedepan, dengan jargon-sasaran yang bersifat ketentraman, harmonisasi sosial, stabilisasi keamanan, pemenuhan keinginan-aspirasi rakyat miskin-terbelakang untuk kebutuhan dasar (basic needs) seperti kecukupan pangan, rasa aman dan papan. (blok pragmatis nasional). Blok kekuatan pragmatis nasional memperoleh dukungan dan menjadi tumpuan kepentingan kekuatan luar, khususnya poros AS dan blok Barat dalam menjaga kepentingan yang besar bagi Indonesia.


Tiga polarisasi kekuatan-kepentingan diatas, pada akhirnya akan memunculkan kandidat calon presiden Indonesia, yang mungkin tidak ideal atau tidak memenuhi kualifikasi bagi Indonesia kedepan – namun dengan dukungan berbagai kepentingan konstituennya, mampu mempengaruhi massa rakyat dan memilihnya. Meskipun platform visi sebagai pemimpin sangat minim dan kepemimpinannya tidak akan memberi solusi atas masalah-tantangan Indonesia kedepan – bahkan bisa menjadi berlawanan. Menyadari kemungkinan munculnya pemimpin yang tidak akan bisa menjawab solusi masalah-tantangan, apalagi membangun kemajuan-keadilan dan kejayaan Indonesia, maka menjadi kewajiban kita menetapkan kualifikasi calon pemimpin ideal yang dapat dijadikan pegangan dalam pencalonan dan pemilihan bagi rakyat – sehingga rakyat tidak akan dikelabui dan dikhianati. Kiranya, kualifikasi para pemimpin untuk Indonesia kedepan perlu didasarkan pada aspek kerpibadian dasar, kemampuan, ketangguhan-keberanian dan kekuatan dalam kepemimpinan, yang secara ringkas disampaikan berikut:

A. KUALIFIKASI DASAR:

1. FISIK : Sehat Jasmani dan Rohani,
2. MORAL-KEPRIBADIAN : Jujur dan Bijaksana,
3. BERJIWA NEGARAWAN, senantiasa memegang Amanah Rakyat dan bersikap Adil pada segenap bangsa.

B. KUALIFIKASI KEMAMPUAN:

1. MEMILIKI VISI DALAM KEPEMIMPINAN yang dapat diuji secara terukur dalam penilaian tentang kejelasan Pengetahuan dan Kepemimpinannya dalam membangun Indonesia kedepan, mengatasi masalah, membawa keadilan dan kemajuan , dalam jangka pendek-menengah dan panjang. Dalam Visi calon ini dapat kita nilai bagaimana Janji (komitmen) nya terhadap rakyat mayoritas yang hidup miskin-terbelakang.

2. TEGAS & BERANI, memiliki ketegasan dalam kepemimpinan, koordinasi, konsolidasi dan perintah, dan berani mengambil sikap dalam pemihakan pada rakyat (bangsa) dan berani dalam penanganan-penuntasan masalah berbagai kasus pelanggaran KKN masa lalu dan pada masa kepemimpinan mendatang, yang tertuang dalam Visi-Misi dalam Kepemimpinan.

3. Memiliki PENGALAMAN dan KETANGGUHAN - KETEGUHAN dalam Kepemimpinan, sehingga sikap dan keputusan serta kepemimpinannya teruji dan dapat efektif berjalan.

Dalam menghadapi masa pencalonan dan pemilihan Pemimpin langsung mendatang, kita dihadapkan situasi dan keadaan yang penuh polemik dan juga paradoksial, akibat sistem pencalonan oleh aliansi (koalisi) kekuatan prapol, yang niscaya hendak mencalonkan pimpinan parpol, yang mungkin hanya akan memenuhi sebagian kualifikasi mendasar. Oleh karenanya, demi untuk kejayaan Indonesia kedepan, dari berbagai alternatif calon pemimpin yang benar-benar mampu merealisasikan keadilan dan kemajuan bagi mayoritas rakyat Indonesia, maka sikap terbaik adalah pilihan pada Pemimpin dengan dasar kaidah Pilihan Calon Pemimpin yang paling optimal akan membawa keadilan-kemajuan rakyat Indonesia, bukan pemimpin yang hendak menjadi tumpuan berbagai kepentingan & kekuatan untuk menguasai Indonesia dan menindas-memiskinkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia.

Dalam menyongsong terpilihnya pemimpin yang idel / optimal bagi bangsa dan negara, maka sekali lagi kebangkitan kesadaran kaum generasi muda, khsusnya kaum menengah, mahasiswa, profesional dan pengusaha muda sangat kita harapkan dengan peran aktif melakukan penilaian secara terukur atas para kandidiat pemimpin dan selanjutnya dukungan penyadaran kepada rakyat secara meluas atas Pemimpin terbaik menurut penilaian yang obyektif tersebut. Selanjutnya, parameter yang dapat kita jadikan standar penilaian adalah sistem nilai kebaikan-keburukan dan evaluasi obyektif atas kelemahan-kelebihan serta kemungkinan yang hendak terjadi pada calon pemimpin tersebut.

VI.D. PARTISIPASI dan KONTROL ATAS KEPEMIMPINAN

Seandainya, pemilihan umum Presiden & Wakil Presiden secara langsung dapat berhasil kita laksanakan, maka peradaban demokrasi kita fase baru yang melahirkan seorang Pemimpin Nasional yang memiliki legitimasi sangat kuat. Presiden-Wakil Presiden akan sangat sulit dan bahkan tidak dapat dijatuhkan oleh Legislatif (DPR), kecuali melalui Referendum nasional. Kekuatan atas kekuasaan pemimpin nasional yang dipegang Presiden hasil demokrasi pemilu langsung, haruslah menyadarkan kita untuk tetap menjaga Amanat yang telah diberikan rakyat, selain kepada Wakil Legislatif juga kepada Pemimipin Nasional. Pengalaman sejarah peradaban Indonesia sejak kemerdekaan 1945 hingga kini, haruslah membuat kita senantiasa sadar untuk membangun kekuatan kontrol atau oposisi serta kebangkitan untuk partisipasi dalam proses kepemimpinan melaksanakan pembangunan nasional. Dua kesadaran peran harus sejalan dan seimbang kita bangkitkan pada rakyat luas dalam menjaga amanat yang telah diberikan, dan kesadaran penuh bahwa dengan partisipasi memberi peluang dan memungkinkan besar perubahan ke arah perbaikan nasib kemiskinan-keterbelakangan rakyat luas.

Partisipasi rakyat, adalah penyiapan diri segenap rakyat dalam kehidupan nyata yang dituntut memperoleh sumber penghidupan dari berusaha – yang menjadi faktor dominan (lebih 80%) hakiki kehidupan peradaban setiap bangsa, yakni kegiatan usaha dunia atau kegiatan usaha ekonomi. Apalagi mempertimbangkan mayoritas rakyat kita yang kini dalam keadaan kemiskinan-keterbelakangan, dan situasi persaingan yang makin ketat serta peran Pemerintah yang kian mengecil, maka usaha-usaha kreatif dan produktif harus kita upayakan memperoleh respon dan kesempatan dalam proses kepemimpinan pembangunan nasional. Hal demikian juga dapat berfungsi sebagai bahan masukan dan evaluasi, dalam menilai tingkat pemenuhan janji / komitmen pemimpin dalam memegang amanat yang telah diberikan oleh rakyat.

Sedang kontrol, yang selama ini secara dominan kita percayakan kepada perwakilan (DPR/DPRD) atau sistem kontrol kenegaraan (BPK, Irjen, Inspektorat) yang kurang bisa dalam menjaga tingkat amanat Pemimpin pada rakyat, bahkan sebagian besar melakukan Kolusi dalam pengingkaran, maka kebangkitan Kontrol dalam rakyat harus menjadi Kebangkitan Baru untuk Indonesia kedepan. Kontrol ekstra Parlementer / Perwakilan yang efektif sudah saatnya kita galang dan kita bangun dalam mengawal proses kepemimpinan nasional secara cerdas, kreatif, dan luas sehingga mampu memperoleh penguatan dari rakyat. Agenda-agenda kontrol yang memiliki urgensi untuk Indonesia kedepan meliputi:


1. Kontrol atas Strategi-Kebijakan kepemimpinan nasional dalam sistem Kepemerintahan yang meliputi hal mendasar berikut :

a) Evaluasi & penilaian Kepemimpinan dalam menjalankan paltform Visi-Misi yang telah ditetapkan sebagai komitmen,
b) Evaluasi & penilaian Kepemimpinan apakah Strategi-Kebijakan memberikan perlindungan dan memberikan iklim yang kondusif dan keamanan-kenyamanan bagi rakyat luas dalam melepaskan kemiskinan dan keterbelakangan untuk kemajuan kedepan,
c) Evaluasi-penilaian Kepemimpinan dalam agenda strategi-kebijakannya sesuai dengan prioritas pengatasan masalah kronis nasional.

2. Kontrol atas sistem dan kinerja Kepemerintahan dalam bidang sumber-sumber penghasilan dan keuangan negara (devisa nasional) , yang menjadi sumber kebocoran secara sistematis ssebagaimana diuraikan dalam Bab II dan Bab III, yang meliputi : Sumber Migas, Pajak, Kelautan, Tambang dan Kehutanan. Dalam aspek ini, termasuk revaluasi atas perjanjian kontrak kerjasama bagi hasil antara Indonesia dengan perusahaan asing yang telah disetujui rezim sebelumnya.
3. Kontrol atas sistem Perencanaan-Alokasi dana nasional, untuk menilai apakah sesuai dengan pengatasan masalah dan prioritas alokasi serta sistem penangkalan Kebocorannya,
4. Kinerja pengggunaan dana nasional untuk Pembangunan dan Belanja Rutin yang menjadi salah satu kebocoran dan beban Negara selama ini,
5. Kontrol atas sistem penggunaan devisa nasional, dana Pemerintah di BUMN, untuk pendeteksian dini kebocoran dan evaluasi untuk peningkatan kinerja penggunaannya.
6. Kontrol atas tindakan Penyimpangan dan KKN yang mungkin dilakukan oleh sistem Kepemerintahan baru, yang menjadi sumber masalah bangsa-negara,
7. Kontrol dan evaluasi atas aparat negara (pegawai negeri) atas kinerjanya dalam pelayanan kepada masyarakat,

Memperhatikan betapa luas dan besarnya lingkup kekuasaan Pemimin Nasional dalam Kepemerintahan dan Pembangunan nasional, mendorong kita untuk membangun sistem kontrol yang cerdas dan mandiri. Tiadanya perimbangan sistem kontrol alternatif yang berimbang dalam peradaban kita selama ini, menjadi sumber masalah dan malapetaka besar bagi bangsa: seolah Elit kekuasaan kita beri Cheque Kosong untuk diisi sendiri berapapun nilai korupsi dan penyimpangan. Kebocoran sumber-sumber nasional dan korupsi yang masih berlangsung hingga kini yang mencapai nilai lebih Rp. 500 triliun setiap tahun adalah kelalaian kita yang menjadi peluang maling bagi elit kekuasaaan, dan seharusnyalah membangkitkan kesadaran kita untuk berkiprah nyata dalam mengontrol amanat yang kita berikan kepada Pemimpin beserta jajaran elit kekuasaan dari Menteri hingga jajaran bawahannya.

Khusus bagi golongan generasi muda di lingkungan kampus, khususnya mahasiswa, yang menjadi kekuatan kontrol Pemimpin/Pemerintah hingga kini- perlu melakukan konsolidasi dan revaluasi untuk menggalang kebangkitan kesadaran dalam melakukan kontrol pada Pemimpin dan Kepemimpinan. Tujuannya adalah menemukan perumusan sistem kontrol yang dapat diperankan secara terus-menerus, sistemik dan mampu menjangkau skope masalah & daerah yang luas yang dapat didasarkan dan menjadi kekuatan jurusan/akademic yang menjadi wilayah studi berikut:

1. Secara prinsipil-substansi perjuangan, Kampus adalah sumber-2 kesadaran dan gerakan untuk untuk Perubahan (Reformasi), yang telah terbukti dalam sejarah tumbangnya Rezim di Indonesia. Kesadaran rasional yang terumuskan dalam berbagai penyimpangan Rezim berkuasa, dan perumusan agenda Pembaharuan (Reformasi), kini memberikan respon yang paradoksial (berlawanan atas nilai luhur / ideal) dalam realisasi proses demokrasi dan dalam masyarakat. Keinginan luhur praktek demokrasi yang sehat dan terbebas dari politik uang kini justru menjadi praktek serentak oleh seluruh pengikut agenda Pemilu 2004. Tumbangnya rezim Soeharto yang seolah berjalan pararel dengan tumbangnya Orde Baru, kini memunculkan keinginan kerinduan sebagian masyarakat atas situasi-kinerja yang telah ditorehkan Orde Baru. Ringkasnya, agenda pembaharuan (reformasi) yang ditandai dengan pelaksanaan demokrasi yang bersih, telah dijalankan oleh para Partai Politik beserta para kadernya yang paradoksial dengan hakekat-semangat reformasi. Dunia kampus harus menyadari adanya missing-link antara agenda reformasi dan pasca-pelaksanaan demokrasi yang sejatinya untuk perubahan kearah perbaikan.

2. Sistem dan peran kontrol sudah saatnya dibangun secara mandiri, sehingga memiliki kemanidiran dan independensi dalam melaksanakan kontrol. Kemandirian kiprah dan perannya sudah saatnya dibiayai oleh sumber dari rakyat (Alumni, masyarakat pengusaha, masyarakat dll) dengan membuka atau melalui dompet / sumbangan / rekening guna membiayai kiprah Peran Kontrol mahasiswa terhadap Kepemimpinan Pemerintahan atau Kontrol untuk Kejayaan Peradaban Indonesia. Kiprah dan aktifitas mahasiswa selama ini yang senantiasa dilanda kesulitan dana / operasional, haruslah menemukan rumusan cerdas dalam mebiayai diri sendiri dalam sistem manajemen yang harus dibangun, sekaligus sebagai bukti sebelum terjun langsung dalam masyarakat.

3. Kiprah, peran dan gerakan mahasiswa selama ini senantiasa dihitung / diukur dengan jumlah massa mahasiswa yang terjun kejalan, harus memperoleh revaluasi dan perumusan kembali dengan orientasi pada ketajaman wilayah kontrol, penyimpangan, besaran, pelaku dan jaringannya – yang seterusnya diperkuat dan diperluas dengan jaringan media massa, antar universitas dan jaringan yang menukik pada Pemimpin Nasional atau Lembaga DPR/D / Institusi pengawasan. Para mahasiswa seharusnyalah mengambil pegangan dari kaidah rumus Einstein yakni E=MC2 yang maknanya, E adalah Energi (bisa hasil) dapat diperoleh dengan kuantitas/ volume yang sangat besar dari perkalian M (massa, bisa modal atau biaya) dengan C kuadrat (kecepatan cahaya pangkat dua). Dengan rumus ini, meskipun modal / biaya kecil / jumlah mahasiswa sedikit, tetapi apabila didukung oleh kecerdasan dengan jaringan akses luas & kecepatan yang tinggi, niscaya akan mendatangkan hasil yang cukup besar.

Rabu, 12 Agustus 2009

BAGIAN KEDUA BAB V: PEMBANGUNAN DEMOKRASI



Demokrasi berasal dari kata demos-kratos, yang artinya kedaulatan rakyat. Demokrasi muncul sebagai penumbangan sistem kerajaan (Teokrasi) dimana kekuasaan (kedaulatan) ditangan raja dan akan diturunkan seterusnya pada keturunan (anak) atau ahli waris yang sah. Demokrasi muncul dan bangkit sebagai reaksi pengkhianatan para raja dan kalangan dekat kerajaan pada rakyat yang ditindas, dipajakin, membayar upeti, dirampas tanah bahkan hingga anak dan isteri. Raja memegang hak kekuasaan atas tanah, rakyat dan kekayaan seluruh kerajaan. Demokrasi, harus diakui sebagai sistem yang maha penting bagi pencercahan peradaban ummat manusia – yang dimulai di Eropa pada Abad 17, dengan tumbangnya teokrasi di Perancis (Revolusi Perancis), Italia ( , Jerman (tumbangnya Kekaisaran), Iran (Revolusi Iran). Kini teokrasi masih menyisakan di Inggeris, Belanda dan Monaco namun hanya sebatas simbol tradisi yang sudah dilepaskan kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat – yang kini dipegang Perdana Meneteri sebagai pemimpin Pemerintahan & Negara dan Parlemen.

Sejarah proses perjalanan peradaban demokrasi, membutuhkan waktu yang panjang dan melalui peperangan sipil antar rakyat dan perang rakyat dengan pasukan kerajaan, berlangsung hingga 200 tahun lebih dengan korban ratusan ribu jiwa. Sehingga, masyarakat Eropa bisa memahami , menyadari dan menerima arti perbedaan pendapat-aspirasi yang berkembang dalam masyarakat. Kemudian demokrasi, sudah mulai menemui kematangan sebagai kedaulatan rakyat yang ditentukan melalui pilihan & kehendak mayoritas rakyat - melalui pemungutan suara, baik untuk memilih Pemimpin maupun memilih anggota Parlemen.

Kini kembali ke Indonesia, sejak kemerdekaan hingga kini demokrasi masih mengalami proses yang belum mencapai kematangan diri- pada hakiki bahwa kekuasaan-kedaulatan di tangan rakyat dan untuk kemajuan-kesejahteraan rakyat.. Apakah demokrasi kita langsungkan secara alamiah yang penuh paradoksial atau akan kita perlu melakukan usaha rasional berdasar kaidah tatanilai kebaikan untuk Demokrasi yang optimal bagi Indonesia ?. Belajar dari pengalaman sejarah masa Orde Lama hingga kini, dan resiko praktek demokrasi yang dapat berjalan secara paradoksial yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri dan bahkan membawa ancaman ketidak pastian-kehancuran rakyat & negara Indonesia kedepan, tiada kesalahan seseorang menyampaikan pemikiran rasional atas penyusunan visi demokrasi yang pada hakekatnya adalah :

a. Untuk mengembalikan kedaulatan kekuasaan negara ditangan rakyat dan dikontrol rakyat,
b. Untuk menciptakan kepastian kemajuan & kesejahteraan mayoritas rakyat masa depan,
c. Untuk menciptakan rasa aman dan kematangan proses kemajuan peradaban bangsa-negara.

Dasar pertimbangan yang perlu kita sadari adalah tercapainya hekekat demokrasi bagi kemajuan bangsa-negara dalam jangka panjang, sehingga penulis menetapkan prinsip optimal sebagai kaidah dalam pemikiran, daripada penempatan prinsip ideal namun pelaksanaannya berlawanan (pengingkaran).

V.A. Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Pemikiran untuk membangun demokrasi yang optimal, yang diharapkan mampu memenuhi 3 hakekat tujuan-sasaran demokrasi diatas, kedaulatan ditangan & dikontrol rakyat – mampu menciptakan kepastian kemajuan-kesejahteraan masa depan dan menciptakan rasa aman untuk kemajuan peradaban bangsa-negara, adalah didasarkan pada faktor-faktor dinamis berikut :

1.Kondisi sosial-ekonomi rakyat Indonesia terkini, miskin & terbelakang,
2.Demokrasi sosial-politik-ekonomi yang berjalan paradoksial dan pengingkaran elit kekuasaan,
3.Negara-bangsa yang terancam dalam jebakan & penguasaan global, modal, aliansi internasional negara-2 maju poros AS dan keunggulan persenjataan,

Kondisi sosial-ekonomi miskin-terbelakang yang melanda mayoritas rakyat Indonesia mudah dimobilisir – dikelabui – ditipu – dimanipulasi oleh berbagai faktor yang dilakukan dan diperanakan oleh elit dengan kekuatan modal serta eksploitasi pengaruh-simbol-2 nya. Tokoh karismatis, tokoh keturunan simbol Soekarno-Soeharto, simbol-2 agama kini dieksploitasi untuk menentukan pilihan dalam kaidah demokrasi-memilih langsung. Munculnya varian baru dengan tonggak kekuatan lama ini sangat mengejutkan dan membuat gentar pada kalangan reformis. Antitesa runtuhnya kekuatan-kekuasaan lama, diperbaharui hipotesa reformasi dan selanjutnya dikembalikan pada sistem demokrasi dengan dasar kedaulatan rakyat, justru membangkitkan berbagai kekuatan lama dengan muka baru yang lebih hebat.

Ditengah lautan rakyat mayoritas yang miskin, perluasan pengaruh dilakukan dengan parade kampanye berupa kunjungan ke kantong-kantong rakyat miskin (pedagang asongan, petani, buruh, nelayan dlsb) yang dilakukan oleh putra-putri mantan Preside terdahulu. Rakyat berduyun-duyun menghadiri figur putra-putri yang menghilangkan kesadaran rasional mereka: bagaiman sistem & platform figur tersebut membangun dan memajukan mereka. Demikian pula yang dilakukan oleh para tokoh-2 Agama kharismatis, yang senantiasa mempergunakan ayat-ayat suci dan prinsip syariah agama sebagai kewajiban pada santri-rakyat pengaruh. Mereka seolah terlepas rasionalitas apa yang menjadi faktor nyta kekuatan yang seharusnya menjadi dasar pengaruh dan pilihan atas dasar :

a.Platform Visi & Konsep membangun bangsa-negara,
b.Sistem & mekanisme Kepemimpinan dan Negarawan,
c.Sistem & mekanisme kontrol-pengawasan,

Kelemahan mendasar rakyat secara sosial-ekonomi yang melanda mayoritas ini memudahkan pengelabuan dan memudahkan rakyat memilih dan memberikan mandat kepercayaan dengan imbalan jangka pendek (uang recehan). Bahkan dengan jargon-2 yang sangat sederhana yang menyesatkan masa depan, seperti yang penting bisa makan & mudah memperoleh beras. Proses pembodohan-manipulasi yang hanya akan merendahkan dan menindas rakyat ini sudah harus kita akhiri dengan kabangkitan kesadaran kaum menengah yang menggalang dan mengoganisikan diri. Sebab, pada kaum menengah ini memiliki dasar-2 yang mencukupi, seperti intelektual, kesadaran, pemahaman, kemampuan organisasi yang sangat penting bagi fondasi kebangkitan kesadaran untuk membangun kedaulatan rakyat mayoritas. Namun demikian, muncul dan bangkitnya pengorganisasian kaum menengah juga membuka peluang pada penyusupan dan kolaborasi dengan kekuatan lama, sehingga peletakan & penerapan tata-nilai perjuangan atas dasar kebaikan dapat menjadi faktor penyaring (filter) mencegah pembelokan dan menjaga konsistensi dalam pelaksanaan kebangitan.

Menyikapi kondisi riial diatas dan kiprah pemain lama, bagaimanakah agenda pembangunan demokrasi yang optimal yang dapat kita jalankan ?

V.B. MEMBANGUN DEMOKRASI YANG OPTIMAL

Agenda demokrasi yang utama adalah Pemilu, yang diperankan oleh parpol-2 yang telah memperoleh pengesahan dari KPU meliputi 24 parpol. Berbagai kekuatan lama, Orla dan Orba muncul kembali. Generasi muda dan kekuatan baru juga muncul, yang diisi oleh orang-orang lama atau kekuatan lama dengan memasang orang / wajah-2 baru. Kiranya ada 3 alternatif langkah yang perlu perlu kita pertimbangkan dalam mengawal-membangun demokrasi dan menjaga-mengawasi kedaulatan rakyat yang kita percayakan sbb:

1. Apabila demokrasi yang merupakan proses dari sistem yang penuh paradoksial ini berjalan lancar, berarti telah terlahir anggota dewan dan lembaga perwakilan dari proses yang realitasnya bersumber dari pelaksanaan kaidah keburukan - meskipun secara formal hukum Pemilihan Umum telah Legitimate. Proses selanjutnya, agenda pemilihan Pemimpin Nasional tidak terlepas dari i sebuah proses paradoksial yang sarat dengan kerjasama aliansi antar parpol untuk pemenangan Presiden & Wakil. Keniscayaan yang muncul dalam prinsip aliansi ini adalah Bagaimana memenangkan pemilihan Presiden-Wakil secara langsung. Seandainya saja, jika kedua proses Pemilu anggota Legislaltif dan Presiden-Wakil ini berjalan lancar-meskipun reallitasnya dikotori oleh praktek yang bertentangan dengan kaidah luhur demokrasi, maka yang harus tetap dilakukan rakyat adalah :

• Penguatan peran kontrol & pengawasan rakyat secara aktif dan sistematis pada proses perjalanan Legislatif dan Pemimpin dalam Memimpin Pemerintah & Negara, Mengelola Negara dan Membangun kemajuan-kesejahteraan bangsa,

• Melakukan evaluasi atas kiprah peran dan kinerja serta pertanggung jawaban Pemerintahan sebelumnya: khususnya dalam hal penjualan asset negara dibawah BUMN – yang sarat dengan kepentingan kelompok dan idak melibatkan rakyat sebagai pemilik utama,

• Penyaringan & pembersihan unsur dan praktek yang mengotori / menodai kaidah luhur demokrasi sewaktu pemilihan, yang selanjutnya dapat menyaring para fungsionaris Parpol yang kotor, para wakil anggota DPR/D yang kotor, serta mendukung proses penyehatan & pembangunan parpol sebagai wadah aspirasi rakyat – sehingga memiliki martabat yang terhormat untuk lahirnya Negarawan yang sejati.

2. Dalam situasi apapun baik yang bersifat Darurat atau Transisi yang dapat terjadi akibat berbagai kemungkinan kegagalan dalam agenda Pemilu, maka penyelamatan bangsa-negara menjadi agenda yang maha penting untuk berlangsungnya peradaban bangsa-negara kedepan. Dalam situasi demikian, maka rakyat dan kaum menengah harus tetap gigih merumuskan platform aspirasi untuk memperjuangkan hakekat hak dan kepentingan mayoritas – khususnya dalam hal keadilan sosial-ekonomi dalam tujuan merubah-memperbaiki nasib keterbelakangan ekonomi-sosial – kearah keadilan & kemajuan yang menjadi hakiki tujuan dan sasaran pembangunan,

Kemungkinan dari kegagalan dari berbagai kemungkinan sebab: konflik horisontal, cacat demokrasi dan cacat hukum diatas, haruslah kita sikapi secara bijaksana demi untuk keselamatan peradaban, bangsa dan negara kita.

3.Mempertimbangkan Demokrasi yang kini berkembang & berjalan dipenuhi oleh praktek yang bertentangan (paradoksial):

(a) Tujuan mulia dan nilai luhur demokrasi memperoleh pengingkaran yang sarat pengotoran-konspirasi dan praktek uang,
(b) Amanat rakyat dari hasil demokrasi pada Wakil & Pimpinan (Negarawan) telah dijadikan lahan kepentingan elit dan golongan dengan KKN baru, sehingga Kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk memobilisir uang untuk memnangkan pertandingan demokrasi yang kotor dan mempertahankan kekuasaan berikutnya,

maka saatnya kita melakukan revaluasi dan koreksi atas Sistem Demokrasi yang optimal bagi Indonesia selanjutnya merumuskan dan membangun Sistem Demokrasi yang memiliki kehandalan dalam melahirkan negarawaran (Wakil dan Pimpinan) sejati untuk menyelamatkan peradaban dan kemajuan bangsa, rakyat dan negara Indonesia secara adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Revaluasi atas sistem demokrasi khususnya pada pokok-pokok sbb:

a.Redefinisi kata Demokrasi yang jelas dan tegas. Pengertian demokrasi sebagai kebebasan se-bebas-bebasnya - sehingga menimbulkan kekuatan massa, premanisme, adu kekuatan fisik atau pemaksaan kehendak - yang dapat mengintimidasi dan menekan supremasi Hukum.

b.Penciutan partai politik menjadi maksimal 5 parpol dengan senantiasa menaikkan Indeks Prestasi perolehan suara (Treshold) dari 3% naik secara bertahap hingga 20%. Sebab, apabila kita tidak melakukan konsolidasi, bangsa-negara kita akan senantiasa dilanda “ketidak kompakan” sebagai suatu bangsa yang bersaudara dan bersatu, yang memerlukan integritas dalam menapaki peradaban kedepan.

c.Dan didalam DPP parpol terbangun kepemimpinan Presidium yang mengetuai masing-masing faksi atau golongan ideologi atau pengikutnya, untuk membangun kematangan parpol dan menghindari penguasaan & pengingkaran oleh dominasi / kekuasaan tunggal oleh Ketua Umum dalam parpol. Dari parpol sendiri sudah harus mampu menunjukkan konsistensi demokrasi, kinerja & kematangan dalam membangun sistem kedaulatan anggota & golongannya. Baru kemudian bertanding secara sehat & bermartabat dalam demokrasi nasional yang lebih luas. Tantangannya: bagaimanakah mekanisme konsolidasi parpol ini dilakukan, dan haruskah ada perencanaan atau ada yang memimpin atau berjalan secara alamiah adalah masalah kita bersama. Kiranya sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia ketiga yang sudah menginjak maju seperti Malaysia, Muangthai, Cuba perlu kita pelajari untuk diambil hakekat hikmah atas kinerja dalam pencapaian tujuan yang sasaran akhirnya : meningkatkan kualitas bangsa-negara secara adil.

Memperhatikan dengan seksama kondisi sosiologis bangsa kita yang mayoritas terbelakang-miskin-heterogen, demokrasi yang paradoksial, dan KKN sistemik dalam Sistem Birokrasi Pemerintah yang berurat-berakar serta lahir dan perjalanan parpol yang sarat konspirasi dan kkn, kita membutuhkan Koreksi dan Perubahan Demokrasi secara sistematis dan percepatan yang pasti-terukur atau perubahan revolusioner sistemik. Dari manakah kita mulai mengingat benang kusut masalah tersebut sangat kronis ?. Kiranya sejarah perjalanan bangsa-bangsa di dunia ketiga seperti Malaysia, Muangthai, Cuba perlu kita pelajari untuk diambil hakekat hikmah atas kinerja dalam pencapaian tujuan yang sasaran akhirnya : meningkatkan kualitas, kemajuan dan kesejahteraan bangsa-negara secara adil. Untuk menghindari polemik yang panjang, langkah mula yang perlu kita mulai sebagai penyatu adalah: Penggalangan Kebangkitan Kesadaran Baru Kaum Intelektual (Mahasiswa & Profesional) kelas Menengah Kedalam Kesatuan-Kebersamaan Nasional Untuk Keadilan Sosial-Ekonomi untuk Kepastian Masa Depan.

V.C. POSISI, PERAN & TEKAD TNI BAGI BANGSA & NEGARA
(Oleh Mayjen TNI-AD Saurip Kadi)

Kehancuran sejumlah negara di penghujung millenium ke-2 justru bukan karena perang. TNI yang proffesional harus bisa mengajak bangsanya untuk memperkecil kektidak pastian di seluruh bidang kehidupan masa depan.

Proses reformasi terhadap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sedang berlanngsung merupakan suatu historical changes (perubahan sejarah). Para sejarawan menyatakan bahwa perubahan tersebut merupakan gerak sejarah. Sebagai sebuah perubahan sejarah dalam reformasi terjadi perubahan sosial yang sangat penting dari suatu struktur masyarakat, berupa akibat dan menifestasinya dalam norma-norma, nilai-nilai baru serta proses kebudayaan dan lambang-lambangnya. Perubahan sosia ini dapat disebut sebagai perubahan kebudayaan.

Sebagai sebuah proses sejarah reformasi mengandung suatu ethically oriented dimana moralitas (etika) menjadi parameter tatanan suatu bangsa utamanya dalam hal kepemimpinan bangsa-negara. Dengan demikian suatu bangsa harus senantiasa belajar sejarahnya, tentang kepemimpinan bangsa tersebut.

Sejarah pemerintah Orde Baru merupakan suatu bukti, manakala para pemimpinnya telah lupa tentang bagaimana sejarah kelaihiran Orde Baru. Tidak mengherankan jika setelah 32 tahun berkuasa (1966-1998) rezim otoriterian Orde Baru akhirnya runtuh, tepatnya tanggal 21 Mei 1998 yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto dari kekuasaaannya. Penguasa Orde Baru telah lupa bahwa Orde Baru mengklaim dirinya sebagai orde yang lahir dengan mengemban misi luhur yaitu melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan konsekwen. Pak Harto sebagai pemimpin Orde Baru lupa akan kritik-kritik tajam yang pernah dilontarkannya sendiri terhadap rezim Soekarno seperti yang pernah disampaikan pada 16 Agustus 1967 dihadapan sidang paripurnao DPR-GR sbb:

“…Orde Baru adalah tatanan seluruh perikehidupan rakyat, bangsa dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.. Orde baru lahir dan tumbuh sebagai reaksi total terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan pada masa orde yang berkuasa waktu itu, Orde Lama….”
“… Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab ditinggalkan, hak-hak azasi manusia hampir-hampir lenyap, sebab semuanya ditentukan oleh kemauan penguasa. Jaminan dan perlindungan hukum hampir tidak ada. Sila kedaulatan rakyat menjadi kabur, yang ada hanya kedaulatan pemimpin. Sila keadilan sosial makin jauh, sebab kekayaan negara dipakai untuk proyek mercu suar yang merusak ekonomi rakyat dan negara. Sistem ekonomi terpimpin dalam praktek menjadi sistem lisesnsi yang menguntungkan orang yang dekat dengan penguasa. Penyelewengan serius terhadap UUD194 5 terjadi dengan memusatkan kekuasaan secara mutlak di satu tangan, yaitu kepala negara…”
“… Asas dan sendi sistem konstitusi dalam praktek berubah menjadi absolutisme. Kekuasaan negara tertinggi bukan lagi di tangan MPRS, melainkan ditangan Pemimpin Besar Revolusi. Presiden bukannya tunduk kepada MPRS , bahkan sebaliknya MPRS yang tunduk dibawah Presiden. Sungguh-sungguh tragedi bagi rakyat dan bangsa…”

Kritik tersebut ternyata telah diingkari sendiri oleh Soeharto, dan menjadi senjata makan tuan. Orde baru dalam perjalanannya telah berubah menjadi klaim ideologis elit bagi penguasanya. Artinya Orde Baru menjadi ideologi kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan. Pemerintah Orde Baru melakukan hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh Orde Lama, sama dengan kritik yang disampaikan Soeharto pada Soekarno.!

Bukan hanya Soeharto seorang yang melupakan sejarah kelahiran Orde Baru, melainkan juga para Elit dan Sub pemimpin Orde Baru lainnya, termasuk Wakil Rakyat. Akibatnya penyalahduanaan kekuasaan (abuse of Power) yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru tidak dapat dicegah. Penyelahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara ini terjadi karena terjadinya pemusatan kekuasaan (sentralisasi kekuasaan) di satu tangan (R.William Liddle dalam bukunya Leadership and Culture in Indonesia Politics menggambarkan dominasi kekuasaan Presiden Soeharto dalam pemerintahan Orde Baru sebagai piramida kekuasaan dengan Presiden sebagai pusat / pucuk kekuasaan.

Penyalahdunaan kekuasaan terjadi hampir disemua bidang kehidupan yang mengakibatkan terpuruknya tatanan sosial kehidupan berbangsa-bernegara. Penyalahdunaan kekuasaan dalam bidang politik dan hukum, misalnya berupa pemanfaatan kekuasaan untuk kepentingan kelompok dan golongan sendiri, menempatkan kekuasaan (politik) diatas hukum, hukum lebih mengabdi pada kepentingan ekonomi, uang, jabatan dan lain sebagainya.

Penyalahgunaan dalam bidang ekonomi berupa monopoli-oligopoli, korupsi-kolusi & nepotisme. Tentang korupsi di Indonesia, banyak lembaga internasional yang mempublikasikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi terburuk di dunia dan dengan tingkat daya saing yang rendah. Hal ini mengakibatkan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, tidak terwujudnya pemerataan ekonomi, dengan makin besarnya konlomerasi (menurut data PDBI, nilai asset 161 konglomerat sama dengan 76% PDB nasional pada tahun 1993).

Penyalahgunaan kekuasaan tersebut telah menumbuhkan kehidupan sosial budaya masyarakat yang tidak sehat. Sentralisasi kekuasaan menjadikan demokrasi hanya sebagai assesoris (hiasa) dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Demokrasi hanya terlihat dalam struktur kelembagaan saja berupa adanya lembaga eksekutif, legislaltif dan yudikatif tetapi dalam pelaksanaannya jauh dari kehidupan demokrasi. Kultur demokrasi belum terbentuk dalam kehidupan bangsa sehingga proses demokrasi tidak bisa berjalan optimal. Budaya feodalistik paternalistik justru ditumbuhkembangkan dalam kehidupan berbangsa dan berbnegara.

Masyarakat selama Pemerintahan Orde Baru dibuat tidak berdaya dan senantiasa bergantung kepada kekuasaan sehingga menciptakan-mengakibatkan ketidakberdayaan sosial-ekonomi secara struktural.

Kesemuanya telah melahirkan krisis bangsa yagn multidimensional, yang diawali dengan krisis ekonomi. Daya tahan tatanan ekonomi Indonesia sangat rapuh. Terbukti dengan terpaan badai krisis yang melanda dunia telah memporak-porandakan perekonomian Indonesia, yang sampai kini masih belum pulih. Krisi yang multidimensional ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintahan Orde Baru, yang bermura pada terjadinya proses reformasi.

Dengan demikian, proses reformasi ini dapat dikatakan sebagai proses koreksi terhadap sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang dilanjutkan dengan proses penataan kembali dnegan falsafah negara dan konstitusi, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Proses koreksi ini adalah koreksi terhadap panyalahdunaan kekuasaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan segala implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara untuk dikembalikan pada mekanisme berbangsa dan bernegara secara benar.

Dalam proses reformasi ini, moralitas kebenaran merupakan pangkal utama, tolok ukur melakukan koreksi. Sehingga reformasi sebagai koreksi nilai tidak bisa dilihat dengan pendekatan kekuasaan semata, yaitu menang atau kalah. Tetapi reformasi harus ditempatkan sebagai sebuah perjuangan moralitas yang dilandaskan pada nilai-nilai kebenaran dengan tujuan demi kebaikan dan kepentingan Bangsa dan Negara, bukan kepentingan kelompok, klen, partisan, apalagi pribadi.

Dalam reformasi tidak ada pengelompokan sosial berdasarkan menang kalah sehingga ada yang merasa menang dan ada yagn merasa kalah. Yang ada adalah bahwa kemenangan reformasi merupakan kemanganan Bangsa Indonesia dan sekaligus bagian dari tuntutan perjalanan Bangsa yang tidak bisa dihindari.

Penyalahdunaan kekuasaaan oleh pemerintahan Orde Baaru dilakukan melalui perangkat kultur dan struktur berupa mekanisme korporatisme negara dimana warga Bangsa ditempatkan sebagai bagian dari Negara yang senantiasa dapat dikendalikan oleh negara dan dalam situasi ketidakberdayaan struktural. Korporatisme adalah sistem Penyingkiran sektor massa lewat pengawasan-pengawasan., dipolitisasi serta tekanan-tekanan lain yang memungkinkan terwujudnya stabilitas yagn diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi. Mekanisme pengawasan dan pencegahan dalam korporatisme negara diantaranya adalah represi terhadap pemimpin pemimpin massa yang muncul dari bawah, kooptasi terhadap mereka dengan cara menyaring kemampuan untuk membubarkan dan menekan organisasi-organisasi yang mudah dipengaruhi oleh para pemimpin pembangkang.

Perangkat yang mendukung mekanisme korporatisme adalah TNI (ABRI pada saat itu), birokrasi dan teknokrat. TNI telah menjadi alat penguasa untuk memberikan jaminan keamanan bagi negara karena monopolinya terhadap alat-alat pemaksa, menjadi organisasi pengawasan, sedangkan birokrasi menjadi pendukung kekuatan politik Pemerintah melalui loyalitas tunggual pegawai dan dukungan administratif demi kepentingan pengawasan oleh Negara. Sementara para teknokrat, manajemen, jasa keahlian teknologi dalam rangka pengendalian dan pengawasan proses sosial, sejalan mempertahankan laju perekonomian.

Kedudukanb TNI yang dominan sebagai alat penguasa Pemerintah Orde Baru merupakan kenyataan sejarah yang tidak dapat dipungkiri dan menjadi stigma yang tak terelakkan. Salah satu akibatnya adalah selama proses reformasi, posisi dan peran TNI kemudian digugat. Oleh karena itu, dengan peran TNI sebagai alat penguasa pada masa Pemerintah Orde Baru seharusnyalah TNI tidak melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap terpuruknya tatanan sosial berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain TNI tidak boleh tinggal gelandang colong playu, berlepas diri dengan apa yang sedang menimpa Bangsa ini. Berbagai upaya mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa bernegara yang normal, membawa Bangsa ini keluar dari krisis harus menjadi bagian tugas dan tanggung jawab TNI

IV.C.1. POLTIK TNI ADALAH POLTIK NEGARA

Sebagaimana dikemukakan di atas salah satu penyebab terpuruknya tatanan sosial berbangsa dan bernegara pada masa Orde Baru adalah posisi TNI (ABRI) yang telah dijadikan sebagai alat penguasa melalui keterlibatan langsung TNI (ABRI ) dalam kehidupan politik praktis, termasuk kebiajakn penugaskaryaan. Keterlibatan langsung dalam politik parktis berupa ikut campur dalam urusan partai politik dan organisasi masyarakat demi kepentingan penguasa, melakukan tindakan represif yang berlebihan, bahkan ada juga yang melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum dan Hak-hak Azasi Manusia (HAM).

Fungsi sosial (bukan fungsi politik) TNI yang diletakkan oleh Jenderal Nasutiona sebagai suatu model civic mission atau alat bakti seperti miiter di dunia Barat, dan model kerjasama dengan kekuatan komponen Bangsa yang lainnya dalam emmbangun Negara dan Bangsa melalui Seminar Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung berubah mendominasi peran yang semestinya menjadi fungsi lembaga lain. Inilah awal TNI (ABRI) menjadi alat penguasa untuk menekan kekuatan masyarakat yang seharusnya menjadi mitranya.

Yang paling mencolok keberadaan TNI sebagai alat penguasa pada masa pemerintah Orde Baru adlaah keberpihakannya TNI pada salah satu kekuatan organisasi sosial politik. Ketika TNI menjalankan politik penguasa seperti itu sesungguhnya TNI telah mengingkari jati dirinya sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional yang mengharuskan dirinya menempatkan kepentingan Bangsa dan Negara di atas semua kelompok dan golongan masyarakat. Dalam rangka Reformasi Internal TNI, maka TNI harus kembali ke jati dirinya. Artinya, bahwa dengan jati diri TNI, maka TNI menjalankan politik Negara, bukan politik penguasa.

Makna TNI menjalankan politik negara yakni bahwa peran TNI sebagai Bhayangkara Negara adalah berperan melakukan pertahanan Negara dari setiap kemungkinan yang mengancam kelangsungan, eksistensi dan keutuhan Negara. Hal ini diwujudkan dalam bentuk :

1. TNI tidak terlibat politik praktis.

Proses demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dalam perubahan setiap negara. Hal ini disebabkan berakhirnya perang dingin yang diikuti berubahnya tatanan dunia dan berakhirnya era otoritarianisme. Rusia dan Negara-negara di Eropa TImur merupakan fenomena bagaimana sebuah Negara tengah mereformasi dirinya dari sistem otoritarian menuju demokrasi (transisi menuju demokrasi seperti halnya Indonesia).

Proses demokrasi adalah proses menuju terbangunnya suatu konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi atau demokrasi yang sudah mapan menurut Linz dan Stephen dalam Problems of Medocratic Transition and Consolidation memiliki lia arena, yaitu masyarakat sipil ( civil society) yang ditandai kebebasan berkomunikasi dan berserikat, masyarakat politik (political society) yang ditandai adanya Pemilu yang bebas dan terbuka, tatanan hukum (rule of law) yang menjunjung konstitusionalisme, perangkat negara yang didalamnya hidup norma-norma birokrasi yang legal rasional, masyarakat ekonomi yang dicirikan dengan dibangunnya lembaga pasar yang sehat.

Dalam rangka pembentukan konsolidasi demokrasi dimana masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya melalui penguatan partai politik, organisasi kemasyarakatan, maka TNI tidak harus terlibat politik praktis. Hal ini berati, pertama, TNI tidak boleh terlibat politik praktis, seperti kegiatan dukung-mendukung, dorong-mendorong, tolak-menolak, halang-menghalangi setiap aktifitas mobilitas politik. Kedua, tidak menjadi partisan terhadap atau berperan sebagaimana layaknyapartai poltik / kekuatan politik tertentu, dan mengambil jarak yang sama terhadap semua partai politik yang ada. Pengertian tidak terlibat dalam politik praktis, janganlah diartikan Prajurit TNI tabu terhadap politik. TNI sebagai alat negara justru mengharuskan setiap prajurit TNI terlebih para perwiranya haruslah memahami dan mampu mengikuti perkembangan dinamika politik. Dengan demikian TNI akan mampu menolak tarik-tarikan kepentingan politik / golongan lebih dari itu mampu bertindak proaktif dalam bentuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan atau peringatan terhadap uapaya-upaya yang mengancam kelangsungan hidup (eksistensi) keutuhan serta keselamatan Bangsa dan Negara.


2. TNI merupakan kekuatan pertahanan negara dari setiap ancaman terhadap kelangsungan keutuhan negara.


Myron Weiner, mengemukakan bahwa integrasi nasional meliputi lima cakupannya. Pertama, National Integration yaitu penyatuan berbagai suku bangsa menjadi bangsa yang satu. Kedua, Teritorial Integration yaitu menyatukan berbagai daerah yang luas dibawah satu Pemerintahan. Ketiga, Elitemass Integration yaitu menyatukan Pemerintah dengan rakyat. Keempat, Value Integration, yaitu nilai yang paling banyak disetujuinya cara-cara untuk menyelesaikan konflik. Kelima, Integrative Behaviour yaitu memadukan potensi & kemampuan rakyat hidup berorganisasi dalam mencapai tujuan.

Dalam proses reformasi yang berlangsung, eforia demokrasi telah memunculkan gejala dis-integrasi. Gejala ini muncul dalam bentuk upaya pemisahan diri suatu daerah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, konflik etnik dengan segala permasalahannya seperti apa yang terjadi di Aceh, Papua (Irian Jaya), Riau dan Maluku. Negara-negara Uni Soviet dan Yugoslavia telah gagal mempertahanan keutuhan kesatuan teritorial & bangsanya karena separatisme. Demikian pula kerajaan Majapahit runtuh karena menyusutnya pengaruh kekuasaan pemerintahan pusat terhadap daerah.

Dalam konteks ini, Value Integration Bangsa tidak berfungsi secara utuh dan maksimal sehingga belum adanya persetujuan tentang cara-cara untuk menyelesaikan konflik atau masalah Nasional yang tengah terjadi. Walaupun sesungguhnya kalau dilihat dari kultur feodalistik, maka peran elite politik akan sangat membantu penyelesaian masalah.

Oleh karena itu dalam menjalankan politik Negara demi kelangsungan, eksistensi dan keutuhan negara, maka TNI tidak mungkin berpolitik praktis, tetapi politik TNI adalah politik Negara. Keterlibatan TNI dalam politik memang tidak boleh diwujudkan lagi sebagai partisan. Tapi TNI harus memiliki sikap politik. Disamping itu TNI haru bisa mempengaruhi terhadap setiap perkembangan dan kondisi yang dapat mengancam kelangsungan, eksistensi dan keutuhan bangsa. Sebagai contoh adalah ketika sistem politik yang demokratis sedang ditata dalam era reformasi ini setelah menjalani proses demokrasi yang cukup baik seperti Pemilu 1999. Sidang umum 1999 sehingga terbentuk Pemerintahan yang legitimate, maka TNI harus bersikap mendorong dan mempengaruhi agar etika dan mekanisme demokrasi berjalan secara optimal dalam menyelesaikan setiap permasalahan bangsa dan negara. Diantaranya bersikap mendukung terhadap upaya memperbesar peran partai politik dalam menyalurkan aspirasi baik koreksi maupun saran pada pemerintahan yang legitimate melalui mekanisme demokrasi yang dilandasi etika politik yang benar. Dengan demikian instrumen demokrasi segera dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

3. TNI tampil kedepan dalam pemberdayaan kelembagaan fungsional. Era reformasi adalah masa transisi untuk menata kembali kelembagaan yang ada baik eksekutif, legislaltif maupun yudikatif dan lembaga kemasyarakatan sesuai dengan perannya agar masing-masing kembali berfungsi secara optimal. Berkaitan dengan hal tersebut TNI dalam menjalankan politik Negara, seharusnya mendorong pemberdayaan kelembagaan fungsional. Ketidakterlibatan TNI dalam politik praktis merupakan wujud atau implementasi dari upaya pemberdyaaan kelembagaan fungsional itu sendiri.


4. Bahwa TNI merupakan bagian dari sistem nasional dan menjalankan setiap tugas kenegaraan atas kesepakatan bangsa (konstitusional).


TNI merupakan bagian dari sistem nasional dengan fungsi utamanya yaitu pertahanan negara. Sebagai bagian dari sistem nasional maka keberadaan, peran, fungsi dan tugas-tugas TNI didasarkan pada kesepakatan bangsa (konstitusional) melalui mekanisme peraturan perundangan yang berlaku baik ketetapan MPR, peraturan / perundangan yang ditetapkan DPR dan Pemerintah. Sebagai bagian dari sistem nasional pula TNI harus menjaga kelangsungan dan pelaksanaan setiap keputusan DPR/MPR.

IV.C.2. KEPEMIMPINAN NASIONAL

Dalam sebuah tatanan demokrasi, kepemimpinan nasional dianggap legitimate manakala dipilih melalui mekanisme demokrasi. Dalam sistem demokrasi di Indonesia penetapan kepemimpinan nasional dilakukan oleh MPR RI sebagai lembaga pemegang kedaulatan tertinggi (kedaulatan rakyat). Oleh karena itu, TNI sebagai Tentara Rakyat berarti secara konstitusional mentaati keputusan yang dihasilkan oleh DPR/ MPR.

DPR / MPR sekarang merupakan wakil rakyat yang dipilih melalui demokrasi yaitu Pemilu 1999 yang relatif jujur dan adil. Salah satu keputusan MPR adalah penetapan kepemimpinan nasional periode 1999-2004. Menjadi tugas dan tanggung jawab TNI untuk menjaga kelangsungan kepemimpinan nasional yang legitimate siapapun orangnya dari setiap upaya inkonstitusional untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah. Sebab setiap tindakan inkonstitusional bertentangan dengan etika dan mekanisme demokrasi. Karena sistem demokrasi di Indonesia adlaah sistem perwakilan, maka setiap keputusan yang sah (konstitusional) adalah keputusan DPR / MPR.

Tugas dan tanggungjawab TNI ini sekaligus menjaga kelangsungan tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh seluruh rakyat Indonesia melalui pentahapan Pemilu. Sidang umum yang dilaksanakan dengan biaya, waktu dan pengorbanan serta harapan besar. Kegagalan dalam mempertahankan kepemimpinan nasional yang legitimate bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada mekanisme demokrasi. Karena bisa memunculkan anggapan masyarakat bahwa ketika tahapan Pemilu yang Jurdil. Sidang umum yang demokratis yang memilih kepemimpinan nasional telah dilalui, ternyata tidak ada jaminan bahwa sistem berjalan secara konstitusional. Padahal ini sangat penting dalam upaya bangsa untuk keluar dari krisis berkepanjangan.

Dengan demikian dukungan TNI terhadap kepemimpinan nasional (siapapun Presidennya) semata-mata dalam rangka mengamankan ketetapan DPR / MPR, dan menjaga kelangsungan tatanan kehidupan yang demokratis, bukan sebagai alat penguasa seperti pada masa Orde Baru. Artinya TNI melakukan dukungan selama kepimimpinan nasional sesuai dengan Pancasila dan UUD’45 dan menjalankan ketetapan DPR / MPR. Bahwa kritik, koreksi saran terhadap pada kepemimpinan nasional yang disalurkan melalui mekanisme konstitusional, maka TNI menempatkan hal tersebut sebagai budaya yang memang harus dibangun bersama.

Kesadaan akan pentingnya menjalankan mekanisme demokrasi tanpa terjebak pada eforia demokrasi yang bisa kontraproduktif terhadap pelaksanaan demokrasi sendiri perlu dikembangkan di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pendidikan kewarganegaraan (civic education). Usaha / Program ini merupakan upaya pencercahan politik warga negara yang berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara Indonesia dalam menjalankan tatanan kehidupan yang demokratis melalui mekanisme demokrasi yang benar, termasuk pemahaman tentang kepemimpinan nasional yang legitimate.
Kepedulian TNI tentang civic education sebagai bagian dari tanggungjawab bisa dilakukan melalui Kepemimpinan dan Komunikasi Sosial (KKS) TNI.


IV.C.3. REFORMASI INTERNAL


Yang tidak kalah penting dalam upaya TNI menjalani tugas dan tanggungjawabnya ikut memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, sekaligus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan peran TNI yang sesuai dengan tuntutan masa depan adalah melakukan reformasi internal TNI. Reformasi internal ini merupakan proses perubahan struktur dan kultur TNI (transformasi struktural dan kultural) agar TNI sesuai dengan jati dirinya. Proses ini merupakan keharusan sejarah setelah selama ini TNI menjadi alat penguasa Orde Baru. Reformasi internal berarti mengembalikan TNI pada khittahnya sebagai Tentara Rakyat. Tentara Pejuang dan Tentara Nasional.

Karena menyangkut perubahan struktural dan kultural, maka proses reformasi membutuhkan waktu yang lama. Untuk mengoptimalkan reformasi internal TNI perlu direspon oleh segenap prajurit TNI sebagai suatu kebutuhan bersama. Tidak mungkin menjalankan reformasi internal hanya dilakukan oleh puncak Pimpinan TNI salah satu Angkatan saja. Keterlibatan para pimpinan TNI harus bisa berupa pernyataan sikap dan disertai dengan tindakan nyata yang merubah kearah perbaikan, yang intinya menunjukkan bahwa TNI tidak seperti dibawah pemerintahan Orde Baru, sangat penting. Hal ini merupakan perwujudan dari pikiran kehendak (niat) dan tekad melakukan reformasi secara sungguh-sungguh.

Walaupun tentu saja reformasi TNI juga bukan hanya tangung jawab TNI, melainkan seluruh komponen bangsa. Berbagai upaya reformasi TNI hanya bisa dilakukan jika didukung oleh komponen bangsa lainnya. Namun sumber kekuatan untuk mempercepat reformasi internal TNI terpulang pada segenap prajurit TNI sendiri.

IV.C.4. SIKAP TNI Terhadap NEGARA dan BENTUK dan DASAR NEGARA


Secara demografis, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan kebhinekaannya. Bhineka dalam budaya, suku, agama dan lain-lainnya. Potensi ini bisa menjadi kekuatan penyatu bangsa, memperkokoh ketahanan bangsa dan bisa pula sebaliknya menjadi potensi di-integrasi bangsa dan melemahkan kekuatan bangsa. Proses reformasi yang dibarengi eforia demokrasi bisa menjadikan kebhinekaan bangsa sebagai potensi dis-integrasi bangsa, apalagi dibarengi ketidakadilan sosial, ketimpangan sosial, kepentingan internasional yang tidak menguntungkan. Ancaman perpecahan bangsa muncul dalam bentuk konflik ideologis karena keragaman ideologis yang saling bergesekan, egoisme kultural, pemisahan diri daerah dari pemerintah pusat, konflik vertikal dan horisontal baik kerna faktor etnik maupun agama.

Proses reformasi sebagai wahana transformasi untuk mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik serta lebih demokratis justru mengandung ancaman terhadap eksistensi negara bangsa, kelangsungan negara dan keutuhan bangsa. Hal ini terjadi karena didalamnya terbentang masa transisi yang sangat rawan. Nilai-nilai lama oleh sebagian warga bangsa dianggap tidak cocok lagi, sementara nilai-nilai baru belum lahir. Dalam saat yang sama sebagian warga bangsa yang lain mencoba mempertahankan nilai-nilai lama dan cenderung menolak perubahan nilai.
Oleh karena itu TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional sekaligus sebagai tanggung jawab terhadap keterpurukan yang melanda Bangsa, maka setiap prajurit TNI seharusnyalah memiliki :

1. Keyakinan sesuai dengan Sapta Marga tentang membela dasar negara Pancasila dan eksistensi kelangsungan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2. Komitmen yang kuat untuk menjaga menjaga keutuhan bangsa dan negara,
3. Tekad yang kuat untuk memanifestasikan sikap tersebut.

Dengan demikian TNI senantiasa peduli terhadap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan cara menjaga jangan sampai eksistensi negara bangsa, kelangsungan negara dan keutuhan bangsa terganggu.


IV.C.5. SIKAP TNI TENTANG KEHIDUPAN BERBANGSA dan BERNEGARA DIPERCAYAKAN kepada PIMPINAN


TNI adalah alat Megara. Sebagai alat Negara tidak mungkin TNI tidak dilibatkan dalam proses politik utamanya dalam pengambilan keputusan tingkat Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam menangani masalah Pertahanan Negara itu sendiri sesungguhnya adalah kegiatan politik. Dengan kata lain, TNI sesungguhnya adalah instrumen politik negara, namun politik TNI adalah politik negara. Dengan politik negara menempatkan TNI untuk memiliki tanggungjawab terhadap kelangsungan kehidupan berbagngsa, bernegara melalui fungsi utamanya yaitu pertahanan negara. Pertahanan negara dapat dikatakan juga sebagai sebuah pendekatan seperti halnya pendekatan kesejahteraan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tanggungjawab itu diwujudkan dalam sikap TNI terhadap setiap permasalahan
dalam proses berbangsa dan bernegara, terutama permasalahan yang didalamnya perlu pendekatan pertahanan negara. Sikap ini diwujudkan dalam bentuk mempengaruhi langkah dan gerak TNI dalam bersikap dan bertindak permasalahan bangsa yang menyangkut pertahanan, diserahkan atau dipercayakan kepada Pimpinan TNI. Sikap TNI sangat penting terhadap penataan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, khususnya menyangkut TNI dan fungsi TNI sebagai lembaga pertahanan negara.

IV.C.6. ETIKA POLITIK dan MEKANISME DEMOKRASI

Penataan kehidupan berbangsa bernegara yang lebih demokratis hanya akan dapat berlangsung secara tertib manakala setiap komponen bangsa menggunakan etika dalam berpolitik dan secara konsisten mentaati mekanisme demokrasi.
Demokrasi memang menuntut adanya tingkat tanggungjawab pribadi yang tinggi, karena keterbukaan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Demokrasi hanya bisa terjadi jika kita mampu meninggalkan sikap menang sendiri. Demokrasi menuntut sikap secara tulus untuk menerima ketentuan bahwa demokrasi akan menghasilkan hanya diterimanya dan dilaksanakannya sebagian dari keinginan dan pikiran kita. Perfeksionisme dan absolutisme adalah pandangan-pandangan yang berlawanan dengan ide demokrasi dan demokratisasi. Dalam demokrasi harus selalu ada kesediaan untuk membuat kompromi-kompromi, sebagaimana TV.Smith dan Eduard C.Lindeman menyatakan:

“Orang-orang yang berdedikasi pada pandangan hidup demokratis mampu bergerak kearah tujuan itu jika mereka bersedia menerima dan hidup menurut aturan tentang terlaksananya sebagian dari ide-ide. Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang saling tidak cocok.”

Disamping itu kedewasaan demokrasi sangat berpengaruh terhadap kelangsungan khidupan demokrasi, baik karena kultur demokrasi dalam masyarakat, tingkat pendidikan maupun pengalaman berdemokrasi. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam era reformasi ini, demokrasi yang kita bangun memiliki beberapa tantangan:

• pertama, eforia demokrasi yang mengarah pada anarkhisme dan premanisme,
• kedua, kurangnya budaya demokrasi dalam masyarakat kita karena selama ini dibangun budaya feodalistik-paternalistik,
• ketiga, tidak ada pengalaman berdemokrasi karena selama tiga pulu dua tahun hidup dalam tatanan otoriterianisme,
• keempat, adanya kecenderungan berpikir inkonstusional dalam perubahan, diantaranya penggunaan kekuatan massa atau aksi ekstra parlementer.

Oleh karena itu menjadi tanggung jawab semua komponen bangsa untuk menjalankan demokrasi mendasarkan pada kesadaran hati nurani dan kemanusiaan universal dengan cara menggunakan etika dalam berpolitik dan mentaati mekanisme demokrasi.

IV.C.7. PERHATIAN TNI TERHADAP KONDISI YANG BERKEMBANG

TNI sebagai Tentara Rakyat, Tentara Pejuang dan Tentara Nasional sekligus merupakan instrumen politik negara memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan, kelangsungan dan keutuhan Bangsa dan Negara serta Integritas berbangsa dan bernegara. Bentuk tanggung jawab TNI terhadap bangsa dan negara adalah dengan cara senantiasa peduli dan mengikuti perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kepedulian itu bisa dilakukan melalui ide / gagasan, sumbang pemikiran, tindakan riil dilapangan yang bisa meringankan beban kehidupan masyarakat atau masalah, seperti bakti TNI pada masyarakat yang membutuhkan.


IV.C.8. LEGITIMASI TNI DIUSAHAKAN OLEH TNI SENDIRI

Akibat peran dan segala tindakannya, TNI pada massa Orde Baru yang lebih sebagai alat penguasa, maka muncul berbagai tuntutan dan hujatan ditujukan pada TNI diantaranya penghapusan dwfungsi TNI, pengadilan terhadap oknum TNI yang melakukan pelanggaran hukum dan HAM. Hal-hal tersebut seharusnya direspond secara proposional, bila tidak kepercayaan rakyat akan terus menurun dan pada kondisi tertentu akan sulit untuk recovery. Hal ini sangat merugikan dan membahayakan kedudukan TNI sebagai kekuatan pertahanan negara. Tidak mungkin TNI mampu menjalankan fungsinya manakala tidak lagi dipercaya oleh rakyatnya. Disinilah arti strategis keputusan TNI yang telah menjadikan upaya pengembalian citra dan Legitimasi TNI sebagai tugas pokok TNI pada tahun 2000 khususnya yang telah dilakukan oleh TNI-AD dibawah kepemimpinan Jenderal TNI Tyasno Sudarto. Namun demikian, pengembalian legitimasi TNI hanya bisa dilakukan oleh TNI sendiri, bukan oleh komponen bangsa lainnya. Legitimasi TNI adalah upaya mengembalikan citra TNI sebagai lembaga pertahanan negara. Untuk itu maka dilakukan proses reformasi internal Tni untuk mengembalikan TNI ke jati dirinya, penataan sikap dan penampilan serta konsistensi komitmen TNI terhadap rakyat, bangsa dan negara dalam penyelesaian berbagai kasus yang melinatkan TNI. Dengan reformasi internal TNI, diharapkan TNI segera menjadi menata diri menjadi tentara yang profesional yang mampu menjaga integritas, keutuhan dan kelangsungan hidup Bangsa dan Negara.


IV.9. PROFESSIONALISME TENTARA NASIONAL INDONESIA (TNI)

Perkembangan global dan peradaban manusia saat ini, bangsa manapun di dunia berupaya menghindari terjadinya perang. Namun demikian, bukan berarti TNI tidak mempersiapkan diri menghadapi perang. Dalam era global dimana ilmu pengetahuan terus berkembang pesat, bentuk perang tidak mungkin lagi hanya berupa adu kekuatan / senjata belaka. Kehancuran sejumlah negara di penghujung millenium ke-2 justru bukan karena perang. Disintegrasi bangsa dan negara seperti terjadi di Uni Sovyet dan Yugoslavia lebih bersumber pada masalah-masalah sosial dalam negerinya.

TNI (ABRI) sesuai dengan amanat yang diemban sejak kelahirannya untuk menjaga kadaulatan bangsa dan negara perlu membekali diri sesuai dengan hakekat ancaman yang akan dihadapinya. Oleh karena itu, pengertian professionalisme TNI bukan semata-mata dalam olah keprajuritas, lebih dari itu TNI harus bisa mengajak bangsanya untuk memperkecil kektidak pastian di seluruh bidang kehidupan masa depan. Untuk itu, kemampuan TNI dalam mengembangkan konsep pemikiran atas hal-hal yang dihadapi bangsa dan negara menjadi sangat mendasar. Dimasa mendatang ketidakpastian justru sebagai hakekat ancaman potensial yang dapat menghancurkan kedaulatan negara.
Oleh karena itu TNI harus tetap tegar dan bersikukuh pada jati dirinya, agar konsep-konsep pemikiran, penampilan dan kebijakan yang diambilnya mampu memperkecil kadar ketidakpastian itu sendiri. Sesuai dengan hakekat ancaman yang akan dihadapi, maka penggunaan senjata / kekerasan menjadi tidak polpuler dan justru kontra produktif. Oleh karena itu hal yang mendesak bagi TNI adalah masalah penghayatan dan pengamalan HAM, terlebih dalam pelibatan urusan-urusan yang berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Disinilah pentingnya kesadaran TNI untuk tidak terjebak dalam kondisi yang kontradiktif dengan hekekat dan jatidirnya. Penanganan masalah-masalah apapun yang berkaitan dengan rakyat harus diletakkan pada landasan hukum yang berlaku.

Masalah keamanan dalam negeri yang berkaitan dengan tatanan negara demokrasi memang menjadi urusan polisi. Oleh karenanya, POLRI tidak hanya profesional dalam fungsinya sebagai bagian law and justice system, tetapi juga mampu menangani gejolak sosial, baik yang bersifat damapi sampai yang menggunakan kekesaran / senjata. Namun dalam kondisi dimana kedaulatan negara terancam, TNI diminta atau tidak akan tampil melaksanakan tugas pokok, agar kedaulatan negara kembali tegak, bangsa dan negara tetap utuh lestari.


IV.C.10. HUBUNGAN TNI dan PRESIDEN

Reformasi internal TNI yang dimaksudkan dalam uraian diatas, baru bermakna manakala hubungan TNI dan Pemerintah dibakukan. Pijakan tata hubungan tersebut adalah pasal 10 UUD 45 yang mengamanatkan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas TNI-AD, TNI-AL, TNI-Au. Dalam penjelasan pasal tersebut, posisi Presiden yang dimaksud adalah kapasitas sebagai Kepala Negara, bukan sebagai Kepala Pemerintahan.

Dimasa lalu pada saat bangsa kita sedang berkonfrontasi dengan Belanda dalam merebut kembali Irian Jaya, Presiden dipossisikan sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Dimasa mendatang predikat tersebut perlu diluruskan. Posisi Presiden sebagai Panglima Tertinggi dipergunakan bila saja kita sedang perang dengan negara lain. Pososo Presiden sebagai Pangti TNI harus dihentikan untuk urusan-urusan politik dan masalah sosial lainnya, serta urusan manajemen internal TNI.

Berdsarkan konsepk Angkatan Bersenjata yang bukan bentukan pemerintah, TNI mempunyai otonomi dan otoritas yang besar dan tidak boleh dicampuri oleh Pemerintah sekalipun. Pemerintah memang berhak menggunakan TNI untuk menghadapi musuh negara, namun manajemen internal termasuk manajemen perang menjadi otonomi TNI. Disinilah beda antara tentara Pemerintah yang menempatkan Presiden tidak hanya berwenang mengerahkan tentara, tetapi juga menentukan manajemen perang sekligus. Tanpa pembatasan yang jelas dan tegas hubungan antara TNI dan Presiden, meskpiun TNI dimasukkan dalam barak, niscaya akan kembali digunakan sebagai alat politik pemerintah seperti yang terjadi selama Orde Baru. Dengan kata lain yang harus direformasi adalah sistem politik nasional, agar kembali mendudukkan ABRI sebagai alat negara negara. Hal ini memperlihatkan betapa pentingnya penjabaran pasal 10 UUD’45 yang membatasi campur tangan pemerintah terhadap ABRI dalam urusan politik praktis dan agar pemerintah tidak mencampuri manajemen internal ABRI.

V.D. MENJAGA AMANAT dan KONTROL KEDAULATAN RAKYAT


Kini tantangan berikutnya adalah melaksanakan hakekat peradaban bangsa-negara, yakni membangun sistem kedaulatan rakyat yang efektif dan dapat mengantarkan kemajuan yang semaksimal bagi mayoritas rakyat Indonesia. Membangun sistem kedaulatan yang kini diperankan oleh sistem Perwakilan (DPR/D) nampak hanyalah kesemuan (kepalsuan) dalam sistem kenegaraan yang secara mendasar tidak memperjuangkan kepentingan rakyat mayoritas, karena kiprah para elit wakil lebih mementingkan pribadi dan golongan. Alternatif sistem kadulatan rakyat yang harus kita bangun dan perjuangkan adalah penguatan sistematis kepentingan rakyat dalam berbagai golongan dan pekerjaan yang besar, kuat dan berkualitas (tangguh) dalam membela kepentingan rakyat. Jebakan sistem perwakilan yan*g ternyata justru melakukan pengingkaran / konspirasi, perlu kita imbangi dengan alternatif sistem berikut:

• Perimbangan peran Perwakilan dengan mitra-mitra Institusi Strategis,
• Penguatan Lembaga Kajian Strategis yang Berkualitas dan Kuat,
• Kontrol yang efektif dan meluas dengan jaringan Pers, Antar Universitas, Antar Institusi,
• Perlawanan dengan serangkaian agenda Boikot secara meluas ~ sebagaimana yang dilakukan oleh para Guru-Murid di Kabupaten Kampar, Riau pada Maret 2004, atau kita contoh agenda Boikot petani Anggur di Perancis secara nasional.

Memperhatikan ketertindasan rakyat yang terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan, maka penguatan kedaulatan rakyat haruslah kita mulai degan pembangunan sistem kesadaran, kepandaian dan keberanian rakyat dalam membela hak & kepentingan untuk maju dan sejahtera. Untuk menghindari intervensi asing, pembelokan arah tujuan-sasaran, maka kemandirian juga harus kita bangun. Aspek yang penting dalam kemandirian adalah kemandirian finansial, yang sumber-sumbernya dapat digalang dari sumbangan masyarakat secara sukarela melalui Sumbangan Terbuka Dalam Rekening Khusus melalui media massa-untuk membiayai kiprah dan peran membela kedaulatan itu sendiri. Perjuangan kontrol ini dengan penguatan secara mandiri harus kita bangun dan budayakan untuk menjaga hak-hak – yagn pada akhirnya realisasi dan perwujudan demikian adalah wujud hakiki bahwa kita memiliki harga diri dan memiliki martabat dalam peradaban. Kepercayaan rakyat yang diberikan sebagai amanat dan kemudian diingkari elit kekuasaaan, adalah bentuk kelemahan, kenestapaan, dan hina dari suatu bangsa.

Kesabaran, ketulusan dan kebegeon kita selama ini harus kita akhiri – dengan tidak saja mempercayai sistem perwakilan legislatif sebagai penjaga amanat rakyat. Kondisi kronis bangsa-negara kita yang kini dalam situasi paradoksial, haruslah kita jaga dan perjuangakan dengan langkah kongkrit. Kelemahan mendasar dengan sistem Perwakilan yang dinaungi oleh Parpol-manakala anggota DPR/D melakukan penyimpangan, pengkhianatan senantiasa terlindungi oleh wadah Parpol yang cenderung melindungi wakil yang menyimpang adalah juga merupakan kekonyolan dan kebodohan kita.

160 Juta Rakyat
TERBELENGGU LINGKARAN SETAN KEMISKINAN & PENGUASAAN

Rakyat yang miskin-terbelakang senantiasa terbelenggu dalam lingkaran setan kemiskinan-keterbelakangan, seolah tiada ujung yang mengakhiri kemiskinan tersebut. Mereka adalah kaum petani, nelayan, buruh, pedagang kecil / informal / asongan dlsb dengan penghasilan yang rendah yang hanya dicukup-cukupkan untuk mempertahan hidup. Dengan penghasilan rendah, kaum miskin sangat sulit menyisakan untuk ditabung, kalaupun ada hanyalah untuk berjaga-jaga untuk kebutuhan yang bersifat darurat. Karena tiada sisa yang ditabung, rakyat miskin tidak memiliki kemampuan tambahan untuk menambah modal atau investasi. Dengan demikian skala usaha mereka relatif tetap tidak berubah: penghasilan mereka tetap rendah dan seterusnya. Didalam keadaan miskin, mereka juga terbelakang: tidak memiliki pembukuan (administrasi), tidak pernah menyimpan di Bank, dan buta akses informasi tentang permodalan. Akibatnya, dalam perjalanan dari waktu ke waktu, mereka tetap berada dalam lingkaran (siklus) yang tiada awal dan tiada ujung, untuk mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan mereka. Siklus yang melingkari rakyat miskin inilah yang membelenggu mereka dalam keterbelakangan, sehingga tetap dalam kemiskinan – disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan (vicous circle of poverty). Keadaan kemiskinan rakyat Indonesia, juga terbelenggu penguasaan keluar: pasar Internasional, jebakan hutang, berbagai hambatan non tarrif dan penguasaan teknologi.
.
Kemiskinan mayoritas rakyat kita, masih dilingkari dan dijerat oleh penguasaan yang membelenggu sehingga mereka tetap berada dalam keterbelakangan, yang mencakup hal-hal berikut:

1. Dalam proses usaha, sebagian besar petani & nelayan membutuhkan modal awal untuk mengolah sawah, membeli bibit-pupuk & obat serta bertanam. Sedang nelayan membutuhkan bahan bakar, beras, jaring, dan kebutuhan rumah tangga – yang biasanya meminjam dari pemodal atau warung dengan bunga yang tinggi berkisar 5%. Untuk kaum pedagang, pinjaman modal dikenakan bunga antara 5% hingga 10% per bulan. Selanjutnya, dalam menunggu panen, petani sering menjual sebelum waktu panen dalam keadaan daun & padi masih hijau (mengijon) pada tengkulak, yang menurunkan harga jual secara signifikan. Dua keadaan ini, kebutuhan modal & meng-ijon sebelum panen – sudah mengurangi penghasilan secara drastis.

2. Pada saat panen, baik petani atau nelayan yang senantiasa dilakukan secara serentak, karena musim ikan atau musim tanam masing-masing memiliki kesamaan waktu, harga jual sering jatuh. Hal ini akibat konsekuensi hukum ekonomi Permintaan-Penawaran, apabila barang yang ditawarkan melimpah, mendorong harga turun dan sebaliknya. Untuk panen ikan, kejatuhan harga sering terjadi lebih parah. Harga ikan tongkol-tuna dalam keadaan melimpah hanya terjual Rp.600 per kg – akibat tiadanya prasarana pengawetan (pendingin). Kini kondisi yang melingkupi petani lebih parah, akibat perubahan sikap Pemerintah yakni: mengurangi subsidi pupuk, mengurangi pembelian padi / gabah dari petani dan liberalisasi perdagangan dengan impor beras murah dari luar negeri.

3. Dampak negatif dalam kemiskinan – keterbelakangan adalah mereka kurang rasional, mudah percaya & dikendalikan mystik dan mudah dikendalikan hal-hal yang supranatural, sehingga mereka mudah dipengaruhi dan dikendalikan oleh tokoh karismatik / tradisional / paternalistik. Peran dan kiprahnya lebih banyak dalam mengobati kesedihan hati-nurani, dan sebagai

kepanjangan Elit / Kekuasaaan pada saat Kepentingan / Kampanye / Pemilu, tetapi tidak memiliki kemampuan / tidak memperjuangkan hakiki tantangan kehidupan yang miskin.

Keterbelakangan dan kemiskinan pada masa Orde Baru, khususnya petani sudah berusaha diperjuangkan oleh Pemerintah melalui perkebunan Inti rakyat (PIR) untuk kebun sawit dan karet, yang cukup berhasil di Sumatera & Kalimantan, PIR tambak udang di NTB dan Lampung serta Papua. Namun baru menjangkau maksimal 5 juta jiwa. Untuk petani padi di Jawa melalui Intensifikasi pertanian, Irigasi, subsidi pupuk, operasi pasar stabilisasi harga hingga Kredit Usaha Tani. Dalam masa Habibie, Menkop UKM – Adi Sasono mencoba memutus tali lingkaran pembelenggu kemiskinan dengan penyediaan 17 skim kredit bagi petani, nelayan dan pedagang, memperoleh berbagai kritikan, cercaan dan bahkan fitnah & hadangan.

Kini, kemiskinan-keterbelakangan rakyat tidak terlindungi lagi: Tiada skim kredit Program Pemerintah yang memadai, Bank-bank enggan memberi KUT, Subsidi dihapuskan, Pasar persaingan beras, gula, gandum dibebaskan. Sialnya, untuk nelayan, Pemerintah lemah dalam perencanaan sistemik dalam pengolahan pasca panen / penangkapan ikan. Bahkan Fungsi Pemerintah yang diperankan BULOG justru menjadi kebocoran / korupsi dana Negara. Dalam skala nasional, kondisi keterbelakangan masih dibelenggu oleh kekuatan Internasional: Pasar, Modal, Teknologi dan Hambatan Non Tarrif. Jumlah pengangur 42 juta jiwa saja tidak memperoleh penanganan dan solusi bahkan usaha rakyat petani-nelayan-pedagang yang dapat menghidupi 160 juta jiwa saja dibiarkan terbengkalai dan dikhianati. Rakyat kita sudah terjebak bukan saja lingkaran setan, tetapi dalam Lubang Hitam Setan Kemiskinan ( Vicious Black Hole of Poverty) !!.

Selasa, 11 Agustus 2009

BAGIAN KEDUA BAB IV : PEMBANGUNAN MORAL dan KEMAJUAN BANGSA


Kajian ringkas atas paradoks demokrasi politik-ekonomi yang berlangsung sejak Orde Baru (1968 hingga kini), memberikan gambaran betapa biadabnya moral para elit politik-pemerintah & kroni yang serakah penuh hawa nafsu dan betapa miskin-tertindasnya rakyat banyak. Keserakahan korupsi & hawa nafsu para elit telah menutupi sinar dari Yang Maha Kuasa berupa kecerdasan fikiran dan jiwa nurani pengabdian, sehingga memberi gambaran suramnya masa depan kita. Peradaban bangsa dan negara Indonesia seolah bagaikan pertarungan satwa dalam hutan gersang dengan hukum rimba atas dasar kaidah Demokrasi yang penuh Paradoks ~segala realita perilaku / proses bertentangan dengan tata nilai luhur demokrasi & hukum agama ~ memberi gambaran bahwa perubahan reformasi memberi ketidak pastian masa depan kepada sebagian besar rakyat Indonesia.

Hancur leburnya perokonomian nasional akibat pencurian / dikurasnya sumber kekayaan alam Indonesia oleh asing & pencuri, jatuh miskinnya 160 juta rakyat akibat pengingkaran-pengkhianatan, pencurian raksasa uang negara oleh koruptor & kroni konglomerat, dikuasainya BUMN dan perusahaan swasta nasional dengan dijual murah, kondisi negara yang lemah dan tidak merdeka (berdaulat) akibat terjerat hutang lebih Rp. 1000 triliun, kini diperparah oleh kehancuran moral yang sedang melanda elit Pemerintah & DPR/D dengan neo-KKN yang lebih besar dan lebih luas. Upaya perbaikan dengan hipotesa agenda Reformasi justru mengancam kehancuran yang lebih hebat. Sebab, agenda reformasi dalam demokrasi yang penuh paradoksial, telah diganti oleh pemeran Elit dan Politisi yan tidak memiliki jiwa dan pegangan nilai kebenaran-kebaikan universal, yakni : Berjiwa negarawan dengan mementingkan sebagian besar (mayoritas) rakyat, dan membela kebenaran dengan memperjuangkan keadilan sosial-ekonomi secara luas.

Kita, sebagai kaum rakyat yang hidup dalam kesusahan namun masih taat menjalankan hukum Agama, niscaya masih memiliki nurani bersih dan masih mengetahui / memahami sistem nilai kebenaran-kebaikan yang harus dirumuskan secara konstruktif dalam tata nilai luhur yang dapat diterapkan dalam sistem aturan (UU) atau kerangka pengawasan dalam Kepemerintahan, guna mencegah kehancuran moral dan membangun moralitas bangsa ~ untuk suatu tujuan-sasaran utama: keadilan, kemajuan-kesejahteraan mayoritas rakyat Indonesia secara pasti dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Selanjutnya, kita sebagai rakyat & bangsa harus mampu merumuskan nilai-2 kebenaran dan keburukan (kejahatan) dalam perangkat opersional atas dasar sistem nilai Agama sehingga memberi kesiapan konsep pelaksanaan. Hal itu mengingat tata nilai kebenaran-keburukan Agama perlu direalisasikan secara nyata bagi pembangunan moral dan pemanfaatan bagi umat manusia-rakyat dan bangsa. Prinsip demikian menampakkan urgensi menyikapi kondisi krisis moral bangsa, sejalan dengan dakwah Agama (Islam khususnya) yang berisi pesan ajakan (amar ma’ruf) dan pencegahan (nahi mungkar) bersifat sangat umum yang memerlukan penjabaran dan realisasi. Bahkan sering dan banyak dijumpai, ajakan dakwah cenderung bersifat dogmatis yang berlawanan (paradoksial) atas masalah atau keadaan nyata, dan sering sulit dicerna / dihayati makna sesungguhnya bagi pembangunan moral bangsa. Kesiapan konsep demikian juga akanmencegah penggunaan Agama atau Ayat-ayat suci sebagai alat sesuatu tujuan yang tidak baik atau untuk manipulasi atau bahkan pengingkaran / pengkhianatan oleh orang / kelompok atau bahkan menjadi media kampanye / alat propaganda politik yang dapat menciptakan Stigma Agama (Islam).


IV.A. Pembangunan Moral Dalam Sistem Pemerintahan

Bangsa kita sebagai bangsa yang ber Tuhan tetapi dipimpin oleh Elit Perampok dengan Moral yang Bejat ?.

Bangsa-negara Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara yang meliputi 5 Sila. Pertama, KeTuhanan Yang Maha Esa yang memiliki makna bahwa bangsa dan negara Indonesia ber Tuhan atau memiliki Tuhan, yakni memeluk agama yang didasarkan oleh Syariat dan keyakinan masing-masing. Dalam ajaran Islam diajarkan, bahwa segala tindakan dan Ibadah yang keseluruhannya adalah pengabdian kepada Allah SWT sebagai Yang Menciptakan. Keyakinan demikian, merupakan keyakinan Hakiki dalam beragama, sehingga menjadikan manusia mampu melakukan kontrol atas diri (rasional dan emosi), dan terbangun sifat kebajikan yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sebab, mereka yakni -–meskipun segala tindakan memiliki peluang untuk berbuat jahat ~ korupsi misalnya, mereka dapat menahan diri, menghindari dan berusaha mencegah.

Namun, sebgaian besar Elit, keyakinan Ber Tuhan selama ini cenderung menjadi simbol saja, atau hanya diyakini sebatas dalam batin saja dan bahkan banyak yang mengingkari sebagai keyakinan bahwa manusia senantiasa dalam pengawasan & kontrol Sang Pencipta~Tuhan YME. Keyakinan dimbolis ini melanda sebagian besar ummat Islam, sehingga terjadi sikap & tindakan yang paradoksial dalam melakukan yang benar-baik dalam Ibadah wajib) namun juga melakukan yang salah-jahat dalam hubungan dunia (maling, menipu, khianat, korupsi). Tingkat keyakinan yang paradoks ini yang menjadikan Agama sebagai simbol dan ibadah wajib hanyalah seremonial. Sedang yang melanda kaum Elit Pusat Kekuasaan adalah sikap pengingkaran Tuhan YME, dan menjadikan manusia yang memiliki sifat-sifat Iblis, yang tega dalam melakukan tindakan buruk-jahat dan memakan apa saja dari kejahatan (rampok-korupsi) dan bahkan menindas (menyerap darah-menyengsarakan rakyat). Kaum elit dalam kategori ini, bahkan dalam keadaan terpepet – terancam tega mempergunakan Agama atau ayat-ayat Suci Agama sebagai alat untuk mempertahankan atau bahkan menyerang balik ~ yang bisa disebut sebagai pengkhianatan ganda atau kuadratik. Dalam konteks krisis moral yang kini melanda bangsa ~ khususnya para Elit, Ketuhanan Yang Maha Esa hanyalah menjadi simbol hiasan dalam bingkai Pancasila yang diteguhkan dalam kekuasaan dan menjadi hiasan dalam kantor-kantor / instansi Pemerintah.

Mendasarkan pada realita diatas, peradaban bangsa ini membutuhkan adanya Sistem Pengontrol untuk terbangunnya moral yang baik ~ khususnya mekanisme (koridor) yang mengarahkan Elit Politik & Pejabat Pemerintah untuk berbuat baik dan mencegah semkasimal mungkin berbuat jahat. Sedang untuk manusia - masyarakat, mengingat adanya nafsu serakah dalam diri manusia dalam memupuk kekayaan (uang) sebanyak-2 nya dari negeri yang memiliki keterbatasan sumber-sumber, nampak dibutuhkan adanya pembatasan yang bersifat relatifitas (proposional) apabila kekayaan tersebut dilarikan sebagai kekayaan pribadi, dan koridor penggunaan kekayaan untuk keperluan produktif. Sistem pengontrol untuk pembangunan moral bangsa demikian, tidak & janganlah diartikan sebagai Negara mengatur aqidah atau agama atau keyakinan pribadi ~ namun ditujukan semata untuk kepentingan sebesar-besarnya kemanfaatan & kesejahteraan rakyat banyak.

Tujuan utama sistem / kerangka pengontrol adalah membangun kesadaran, pemahaman dan pengamalan hukum (syariat) Agama yang dianut oleh masing-masing individu Elit sebagai manusia yang berTuhan. Realisasi pelaksanaan yang selama ini dijalankan hanya sebatas dalam acara pelantikan seseorang sebagai Pejabat Negara atau Politisi, yang bersumpah dibawah kesaksian kitab suci Qur’an (Islam) dan Injil (Kristen), dengan membacakan “Saya bersumpah kepada Tuhan YME dan Rakyat Indonesia…”. Namun dengan keadaan kehancuran moral elit, Sumpah yang dibacakan adalah sumpah palsu. Keyakinan berTuhan hanyalah Retorika belaka – seolah menunjukkan kesungguhan elit pejabat dalam mengemban amanat rakyat. Dalam membangun kesadaran & pengamalan berTuhan, kita memerlukan media penyadaran dengan media nyata selan dakwah atau kebaktian yang rutin dilakukan para kaum ulama atau pendeta.

Penyiapan konsep tindak lanjut untuk pelaksanaan/ penerapan konsep KeTuhanan YME, perlu dirumuskan perangkat kontrol dalam Tata-Nilai ~ yang memiliki kebenaran-kebaikan hakiki dan universal, sebagai wujud pembangunan moral dalam pengelolaan (manajemen) Kenegaraan dan kepemerintahan bagi kepentingan dan kemanfaatan sebesar-besarnya manusia-rakyat dalam jalannya peradaban-pemerintahan dan keunggulan Indonesia sebagai negara yang bermartabat, diantara negara-negara dan dimata Sang Pencipta. Selanjutnya, dasar sistem pengontrolan watak-perilaku Elit / pejabat Pemerintah perlu dirumuskan dalam tata nilai yang dapat dikelompokkan dalam 2 bagian utama, yakni Nilai Kebaikan dan Nilai Keburukan (Kejahatan). Nilai kebaikan selain menjadi wajib hukum menurut Agama, juga menjadi Kewajiban bagi Elit untuk tunduk ditaati dan dilaksanakan. Sedang nilai kebaikan menjadi larangan yang harus dihindari. Untuk memberi motivasi ketaatan untuk melaksanakan kedua tata-nilai tersebut, perlu dirumuskan imbalan (kontra prestasi) yang berupa imbalan jasa (selain pahala menurut agama) dan sanksi (selain dosa) yang dapat direalisasikan. Ringkasnya, tata nilai kebaikan dan keburukan menjadi hukum Imperatif ~ yang bersifat keharusan untuk dilaksanakan.

Rumusan pokok-pokok isi tata-nilai kebaikan pada intinya memiliki tujuan-sasaran melindungi sebagian besar rakyat mampu mengelola dirinya – untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan secara adil (berkeadilan) dan secara terus menerus (berkelanjutan). Dengan demikian, substansi pokok nilai kebaikan adalah sistem koridor kontrol yang menjaga para Elit untuk tetap teguh menjaga Amanat (kepercayaan / mandat) yang diberikan oleh Rakyat kepadanya. Apalagi kilas perjalanan rakyat-bangsa kita sejak penjajahan hingga kini, memberikan gambaran nyata Rezim Penguasa & Elit telah melakukan penindasan dan pengingkaran kepada rakyat. Oleh karenanya, tata-nilai penjagaan amanat rakyat menjadi tonggak utama dari nilai kebaikan, dan dijabarkan lebih lanjut dengan tata-nilai kebaikan untuk operasional / penerapan kehidupan nyata. Atas dasar renungan dan kajian diatas, diperoleh rumusan 7 (tujuh) pokok nilai kebaikan yang bermakna sebagai sistem kontrol bagi para politisi dan pegawai negeri (negarawan) sebagaimana dirumuskan dalam tabel 2 berikut. Sedang tata nilai keburukan adalah pengingkaran amanat (pengkhianatan) atas tata nilai kebaikan, yang merupakan tindak kejahatan negarawan ~ selain merugikan Negara, juga merugikan rakyat serta menyengsarakan bangsa – negara secara keseluruhan.

Azas / kaidah tata-nilai diatas, perlu dijabarkan lebih lanjut dalam definisi dan arti / makna serta penjabaran konsep pelaksanaan yang jelas & tegas, dan selanjutnya perlu kita sosialisasikan secara luas sehingga memperoleh dukungan dan penguatan pelaksanaannya dalam perjalan peradaban, yang mencakup 2 segi :

(a) Penguatan secara sistemik sehingga menjadikan kerangka hukum yang effektif dalam sistem kontrol dengan sanksi hukum yang sangat berat (hingga hukuman mati) mengingat dampak buruk & kerusakan yang luas pada rakyat, dan

(b) Penguatan kontrol sosial rakyat dengan bangkitnya kesadaran dan partisipasi rakyat secara terbuka dan menjadi bagian sistem pengawasan. Bangkitnya partisipasi rakyat ini dapat berperan sebagai perimbangan sistem kontrol / pengawasan yang ada (oleh BPK, Inspektorat dan DPR) sebab kelemahan mendasar adalah sudah terjalin / terbangun sistem konspirasi / kolaborasi kuat antara Birokrasi Pemerintah dimana pejabat-pegawai negeri didalamnya juga sudah terjalin sub-sistem konspirasi dengan elit.

Bangkitnya kesadaran rakyat untuk melakukan partisipasi dalam kontrol pelaksanaan para elit politisi dan Pemerintahan ~ khususnya dalam pembangunan moral (jiwa pemegang amanat), akan membangkitkan kesadaran luas bahwa kedaulatan sesungguhnya adalah ditangan rakyat, sehingga nasib & masa depan rakyat tidak dapat hanya bertumpu dan diserahkan begitu saja kepada para elit berkuasa. Kebangkitan demikian, sekaligus dapat membangun jiwa-moral para elit dalam realisasi nilai menjaga amanat dalam fondasi-aspek-dimensi yang kelengkapannya, yakni : membela kepentingan untuk kemajuan rakyat, penjaga-pahlawan dari tindakan pembodohan-penindasan pada rakyat, penjaga-pahlawan dari pengkhianatan pada rakyat, pahlawan rakyat dengan menangkap koruptor dan pelindung-penjaga generasi muda sebagai mitra sistemik yang akan menjadi penerus kelangsungan peradaban yang maju, bermartabat & sejahtera.

Uraian tujuh tata nilai kebaikan diatas, masih perlu dikaji lebih mendalam apakah perlu ditambah atau dikurangi, dengan mempertimbangkan terdapat lebih seratus nilai kebaikan atau bahkan seribu atau sejuta kebaikan. Namun demikian, penyiapan tata nilai harus memiliki tujuan-sasaran dan pegangan pokok yakni : Penyiapan tata-nilai pokok yang jelas dan tegas dapat dilaksanakan dalam membangun para elit politisi & pemerintah. Dengan demikian, terbangun dan terlaksananya jiwa para elit dalam mengemban amanat rakyat ~ demi untuk kemajuan & kesejahteraan rakyat, bukan basa-basi apalagi manipulasi atau pengkhianatan pada rakyat yang telah berlangsung hingga kini.

Sedangkan imbalan atas pelaksanaan-prestasi atau sanksi / hukuman atas pelanggaran / pengingkaran tata-nilai tersebut harus dapat direalisasikan dan dirasakan secara nyata. Pertimbangannya, adalah para elit dalam pengabdiannya sebagai negarawan pada hakekatnya adalah membawa kesejahteraan ~ dalam hubungan duniawi dengan tolok ukur kemajuan duniawi (material) dan kesejahteraan (non material). Imbal jasa atau sanksi seharusnya tidak seperti konsep yang selama ini ditempuh oleh DPR/D atau Lembaga Pemerintah yang menilai dirinya sebatas pelaksanaan formal saja ~ yang pada akhirnya merupakan penghamburan uang negara dengan pesangon, fasilitas dlsb. Perimbangannya, partisipasi rakyat sebagai pengontrol sekaligus penilai atas kinerja yang ditimbang dengan pelanggaran atau nilai negatif. Sistem kontrol dan pengawasan oleh Dewan Perwakilan atau sistem Pengawasan Pemerintah dengan demikian akan terpacu meningkatkan diri, mulai komitmen, pemikiran dengan kiprah kerja nyata – dan bukan hanya duduk-rapat-ambil honor seperti yang selama ini berlangsung (menipu rakyat).

Sekali lagi tujuh nilai kebaikan dan keburukan yang mendasarkan nilai hakiki pengabdian pada Tuhan YME sebagai sang Pencipta adalah fondasi sekaligus koridor untuk menjaga dan mengawasi para elit yang disertai partisipasi rakyat – yang selama ini tidak kita kontrol secara sistemik. Tata nilai tersebut adalah usaha rasional untuk menjaga negarawan dan perannya dalam pengabdian pada bangsa & negara – tata nilai tersebut bukanlah dimaksudkan sebagai sistem pengaturan akhlaq atau pengaturan sistem nilai syariat Agama (Islam khususnya) oleh Negara. Namun sebaliknya, ummat beragama harus mampu merumuskan kebutuhan tata-nilai nyata & bisa diterapkan bagi bangsa & negara.

Akankah moral para elit terbangun menjadi lebih baik dengan penerapan tata-nilai diatas ?. Membaiknya atau memburuknya moral para elit tidak dapat kita lepas begitu saja kepada mereka yang sedang berkuasa. Kita harus kawal proses perjalanannya. Semakin hedon -apatis – skeptis kesadaran & kebangkitan kita (rakyat), khususnya generasi muda, makin longgar kontrol memberi peluang untuk pengingkaran dan pelanggaran. Sebaliknya, semakin sadar dan bangkit partisipasi & peran rakyat – generasi muda dalam kontrol pengawasan, makin kecil peluang dan kemungkinan pelanggaran / pengingkarannya. Sebab: kesadaran bahwa rakyat memiliki hak untuk maju dan sejahtera senantiasa diimbangi oleh kesadaran dan kebangkitan dalam aspek keadilan sosial-politik dan ekonomi secara luas.

IV.A.A.SISTEM NILAI BAIK & BURUK MANUSIA DALAM BERNEGARA BAGI KEMAJUAN PERADABAN INDONESIA

Tujuan Utama Setiap Tindakan :
Hanya untuk Pengabdian (Ibadah) pada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Pencipta.

Nilai KEBAIKAN:
1)Setiap Tindakan Yang Dianjurkan-Diwajibkan oleh Tuhan YME,
2)Menjaga Amanat Rakyat,
3)Memihak, mementingkan, membela) dan membangun Kemajuan Rakyat,
4)Melawan dan Memerangi Tindakan Pembodohan-Penindasan kepada Rakyat,
5)Melawan dan Memerangi tindakan Pengkhianatan pada Rakyat, Bangsa & Negara,
6)Melawan, Memerangi dan Menangkap para Koruptor,
7)Membangun dan mengorganisasikandiri generasi muda untuk mengawasai jalannya kepemimpinan, roda pemerintahan-pembangunan, pengawasan Legislatif (DPR/D) dan penegakan hukum (Yudikatif),
8)Berjiwa Pratriotik dan Militan dalam Memperjuangkan kebaikan 1-7.

Nilai KEBURUKAN/KEJAHATAN:

1)Setiap Tindakan Yang Dilarang oleh Tuhan YME,
2)Mengkhianati Amanat Rakyat,
3)Mengingkari (mementingkan diri sendiri-gol) dan Menindas Rakyat,
4)Membangun Konspirasi Jahat Tindakan Pembodohan-Penindasan kepada Rakyat,
5)Membangun Konspirasi Jahat untuk Pengkhianatan pada Rakyat, Bangsa & Negara,
6)Melindungi dan Berkolaborasi para Koruptor,
7)Mefitnah, Memecah Belah dan Membusukkan Genrasi Muda untuk Lemah (Apatis, Bodoh dan Letoy) dalam Mengawasai Jalannya Kepemimpinan, Roda Pemerintahan-Pembangunan, Pengawasan Legislatif (DPR/D) dan Penegakan Hukum (Yudikatif),
8)Berjiwa Lembek dan Pengkhianatan atas Perjuangan kebaikan 1-7.


IV.B. Paradigma Pembangunan Ekonomi Yang Berkeadilan


Keadilan, adalah satu kata yang secara latent dikhianati oleh para Elit (politisi & Pemerintah) dan kata kunci yang paling lemah disadari-difahami oleh sebagian besar rakyat, termasuk generasi muda, untuk diyakini sebagai hak-hak mendasar yang harus diperjuangkan, diperoleh dan dirasakan demi untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Keadilan dalam masa Orde Baru – telah digeser oleh azas Pertumbuhan yang ternyata lebih besar menghasilkan konglomerat–koruptor -perampok yang menyengsarakan rakyat. Kini, keadilan juga mengalami nasib lebih buruk, selain diingkari aspek pemihakan-pemerataan sosial-ekonomi, rakyat (petani, nelayan & pedagang) dibiarkan bertarung bebas dengan kekuatan global internasional. Nasib sial seolah menjadi milik Rakyat, sudah jatuh ketiban tangga. Kata rakyat bahkan telah diolah secara trendy oleh PDIP dengan kata Wong Cilik ~ yang menjadi trade-mark dalam jargon kampanye PDIP yang seolah memihak rakyat. Akibatnya, dengan pengingkaran keadilan dalam masa Pemerintahan Megawaty, wong cilik makin kerdil, makin miskin, makin hina dan makin lemah baik fisik maupun mental.
Sejak 1998 saat akhir Pemerintahan Soeharto, hingga Megawaty, keadilan harus dikorbankan oleh segerbong agenda untuk penyelesaian masalah kronis bangsa-negara: yakni membayar utang, privatisasi, prestasi mengejar pemasukan negara, memelihara momentum pertumbuhan, pengurangan campur tangan Pemerintah (Liberalisasi), menjaga stabilitas nilia tukar Rupiah dlsb. Pengingkaran keadilan yang sangat luar biasa menyolok adalah :

• Alokasi & distribusi dana BLBI, Kredit program Pemerintah dan Proyek-2 APBN, proyek-2 BUMN yang sebagian besar untuk pengusaha besar. Setelah macetpun, pengusaha besar memperoleh keringanan dan pengampunan,

• Sedang alokasi & distribusi BLI dan Kredit Program serta APBN untuk sektor kecil-menengah tidak mencapai 20%. Setelah macet, tidak ada keringanan dan dipaksa asset (yang berupa rumah tinggal) disita dan dilelang.

Mempelajari pengalaman perjalanan pembangunan selama 38 tahun terakhir, kita-rakyat harus mampu mengelola, mengorganisir diri dan memperjuangkan paradigma pembangunan yang bekeadilan – yang memihak rakyat mayoritas Indonesia. Oleh karenanya, kita harus mampu mengkoreksi kesalahan dan manipulasi dasar pemikiran paradigma pembangunan yang ada yang dapat diuraikan dalam penjelasan berikut :

Pemikiran yang mendasari konsep pembangunan nasional – sejak 1966 hingga kini, lebih banyak dipengaruhi pemikiran materialisme atas hasil ekonomi dan pembangunan fisik untuk kebutuhan kehidupan bangsa. Prinsip-kaidah pemikiran ini minim mengakomodasi aspek pembangunan non-fisik yang selain menjadi kebutuhan manusia, juga menjadi dasar kekuatan keberhasilan pembangunan ekonomi – fisik. Implikasi selanjutnya, kita telah termanipulasi pendekatan demikian, sehingga aspek-aspek mendasar manusia sebagai pelaku dan sebagai tujuan-sasaran pembangunan tersebut menjadi sangat kecil (minim). Aspek dan kaidah pembangunan ekonomi-fisik dan non fisik harusnya menempati kesejajaran dalam porsi perhatian dan alokasi-distribusi dalam kebijakan serta pelaksanaannya. Kita lihat prinsip dasar pradigma dan aspek-2 pembangunan sbb:

Pembangunan Non-Fisik: Manusia
1.Pelaksanaan Komitmen-Amanat: Keadilan, Keamanan, Aspirasi
2.Pendidikan, Kesehatan,
3.Prasarana-Sarana Kesehatan:Rumah Sakit, Klinik, Olah Raga
4.Dukungan Pengembangan Sosial:Hiburan, Seni-Budaya, Adat dll
5.Perlindungan Pelaksanaan Agama
6.Dukungan Kreatifitas, R & D dll

dasar pembangunan diatas menurunkan Paradigma Pemb.Ekonomi & Fisik sbb:

Pembangunan Ekonomi:
1.Produksi
2.Investasi
3.Income
4.Konsumsi
5.Tabungan

Pembangunan Fisik:
1.Prasarana: Jalan, Pelabuhan, Jembatan
2.Geudng, Kantor, Hotel, dll
3.Sarana Utilitas : Listrik, Air Minum, Telekomunikasi dll


Atas dasar tabel dalam boks diatas, ada kesalahan mendasar dalam Paradigma Pembangunan yang ditetapkan sebagai Strategi dan Berbagai Kesalahan dalam pemikiran yang melandasi pembangunan ekonomi. Kesalahan tersebut telahn ditempuh sejak Orde Baru hingga kini dibawah presiden Megawaty sbb:

1) Paradigma pembangunan yang telah menjadi dasar strategi pembangunan, tidak menempatkan prinsip dasar bahwa manusia sebagai penentu, pelaku dan sekaligus sebagai tujuan-sasaran pembangunan tersebut. Manusia tidak dipandang dan tidak diberikan kepadanya suatu kepribadian agar ia menyadari bahwa ias adalah sumber kekuatan yang tak terbatas atas seluruh nilai tindakan yang tak terbatas. Implikasinya: manusia dan sejumlah manusia yang disebut rakyat atau penduduk hanya ditempatkan sebagai kuantitas (jumlah) manusia dengan kualifikasi fisik belaka. Kita bisa lihat betapa kering-gersang Ilmu Kependudukan di Fak.Ekonomi, yang hanya mempelajari manusia pada jumlah penduduk , struktur umur-jenis kelamin dlsb, yang tidak pernah dipelajari faktor jiwa-kepribadian baik-buruk cerdas-kurang pada manusia itu sendiri. Paradigma yang tidak menempatkan manusia sebagai faktor utama, kemudian menurunkan strategi pembangunan non-fisik sebagai dasar paradigma pembangunan dengan turunan pembangunan ekonomi-fisik.

2) Dalam penetapan strategi-kebijakan pembangunan non-fisik, akibatnya terjadi kombinasi Pengingkaran dan Kesesatan jiwa & pemikiran tentang Pembangunan Non-Fisik, yang menetapkan prinsip dasar berikutnya bahwa rakyat memiliki hak yang sama dan sebagai subyek serta tujuan-sasaran (prinsip keadilan). Pengingkaran terhadap manusia-rakyat-bangsa telah mengorbankan prinsip keadilan, dengan menempatkan prioritas pembangunan fisik-ekonomi sebagai kaidah dasr. Dengan dalih (alasan) bahwa rakyat Indonesia cukup bisa makan (diberi beras) sudah dianggap adil, maka Pemimpin dan Pemerintah menetapkan Pembangunan Ekonomi-Fisik sebagai landasan & soko guru pembangunan. Paradigma pembangunan demikian masih berlangsung hingga kini, yang mempertaruhkan nasib 160 juta rakyat yang kini hidup dalam kemiskinan struktural & lingkaran setan. Pembangunan Non-Fisik yang bertujuan membawa kemajuan manusia (cerdas, sehat, aman ) dan kesejahteraan (kebahagiaan dan maju), hanya memperoleh porsi perhatian yang hanya mencukupi untuk manusia Indonesia maju pelan-pelan, dan akibat krisis nasional, bahkan mayoritas rakyat hanya bertahan hidup (menyambung nyawa).

3) Kesalahan paradigam mendasar diatas, menjadikan pembangunan fisik-ekonomi, memperoleh porsi perhatian dan alokasi yang sangat besar mencapai 75% dari total alokasi pembiayaan, baik dana perbankan dari BI, Bank Komersial,proyek-proyek APBN serta BUMN. Dari alokasi 75% tersebut, sebagian besar (lebih 75%) disedot-dirampok konglomerat besar yang hanya meliputi kurang 4% penduduk atau sekitar 8 juta jiwa. Sedang sisa dana yang 25% untuk 196 juta jiwa akibat pengingkaran (butir-2 ).

4) Paradigma pembangunan ekonomi-fisik pun juga berlandaskan pada pemikiran dan pendekatan yang salah dalam memandang rumusan ekonomi makro yang rintis oleh Adam Smith, dengan perumusan :

Y=C+S+I dimana
Y=Produksi/pendapatan nasional, C=Konsumsi,I=Investasi dan S=Saving atau Tabungan.

Dengan dasar pendekatan demikian, produksi / penghasilan ekonomi nasional secara sederhana dirumuskan sebagai simbol Y. Kemudian ekonomi direncanakan atas dasar jumlah penduduk yang tumbuh dan produksi nasional yang diharapkan tumbuh agar mencukupi kebutuhan penduduk yang tumbuh tersebut. Perencanaan ekonomi nasional kemudian melakukan penyederhanaan dengan merereduksi rumusan diatas dalam pendekatan matematis berikutnya. Apabila Y (produksi) diharapkan / direncanakan tumbuh 5% per tahun berarti dengan mempertimbangkan penduduk naik 2%, Konsumsi diasumsikan 80% dari produksi dan tabungan sebesar 10% dan sisanya diinvestasikan (I) sebesar 10%. Atas dasar pola tersebut secara nasional membutuhkan modal atau Investasi (I) sebesar 5 kali dari pertumbuhan 5% yang akan dicapai. Kebutuhan Investasi (I) sebesar 5 kali pertumbuhan diperoleh dari pembagian bilangan 1 dibagi selisih (marjin) kecenderungan konsumsi (MPC-Marginal propensity to consume). Apa tindak lanjut dari keyakinan yang berlebihan dari paradigma pembangunan yang mengingkari faktor manusia dan penyederhanaan diatas ?.

Kita menyaksikan: Pemerintah Indonesia selalu dan selalu menambah Investasi dengan berhutang (pinjaman=loan) dari mancanegara dan IMF. Demikian pula swasta. Setelah dana diperoleh dalam jumlah besar, apakah yang kemudian sebenarnya terjadi ?. Ada 3 jawaban:

a. Untuk sektor pertanian: Selama PJPT I menunjukkan kinerja yang baik dengan dicapainya Swasembada Pangan akibat keberhasilan Pertanian. Penambahan modal untuk Bendungan, irigasi, pupuk, pembasmi hama serta sarana produksi dapat memacu produksi (penghasilan) pertanian. Namun terdapat kesemuan dalam sektor berikut:
Sektor perkayuan dari hasil hutan: menampakkan kemajuan Industri Kayu yang semu, sebab: Harga kayu yang berupa setoran Dana Reboisasi dan Iuran Hasil Hutan (IHH) dinilai sangat rendah, dan penebangan kayu hutan alam tidak diimbangi dengan usaha reboisasi (perusakan hutan), Demikian pula perikanan. Sedang sektor pertambangan – migas – produksi (penghasilan) diperoleh dari kontrak bagi hasil dengan Kontraktor asing yang tidak menjadi beban kewajiban hutang. Meskipun demikian, sektor primer inilah yang sebenarnya memberikan pemasukan terebesar dalam produksi nasional.

b. Tetapi untuk sektor Industri ? Ternyata, pabrik-pabrik besar yang ada (tekstil, petrokimia, besi-logam, automotif, elektronik dlsb) menjadi sektor yang menghisap devisa, karena komponen impor yang sangat besar. Tingkah laku pasar internasional, motivasi pengusaha, kemajuan teknologi, kurang diperhitungkan dalam rencana yang bersifat dinamis.

c. Adanya salah asumsi dan salah kajian-analisa pada faktor Watak pelaku Ekonomi skala besar (konglomerat) dan Penyakit Korupsi Pejabat Pemerintah, yang ternyata dalam mengajukan proposal, nilianya sudah dimark-up dan sebagian dananya sudah dilarikan keluar negeri dan sebagai Fee (komisi) Pejabat. Aspek korupsi lepas dari perangkat analisa ekonomi kita yang hingga kini belum pernah ada pengakuan.

Secara medasar, penerapan rumus diatas sama sekali tidak memperhitungkan faktor sosiologi pelaku : Pejabat Pemerintah & BUMN, Pengusaha, Perangkat Hukum serta Aspek Mikro Dinamis tingkah laku pasar Industri. Dengan demikian, kombinasi Pengingkaran dan kesalahan dasar paradigma pembangunan ekonomi harus kita kaji ulang dan kita susun dengan Paradigma Yang membawa Keadilan bagi Rakyat. Adopsi rumus yang menyederhanakan pembangunan ekonomi diatas, mengabaikan sejumlah asumsi tentang tingkah laku, kondisi ketidak sempurnaan informasi, kemajuan-inovasi teknologi, persaingan pasar, jebakan bunga & skenario dan faktor-faktor sosial yang bermuatan sistem nilai – yang sangat-sangat sulit diakomodasikan dalam perumusan matematis.

Penyederhanaan dan pemberlakuan umum perencanaan ekonomi sudah harus dihentikan, dan diganti dengan konsolidasi perencanaan mikro-detail (sebagaimana Malaysia) pada tingkat komodity, lokasi, aspek dinamis pasar serta pelaku ekonomi dan pejabat Pemerintah. Selanjutnya, perencanaan pada tingkat mikro komodity harus mencakup strategi industri pengolahan dalam rangka pemerolehan nilai tambah yang besar dalam skedul waktu yang pasti & konsisten. Keengganan (kemalasan) dan kelemahan dalam perencanaan mikro ini dapat kita rasakan dampak buruk yang hingga kini kita rasakan pada komodity Sawit, Coklat, Karet, Hasil ikan, tambang emas-tembaga-nickel-besi, yang memiliki nilai jual rendah dan selalu dipermainkan oleh pasar ~ atau hanya ditentukan (price taken).

Dari uraian diatas, sudah saatnya kita melakukan perurubahan atas paradigma pembangunan nasional yang masih diyakini dan dijalankan hingga kini, dengan Paradigma Pembangunan Yang Berkeadilan dengan prinsip / kaidah dasar-dasar berikut:

1) Pembangunan Nasional Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia, oleh karenanya manusia (rakyat) merupakan pusat dan faktor utama dalam membawa kemajuan dan kesejahteraan Indonesia. Implikasinya, dalam perencanaan pembangunan, baik nasional (makro) maupun daerah (mikro), kajian-analisa tentang aspek dasar rakyat menempati kaidah dasar dalam nilia kelebihan & kekurangannya yang tidak terbatas.

2) Pembangunan bertujuan untuk kesempatan dan kemanfaatan yang seadil-adilnya bagi rakyat Indonesia, dan untuk kesejahteraan bagi seluruh rakyat, secara berkelanjutan dengan dilandasi prinsip-prinsip nilai kebenaran, kearifan sesuai hak-haknya. Segala tindakan-kebijakan-program Pemerintah yang melakukan pengingkaran manusia-rakyat Indonesia merupakan kejahatan yang sangat besar.

3) Sumber kekayaan didalam bumi, air, lautan, hutan, tanah dan kekayaan lainnya dikuasai oleh negara yang meliputi Pemerintah dan Rakyat Indonesia, oleh karenanya hak-2 pengelolaan dan peruntukan kemanfaatannya adalah untuk sebagian besar (mayoritas) bangsa dengan cara yang seadil-adilnya. Adapun yang menyangkut konsesi dan kepemilikan harus mengutamakan masyarakat Indonesia (publik) sebagai yang memiiliki kepentingan utama.

4) Perencanaan pembangunan Indonesia sudah saatnya dikelola oleh sumber daya manusia Indonesia yang berpikir dan berjiwa negarawan untuk bangsa-negara Indonesia, yang memiliki kualifikasi berikut:

* Berjiwa dan berpihak pada mayoritas manusia-rakyat Indonesia sebagai pemberi amanat / mandat pada Legislatif dan Pemimpin-Pemerintah untuk kemajuan rakyat,
* Berjiwa arif-bijaksana & jujur yang hanya akan mengambil–memakan atas hasil kerja dan prestasinya,
* Berpikir rasional-ilmiah secara mikro, terinci atas dasar kondisi sosial mayoritas rakyat (160 juta jiwa) yang terbelakang dan potensi pengembangan pribadi manusia mayoritas tersebut dalam mencetak nilai tambah.

DEMOKRASI di MALUKU:
Dari Gejolak Konflik menuju Kemandirian

Propinsi Maluku cukup menarik kita kaji dan kita ambil contoh untuk menarik hikmah dalam menapaki perjalanan peradaban, setlah cukup lama dilanda konflik horisontal antar masyarakat ummat beragama yang merenggut ribuan korban nyawa pada kedua belah pihak. Sebuah propinsi yang merupakan gugusan pulau-pulau tersebar luas sepanjang 1.500 km dan lebar 1.600 km adalah gugusan pulau-2 dan dihuni masyarakat ditengah laut sumber penghasil ikan, hasil kelautan, kayu dan bahkan emas dari dalam perut bumi.

Kondisi sosial masyarakat Maluu yang terdiri dari warga asli lokal, warga pendatang dari luar Maluku (mayoritas Sulawesi Selatan ditambah Jawa-Sumatera) dan minoritas etnis non-pri keturunan Cina, seolah hidup dalam kerukunan selama 32 tahun. Masyarakat menjalani kehidupan dengan pelayanan fasilitas transportasi, pencukupan kebutuhan poko, kesehatan, pendidikan dlsb dalam keadaan yang cukup memadai. Namun demikian, panas sekam potensi konflik sebenarnya eksis melanda dalam warga asli lokal, akibat kombinasi kesenjangan sosial-ekonomi antar warga, pelaksanaan keagamaan yang berdekatan dalam tata-kota wilayah pemukiman yang sempit-heterogen, banyaknya pengangguran, terputusnya tali kekerabatan tradisi sosial warga Maluku dan gap sosial-ekonomi antara pengusaha besar perikanan dan rakyat Maluku serta polarisasi warga pemeluk agama yang dilanda konflik. Keadaan komplikasi masalah sosial-ekonomi demikian menjadikan konflik berlangsung cukup lama, meruntuhkan tatanan / pranata fisik-sosial-ekonomi setempat- (Kantor Pemerintah, Universitas, prasarana ibadah, rumah tinggal dan sekolah). Konflik berkepanjangan ini sudah mengancam hilangnya Jati Diri Sosial masyarakat Maluku, sakibat semangat Masohi-yakni perluasan fanatisme - militansi konflik keseluruh wilayah / pelosok Maluku dan keluar wilayah Maluku. Rasa kepercayaan pada kepemimpinan Pemerintah Pripinsi dan kabupaten runtuh dan mengkristalnya asa ketidak percayaan antara dua kelompok yang konflik. Rakyat Maluku seolah tidak memiliki masa depan yang pasti.

Proses perjalanan rakyat Maluku secara berangsur mulai merasakan keletihan dan dilain pihak masih ada sekelompok orang yang memiliki kesadaran untuk menghentikan konflik bersama Pemerintah (Pusat dan Daerah). Kesepakatan penghentian konflik (perdamaian) dapat dilakukan di berbagai daerah yakni Maluku Tenggara dan Maluku Utara, yang seterusnya di Maluku Tengah. Fase perdamaian, kemudian diikuti pemisahan propinsi Maluku menjadi 2, yakni Maluku Utara (ibukota ternate) dan Maluku (tetap Ambon) sebagai wujud adanya kesamaan sosiologis dan kebutuhan pengelolaan kepemerintahan & pelayan bagi masyarakat. Fase tersebut dilalui dengan adanya pejabat kepala pemerintah daerah yang bersifat sementara – untuk menciptakan keamanan dan stabilisasi. Selanjutnya dilakukan suksesi kepala pemerintahan daerah (kepala daerah) secara definitif melalui pemilihan di DPRD. Maluku Utara dipimpin oleh seorang sipil dan Maluku dipimpin oleh seorang warga asli prun. TNI-AD Maluku (Brigjen purn.Karel Rahalu).

Keduanya memperoleh penerimaan yang cukup baik pasca Pemilu. Semangat dukungan pada saat pemilihan di Maluku sempat menimbulkan kekhawatiran di Maluku., karena Maluku selama ini dipimpin oleh warga Muslim. Namun, kiprah perwira TNI yang terlihat gigih sejak konflik dan panggilan nurani untuk mimimpin Maluku, nampak dari kesiapan Keteguhan Sikap, Niat dan Kepribadian yang mengkristal pada Visi pribadi yang jelas dalam membangun peradaban Maluku. Kini, kemampuan memimpin, mengkoordinasikan dan mengkonsolidasikan baik internal Pemerintahan Maluku maupun dengan Pemerintah Pusat beserta masyarakat Maluku. Tantangan penuntasan konflik sebagaimana dijadikan agenda utama, telah ditampilkan dengan jawaban nyata dalam peran serta masyarakat Maluku dengan dukungan nelayan, penciptaan kesempatan usaha di berbagai sektor. Manusia-masyarakat Maluku menjadi faktor utama dalam strategi-kebijakannya. Kini, tantangan yang ada adalah: Rehabilitasi sosial-fisik baik mutu prasarana fisik, yang meliputi pendidikan, kesehatan, transportasi dll untuk pembangunan rakyat Maluku sedemikian sehingga yang mempu mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dan mengurangi pengangguran dalam rangka sasaran utama kemajuan-kesejahteraan raklyat Asli Maluku.

Sejalan rehabilitasi, Maluku Utara dan Maluku memiliki kekayaan hasil laut Maluku dan tambang emas yang sangat besar, yang bukan saja mampu memberi & mencukup bagi sumber penghasilan Maluku, bahkan juga kepada Pusat dan daerah lain. Laut Arafuru yang menjadi pusat penangkapan ikan, dapat menghasilkan devisa dari penjualan ikan minimal Rp.15 trilliun, belum wilayah perairan laut Banda, laut-laut lain. Apabila dikaji cermat, kedua propinsi ini mampu menghasilkan devisa nasional setiap tahun lebih Rp. 25 triliun dari hasil laut. Sedang dari emas, deposit yang cukup besar di gugusan pulau-pulau Makian, Tanimbar , Seram, Buru dlsb paling sedikit dapat menghasilkan Rp. 2 triliun. Mengingat eksploitasi sumber kekayaan alam Maluku berupa kelautan dan emas ini sangat berbeda dengan eksplorasi Migas (Riau, Kaltim, Aceh), maka Pemerintah daerah memiliki tantangan optimalisasi sumber-2 tersebut bagi daerah yang meliputi:

• Perhitungan, Kajian dan Analisa secara cermat, serius dan independen atas nilai riil pemerolehan devisa Maluku dari penangkapan hasil laut (ikan, udang, teripang, mutiara dll), dalam rngaka untuk perumusan dasar penetapan Kiat-Strategi Kebijakan Pemerintah Maluku dalam hal Pemerolehan Asli Daerah yang sangat vital untuk rehabilitas dan pembangunan kedepan kemajuan-kesejahteraan rakyat Maluku secara mandiri,

• Perencanaan yang cermat untuk dukungan Prosesing hasil kelautan bagi nelayan (pasca panen), agar dapat memberi perlindungan nilai jual hasil dan pemerolehan nilai tambah yang cukup baik / besar bagi nelayan, baik industri-cold storage, transportasi, akses pasar,

• Pembangunan generasi muda rakyat Maluku – khususnya pembangunan pendidikan / akademi teknik menengah yang disesuaikan keunggulan lokal, khususnya kelautan-perikanan dan tambang, dalam rangka memberi jawaban atas pengisian kesempatan usaha, kesempatan kerja dan kebutuhan tenaga ahli menengah dari warga asli Maluku demi untuk kemajuan-kesejahteraan rakyat Maluku kedepan, sekaligus memadamkan akar masalah penyebab konflik dan pembangunan jati diri sosial rakyat Maluku.

STRATEGI MEMBANGUN KEADILAN
Pada MALAYSIA MARI BELAJAR !

Malaysia bukan hanya sekedar negeri tetangga Indonesia, negeri Jiran ini sebenarnya negeri yang bangsa pribumi (asli) adalah rumpun Melayu yang memiliki ikatan kekerabatan. Cukup banya keluarga Malysia memiliki tali-temali sanak-famili atau ikatan atas dasar keturunan moyang, baik dari wilayah Sumatera Barat atau Riau, serta Aceh. Kita dapat menjumpai banyak keluarga dari Malaysia yang sering mengunjungi (silaturahmi) dengan famili-saudara di propinsi Sumatera Barat dan Riau. Malaysia yang kini telah maju, hanya kita tengok sejenak dengan sebelah mata saja atau malu-malu– khususnya oleh orang-2 vokal yang mengaku para pakar / ahli sosial, politik dan ekonomi pembangunan. Padahal Malaysia yang pada dekade 1960 hingga 1970an, banyak berguru pada Ilmuwan dari Indonesia, kini memunculkan realita: kemajuan-keadilan rakyat-negara Malaysia kini sangat jauh dibanding Indonesia. Malaysia bersama Brunei Darussalam, adalah 2 negara Asia Tenggara yang sangat kecil terkena imbas krisis ekonomi. Marilah, jangan malu-malu, berguru pada peradaban Malaysia. Mengapa ?.

Kajian ringkas Malaysia sangat kental dengan kisah negeri Jiran ini dibawah Kepemimpinan Datuk Mahatir Muhammad, seorang Perdana Menteri yang telah memimpin Malaysia selama dua dekade (20 tahun), yang kini telah digantikan Datuk Amin Badawi. Mahatir pada awal 1970 an, menghadapi realitas bangsa yang hampir sama dengan realitas di Indonesia saat ini, yakni kaum Bumiputera atau disingkat BP (Pribumi di Indonesia) yang tertinggal, miskin dan mengalami keterbelakangan dibanding oleh kaum etnis Non-BP asal Cina. Apabila dihitung dari perjalanan waktu, kaum BP Malaysia yang sebanyak 60% tertinggal 18 tahun kemajuannya oleh etnis Cina sebanyak 40% - dari sisi kemajuan sosial-ekonomi. Kerusuhan antar etnis pernah terjadi di Malaysia, seperti halnya yang sering terjadi di Indonesia, akibat kesenjangan sosial-ekonomi. Menghadapi tantangan rakyat asli Bumiputera yang miskin, Mahatir menempuh Strataegi & Kebijakan Pembangunan Malaysia Jangka Panjang (20 tahun) berdasarkan kiat berikut:

1. Konsolidasi dan Strategi yang Jelas & Tegas dengan memberi peluang dalam bidang Politik untuk semua warga, baik etnis Cina maupun Bumi Putera,
2. Dalam bidang Ekonomi, Pemerintah dibawah Mahatir memberi prioritas bagi kaum Bumi Putera, khususnya pembangunan proyek-proyek Pemerintah.

Strategi diatas bertujuan mempersempit kesenjangan sosial-ekonomi, sehingga kedua etnis memiliki keseimbangan / kesetaraan ~ yang akan menjadi dasar fondasi yang kokoh dalam perjalanan peradaban dan pembangunan jangka panjang Malaysia. Implikasinya, etnis Cina dapat berperan dalam kancah Politik dan Pemerintahan, dan tuntasnya persoalan ideologis dan aspirasi etnis Cina dalam politik Malaysia.

Malaysia membangun fondasi moral, dengan menegakkan hukum yang konsisten & tegas dalam mencegah Korupsi, dengan menindak tegas pejabat / pegawai negeri koruptor. Namun Pemerintah juga memberikan insentif gaji & fasilitas yang sangat mencukupi sehingga mereka dapat berperan sebagai negarawan tulen. Demikian pula dalam membangun moral masyarakat, Malaysia menetapkan sanksi hukum yang paling keras di seluruh dunia ~ dalam hal pelanggaran Narkoba. Seseorang yang kedapatan membawa Narkotika atau ganja melebihi 50 gram dapat terkena ancaman hukuman mati atau penjara dalam waktu yang lama. Coba bandingkan dengan Indonesia, sangat sering tertangkap membawa ganja melebihi 10 KG (10.000 gram), bahkan pernah 2 ton hanya diganjar hukuman penjara 9 bulan, bahkan misterius entah lepas, dipeti-eskan atau dilepaskan oleh jaringan konspirasi. Pemerintah juga melakukan kontrol yang tegas dalam bidang Hiburan, Pers dan peredaran VCD porno yang masuk gencar dari Barat (poros AS). Namun demikian. Pemerintah memberi akomodasi bagi kaum etnis Cina untuk membuka kawasan judi di Geylang, sehingga lokalisasi judi dapat dikontrol Pemerintah.

Sikap tegas Pemerintah dalam prinsip keadilan, penegakan hukum dan teguh memegang kepercayaan (Amanat) yang diberikan rakyat kepada para Elit, adalah pembangunan infrastuktur sosial yang memberikan dukungan kondusif untuk jalannya program pembangunan : yakni terciptanya ketertiban, kepastian dan stabilitas sosial-politik dan keamanan dalam negeri dengan manusia (rakyat asli) sebagai subyek dan sasaran. Landasan demikian, menjadikan pembangunan yang direncanakan secara cermat dapat berjalan secara konsisten manapaki kemajuan. Pemerintahan Malaysia menampakkan sebagai Pemerintah yang Bersih dan Baik dalam melayani-melindungi rakyat sedemikian sehingga mampu berperan mendorong kemajuan rakyat (Clean & Good Governance). Kiat Malaysia dalam menarik penyertaan modal dari luar lebih memilih sistem kerjasama dengan bagi hasil dibanding sistem bunga, sehingga Malaysia dapat terhindar dari jebakan rente permodalan.

Datuk Mahatir memahami betul makna dan faktor manusia ~ yakni bangsa / rakyatnya ~ yang bukan saja sebagai sasaran (obyek) pembangunan, tetapi sebagai pelaku (subyek) yang menjadi penentu kemajuan Malaysia kedepan. Wujud nyata adalah dukungan Pemerintah pada pendidikan dan kesehatan yang besar & serius. Rumah-sakit di Malaysia, bahkan kini sudah memasuki visioner manusiawi, Rumah Sakit sebagai Jasa penyehatan yang nyaman bagai di hotel berbintang dengan kualitas pelayanan & penyembuhan yang baik. Hebatnya dibanding Indonesia, gaji dokter – pegawai hingga direktur lebih tinggi & biaya pengobatan & rawat inap lebih murah di Malaysia, tetapi RS memiliki keuntungan lebih baik dibanding RS Indonesia dengan tarrif lebih mahal namun gaji pegawai-dokter lebih rendah. Dalam bidang pendidikan, kalau mau belajar Ekonomi Syariah (Ekonomi dengan sistem bagi hasil) Malaysialah guru kita. Dalam hal makanan, Malaysia sudah gencar mengkonsumsi menu & meals dari hasil ikan untuk menggeser menu sampah (Junk Food) seperti Chiky Balls, Crespy, Nyam-Nyam yang banyak beredar di Indonesia.

Strategi dan prioritas perencanaan pembangunan ekonomi sektoral disusun hingga pada tingkat mikro, yakni Kommoditi dengan dasar Optimalisasi Nilai Tambah yang diperoleh dari pengembangan komoditi tersebut, khususnya berorientasi industri pengolahan (agro industri) yang memiliki nilai tambah besar. Hal ini dapat dilihat dalam pengolahan biji kelapa sawit kedalam Industri Oleokimia, yang menghasilkan mulai minyak Goreng, Sabun dan berbagai output turunannya. Luas lahan perkebunan sawit di Malaysia yang lebih sempit (750 ribu ha), tetapi mampu mencetak hasil devisa 5 hingga 6 kali lipat dibanding Indonesia yang luas lahannya 2 kali lipat Malaysia. Ironisnya, berpuluh-puluh ribu buruh tani kebun sawit bekerja di Malaysia, dan Kini raksasa pengusaha Malaysia (GUTRI) telah membeli ratusan ribu ha lahan sawit di Indonesia. Kekhawatiran Bung: Jangnalah kita menjadi buruh diantara bangsa-bangsa dan buruh di negeri sendiri mulai terwujud !.

Dr.Mahatir Muhammad – yang barusan menerima Doktor Honoris Causa dari UGM, adalah Figur Pemimpin yang telah memajukan secara adil, juga sebagai tokoh yang pandai dan berkarakter. Niat jahat poros AS (Yahudi) yang hendak menghancurkan Malaysia, dengan serangan, infiltrasi yang berkolaborasi elemen dalam negeri dengan agenda demokrasi, pembaruan, kebebasan (moneter dan pers) ditangkal tegas. Resep Datuk Mahatir : Kita sebagai bangsa haruslah menjadi bangsa yang Pandai, sehingga tidak bisa ditindas bangsa lain. Keadaan ini sangat kontras (berlawanan) dengan opini para pakar /akademisi kita yang telah sekolah di AS & ERopa ~ yang dengan sinis selalu mengamati Indonesia dengan kacamata Barat (AS atau Eropa) yang secara tidak disadari mereka menjadi bagian atau bahkan antek-antek poros AS untuk pembodohan, penindasan, dan penghisapan yang telah menghancurkan Indonesia (dengan resep IMF, Globalisasi, Privatisasi, Keadilan yang ternyata menyesatkan.

Demikian pula, para ahli Filsafat atau Ahli pemikir Peradaban atau pemikir politik yang hanya menilai Mahatir sebagai seorang yang ahli manajemen dengan kepandaian mengelola sistem Pemerintahan. Apabila kita memhami dengan renungan hati yang sejuk, konsep dan strategi Mahatir memiliki kematangan visi yang telah diolah secara hebat, yakni: Mahatir benar-benar paham bahwa ummat manusia, khususnya rakyatnya hidup di dunia ini sebagian besar waktunya adalah dalam bidang hubungan duniawi yang bagian terbesarnya adalah dinamika hubungan ekonomi – dalam memperoleh penghasilan, kesejahteraan dan kemajuan berikutnya. Menghadapi rakyat asli Malaysia (Bumiputera) dalam keadaan terbelakang / miskin dibanding etnis cina, maka nilai keadilan menjadi dasar nilai yang utama dalam strategi pembangunan Malaysia. Perangkat sistem pemihakan menjadi kebijakan operasional Pemerintah untuk merealisasikan keadilan. Kemudian mempelajari dan menyadari negara-negara Barat (poros AS) merupakan jaringan kekuatan Global ~ yang dengan segala cara ~ menguasai dunia dan negara-2 ketiga (terbelakang), Mahatir menetapkan aturan hukum sangat tegas ~ sebagai wujud nyata bahwa Pemerintah harus melindungi rakyatnya, baik pada pelanggaran Narkoba, korupsi atau pidana. Sistem nilai Barat seperti kebebasan, demokrasi, liberalisasi, diskriminasi, pemihakan dipilih secara selektif dan tepat ~ demi untuk kemajuan rakyat. Visi Mahatir ang kelihatannya sederhana, justru menjadi keunggulan konsepnya untuk penerapan dan pelaksanaan yang membawa hasil bagi kemajuan Malaysia ~ dengan tetap menjaga Tradisi dan Karakter Malaysia sebagai bangsa Melayu. Kita lihat dalam hiburan, Mariah Carey boleh saja tampil di Malaysia, tetapi harus berpakaian sopan menurut adat-istiadat Malaysia.

Dalam menghadapi serangan kekuatan Global (poros AS) yang dikelola kaum Yahudi, Datuk Mahatir berani melawan seorang diri – diantara para Pemimpin negara-2 di dunia – menyampaikan kritikan tajam atas sikap-tindakan blok Barat dan Yahudi yang tidak bermartabat dan mencampuri hingga bermaksud memporak-porandakan negara-2 ketiga. Sekali lagi, resep Mahatir adalah : Kita harus pandai.

Kini, dengan kesejahteraan rakyat Malaysia yang maju secara adil dan sikap teguh Pemerintah-Para Elit dan Pengusaha Malaysia memegang amanat, telah menjadikan Malaysia sebagai negara yang Aman dan dapat dipercaya – sehingga menjadi wilayah negara yang memiliki kepercayaan (Trust) bagi pemilik Petro Dollar Timur Tengah untuk mengalihkan dana dari Eropa dan AS, dan menempatkannya di Malaysia tanpa Pemimpin & Elit shoping apalagi ngemis-ngemis ke IMF. Malaysia telah menjadi magnit bagi masuk dan penempatan dana lebih US$ 200 miliar, dengan sistem bunga 0%. Bandingkan dengan Indonesia, untuk memperoleh pinjaman US$ 5 miliar saja, harus kehilangan “kedaulatan / kemerdekaan” sebagai negara berdaulat yang harus menuruti selera & agenda IMF dan bllok Barat dalam bidang sosial, politik, ekonomi, hankam dan bahkan penerapan agama.

Adakah literatur buku dari Strategi-Kebijakan Pembangunan Malaysia di perpustakaan sekolah atau perpustakaan Pemerintah kita dan mudah kita baca ?. Sadarlah, belajar ke Eropa dan AS selain jauh lebih mahal, juga menyesatkan. Sedang ke Malaysia, tidak akan ada kecurigaan yang dibangkitkan dalam bentuk fitnah / tuduhan sebagai terrois apabila warga Indonesia berkunjung apalagi studi disana !.

IV.C. Penerapan Sistem Bagi Hasil (Syariah) dalam Permodalan

“Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta (dien, nafs, aqal, nasl, maal) mereka. Segala hal yang menjamin terlindungnya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia” (Imam Ghazali)

Terjadinya perampokan dana Negara akibat pembobolan BLBI sebesar lebih Rp.500 triliun dan berbagai kerugian yang dialami oleh Bank-bank komersial serta kerugian besar yang dialami oleh masyarakat pengusaha / industri Indonesia akibat jebakan hutang lebih Rp.1000 triliun, harus dijadikan pelajaran yang berharga untuk melakukan koreksi akibat sistem peminjaman dana / modal yang dilakukan oleh Bank-bank atau lembaga permodalan / keuangan yang menerapkan sistem bunga. Kelemahan mendasar sistem bunga adalah jebakan resiko pembayaran bunga atas ketidak pastian dan force mayeur masa depan, yang berarti peminjam serta bank bank sudah bersikap melampaui kekuasaan Tuhan. Sistem bunga pinjaman juga telah menjebak bangsa-negara kita menanggung beban hutang yang sangat besar pada IMF dan negara-2 maju ditambah revaluasi mata uang asing (dollar AS) yang tidak diperhitungkan secara cermat. Akibatnya, bungan pinjaman setiap tahun yang harus ditanggung sudah melewati US$ 5 miliar dalam APBN atau berkisar Rp.45 trilliun.

Didalam masyarakat ekonomi skala kecil – menengah juga terjadi praktek pinjam-meminjam dengan bunga (rentenir) yang sangat tinggi, berkisar 10%-15% per bulan, sehingga mengurangi keuntungan usaha yang cukup berarti – yang dapat menghambat pertumbuhan usaha. Para rentenir banyak kita jumpai di hampir seluruh pasar. Bank-bank komersial terlihat sangat malas menyikapi masalah kebutuhan modal masyarakat kecil-menengah hingga kini. Untuk masyarakat petani dan nelayan, bahkan mereka banyak sekali yang terjerat dengan pengijon dan pemodal yang telah membeli sebelum panen dan memberi pinjaman modal, yang akibatnya menekan harga jual panen / tangkapan ikan. Masyarakat petani-nelayan hidup dalam lingkaran setan kemiskinan & penindasan.

Sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan yang berjiwa keadilan, sistem perekonomian kita secara bertahap sudah mulai menerapkan sistem bagi hasil (syariah), khususnya dalam dukungan permodalan / finansial usaha. Meskipun terlambat, penerapan sistem bagi hasil telah dimulai sejak 1995 dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia, dan kini bank-bank komersial sudah mulai membuka divisi khusus bank syariah yang menerapkan bagi hasil. Negara-negara maju di Eropa, Jepang, AS dan New Zealand sudah lama menerapkan sistem bagi hasil, dan pada abad 21 ini hampir sebagian besar bank-bank dan lembaga keuangan / permodalan menerapkan sistem demikian.

IV.C.1. Ekonomi Syariah, versus KAPITALIS GLOBAL (Aries Muftie)

Globalisasi sebagai usaha turunan dari prinsip dasar kapitalis menjadi semakin tidak jelas, para pakar Ekonomi Barat pun mulai banyak meragukan kemampuannya menjadi dasar nilai dari jalannya perekonomian. Sistem kredit yang saat ini sudah mendarah daging susah untuk dihindari, negara atau dunia tidak memiliki kuasa kontrol atas laizes faire yang dimiliki kapitalis. Ekonomi dunia lebih cenderung menuju kebangkrutan akibat menggunakan hukum rimba atau Darwinisme. Keseimbangan (equilibrium) dengan harapan tercipta oleh “invisible hand”-nya Adam Smith kian menjadi mimpi. Tapi memang inilah sebenarnya kecenderungan ekonomi yang mengedepankan free trade daripada fair trade. Pada skala negara ekonomi relatif terkendali dengan berbagai wewenang yang dimiliki oleh otoritas ekonomi, tapi pada skala global ia terkesan tak terkendali karena pasarlah yang menentukan jalannya perekonomian. Padahal pasar saat ini yang mengendalikan adalah Negara-negara adidaya, khususnya Amerika dan kita semua tahu siapa yang mengendalikan Amerika.

Perhitungan-perhitungan ekonomi dengan maksud mengendalikan jalannya ekonomi, hanya dilakukan pada tingkat negara. Sedangkan pada tingkatan global ia relatif terabaikan. Padahal ketika globalisasi bergulir sepatutnya data ekonomi global juga menjadi tools untuk mengawasi jalannya ekonomi dunia.

Jadi dapat disimpulkan bahwa capitalist globalism ini memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama adalah kelemahan yang terletak pada mekanisme kapitalis itu sendiri, seperti fenomena sistem hutang (credit system) yang telah dijabarkan sebelum ini. Kedua, akibat faktor pertama tadi (kelemahan kapitalis) globalisasi kemudianpun aplikasinya menjadi sangat rentan dan berbahaya bagi perekonomian. Terlebih-lebih globalisasi mengabaikan prinsip keadilan yang harus diakomodir dalam prosesnya, seperti tidak ada toleransi terhadap kepentingan grassroot citizen (masyarakat awam) dibanding kepentingan multinational corporation (swasta). Pemecahannya mau tak mau adalah harus kembali mengevalusi secara seksama sistem kapitalis yang digunakan saat ini, berikut instrumen-instrumen ekonomi di bawahnya dan jawabannya adalah mari kita kembali ke khitahnya yaitu menggunakan Sistem Ekonomi Islami atau Sistem Ekonomi Syariah, khususnya Keuangan Syariah secara bertahap sampai akhirnya dapat dijalankan secara keseluruhan (Kaffah). Karena hanya dengan Sistem Ekonomi dan Etika Bisnis Syariah ini saja maka Demokrasi Ekonomi sebagai keluarannya akan berjalan (Kerakyatan, Kemandirian dan Kemartabatan). Dan bila ini terjadi, maka Insya Allah umat tidak akan seperti buih yang hanya dapat mengikuti arus gelombang (globalisasi) dibawa oleh gelombang kemana saja, termasuk dibenturkan ke batu karang. Untuk penjelasan lebih rinci, lihat lampiran Penerapan Sistem Ekonomi Bagi Hasil (Syariah) yang ditulis Aries Muftie.

IV.C.2. KEUNGGULAN dalam SISTEM EKONOMI BAGI HASIL

Dari perjalanan ekonomi bagi hasil yang telah dilaksanakan di berbagai negera, bahkan negara-negara barat dan kapitalis sekalipun, dapat memberi maslahat sbb:

1. Nasabah / pengusaha / peminjam modal tidak terbebani resiko atas force-mayeur akibat ketidak-pastian kedepan. Artinya nasabah bukanlah Tuhan yang dapat memastikan membayar bunga pinjaman, tetapi resiko untung / rugi dipikul bersama.

2. Bank / lembaga permodalan yang meminjamkan dana / modal ikut mengawasi manajemen dan proses jalannya usaha, sehingga terhindar manipulasi / tindak kejahatan / penipuan oleh pengusaha peminjam modal. Dengan demikian, pemberi pinjaman modal memiliki resiko lebih kecil dalam kerugian atau penggelapan modal / dana yang dipinjamkan.

3. Peminjam dan pemberi modal akan sama-sama memiliki peluang untuk lebih besar dan maju bersama-sama, sebab dengan keterlibatan dalam manajemen / pengawasan akan mempercepat informasi-komunikasi atas berbagai peluang pasar yang biasanya diikuti oleh penambahan kebutuhan modal. Dan sebaliknya: Pemberi modal akan memperkecil resiko kerugian dengan menghentikan penarikan modal dari informasi / komunikasi proses usaha.

4. Sistem kerjasama peminjaman modal dengan pola bagi hasil senantiasa didasarkan atas kaidah keadilan yang unsur-unsur nya dapat dikalkulasikan secara terukur: siapa yang bekerja, hak-hak karyawan / buruh, pemodal dan hak-2 atas kepemilikan intelektual (HAKI). Dengan demikian, akan terhindar unsur keserakahan yang dapat menjadi penghambat kerjasama permodalan.

5. Akan terbangun sistem manajemen dengan tim manajemen serta pegawai yang tangguh, sebab prinsip kejujuran dan memegang Komitment sebagai kaidah dalam sistem ekonomi bagi hasil sangat diutamakan. Sehingga dalam skala nasional penggunaan dana modal negara / rakyat akan lebih dijaga dan digunakan lebih optimal serta terhindar dari perampokan / korupsi / mark-up atau kerugian akibat konspirasi. Dampak positif yang besar dan luas lagi adalah terbangunnya moral dari dasar-dasar terbangunnya etika usaha yang jujur-bersih dan memegang komitmen secara luas di masyarakat usaha dan perbankan nasional.

6. Akan terbuka peluang dan munculnya wirausaha-2 baru di Indonesia yang sangat dibutuhkan dalam penerapan paradigma ekonomi yang berkeadilan. Sebab dengan terjunnya Bank / Lembaga Permodalan dalam sistem manajemen dan prose usaha, akan semakin banyak terserap tenaga profesional mudal dalam usaha yang dibiayai Bank / Lembaga tersebut. Keterlibatan kaum profesional yang pada mulanya terlibat sebagai pegawai yang bersifat kerjasama bagi hasil (mutually beneficial) ini akan memberikan iklim yang baik bagi tumbuh berkembangnya wirausaha baru, yang dimulai dari skala kecil dan membesar, melalui mekanisme berikut::
 Terbukanya peluang pasar baru atas permintaan-2 yang tidak dapat terpenuhi oleh pengusaha yang memperoleh peminjaman modal / dana,
 Terbukanya peluang usaha baru dalam proses efisiensi atau sub-kontraktor dengan pengusaha yang memperoleh peminjaman modal dana,

7. Akan terbangunnya jaringan antar pengusaha dan permodalan yang dapat menciptakan suatu sistem jaringan-komunikasi (net-work) sehingga memudahkan dijalinnya kerjasama usaha antar negara. Terbangunnya net-work atas pengusaha-2 yang baik / profesional demikian akan memberikan iklim usaha yang baik bagi perluasan dan selanjutnya pertumbuhan yang lebih baik dengan dukungan permodalan yang terbangun didalamnya. Sehingga, terjadinya kerjasama kontrak usaha, akan memudahkan realisasi pemenuhan kontrak yang bisanya disertai penambahan modal usaha.

Namun demikian dalam penerapan ekonomi sistem bagi memiliki tantangan dalam memulai, yakni lembaga permodalan harus memiliki tim dan tenaga profesional yang memadai dalam porses usaha dan kontrol. Sedang jumlah usaha kecil menengah jumlahnya sangat besar mencapai ratusan badan usaha.

Penerapan sistem ekonomi bagi hasil yang berjalan pararel dengan penerapan paradigma ekonomi yang berkeadilan adalah jawaban dan solusi riil dalam aspek hubungan dan aktifitas ekonomi masyarakat. Kaidah dan sistem demikian juga akan menjadi landasan yang kokoh bagi terbangunnya moral bangsa – dari terbangunnya masyarakat pengusaha yang jujur, memenuhi komitmen dan profesional. Kehancuran bangsa-negara kita selama ini juga disebabkan ulah & karakter pengusaha yang serakah dan mau untung besar dalam tempo cepat dengan manipulasi dan KKN - berangsur digantikan oleh pengusaha yang baik yang terus lahir dengan penerapan sistem ekonomi bagi hasil.

Kalangan perbankan, perencanaan ekonomi nasional-daerah, akademisi dan pakar ekonomi keuangan haruslah sadar: bahwa negara-negara maju sudah menerapkan sistem bagi hasil sebagai alternatif sistem bunga. Apalagi dengan mempertimbangkan bahwa kekuatan global internasional (poros AS) senantiasa cenderung menguasai negara-negara berkembang dengan kekuatan modal, maka Indonesia sudah harus berganti kiblat dan mitra dengan sumber-sumber modal / dana / finansial yang memberikan pinjaman dengan sistem bagi hasil. Kisah tentang munculnya kaum usahawan muda / inovator muda / industriawan baru di Jepang, AS, dan Eropa adalah dukungan pendanaan / permodalan dengan sistem bagi hasil (venture capital atau syariah). Janganlah kita keblinger dengan mahzab pemikiran yang masih meyakini dan menerapkan sistem bunga – yang orang-2 Barat sendiri telah meninggalkannya. Jangan pula kita kaget tentang fenomena New Zealand – sebuah negara yang atheis namun rakyat nya disiplin dan taat dengan aturan-2 Pemerintah dan memiliki kesadaran tinggi dalam menjaga ekosistem, dan di negeri agraris ini menjadi tempat yang memberikan kurikulum kuliah tentang ekonomi bagi hasil (syariah) yang tergolong baik di dunia !. Untuk Indonesia, hal ini mestinya menjadi fokus utama bagi parpol-2 yang berazaskan Islam untuk mempersiapkan Konsep Ekonomi Bagi Hasil (Ekonomi Syariah), sebagai salah satu pokok Visi Parpol. Janganlah parpol-2 hanya gencar mengusung jargon-jargon Agama, tetapi sangat minim bahkan tidak memiliki Visi dan Konsep tentang Ekonomi Syariah – yang bersumber dari ajaran Islam (Al-Qur’an dan Hadist).

Sekali lagi, kita harus belajar dan membina kerjasama dengan sumber-sumber modal dari Malaysia, Brunei, Timur Tengah dan Jerman dengan sistem bagi hasil. Namun kita juga harus membangun etika usaha (moral) yang baik, khususnya dalam kejujuran (Honesty), menjaga kepercayaan (Trusty), keterbukaan, knonsisten dan memegang komitment, berprinsip keadilan – yang pada dasarnya adalah kaidah-kaidah penerapan nilai-nilai kebaikan yang harus dibangun dan dijaga dalam kerjasama dengan sistem bagi hasil.